SEVEN

148 24 4
                                    

Matahari yang terik menyinari lapangan SMU Tunas Bangsa hari ini. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh, tetapi matahari terasa begitu panas.

Kelas 12 IPA-3 tengah melakukan pemanasan sebelum memulai olahraga pada hari ini. Terik matahari yang amat panas, membuat beberapa siswi mengeluh.

"Selesai. Ketua kelas sama anak cowok lain ambil bola di ruang olahraga!" Perintah Pak Agung selaku guru olahraga.

"Anak cewek yang gak kuat bisa istirahat sebentar, nanti kita ambil nilai basket," jelas Pak Agung yang membuat hampir semua siswi merengek kesal.

Alexa menyandarkan tubuhnya di bleacher yang menghadap ke lapangan serbaguna. Dinda, Tiffany, dan Vio pun menempatkan diri mereka di dekat Alexa.

"Gue capek banget, gila!" Keluh Tiffany.

"Gue juga, Pan! Panas banget, anjir," timpal Dinda.

Sedangkan Alexa hanya terkekeh pelan, mendengar keluhan, umpatan, dan rengekan kedua sahabatnya itu.

Mata Alexa tertuju pada Vio yang sedari tadi tersenyum gaje. Alexa pun ikut tersenyum melihat wajah bahagia Vio. Alexa tahu alasan Vio yang akhir-akhir ini mendadak kurang waras.

Kebahagian terkadang membuat orang itu lupa segalanya, dan menjadi gila. Ya, kayak orang gila yang selalu happy di RSJ.

'Gue suka ngeliat lo bahagia, Vi. Walaupun gue sendiri aja sakit' batin Alexa.

"Tau mah yang udah gak jomblo lagi," sindir Alexa pada Vio seraya tertawa kecil.

"Apaan sih, Al. Makanya cepet punya pacar gih, hahahaha," tawa Vio pun lepas.

Alexa ikut tertawa. Tawa sakit. Tiffany yang sangat mengerti perasaan Alexa, hanya bisa diam saat melihat fake laugh milik Alexa.

'Mau sesakit apa lagi sih, Al? Mau sampe kapan lo berjuang sendirian lagi? Batin Tiffany.

"Al, Rivaldi pernah bilang ke gue, kalo lo itu dulu deket banget sama Alex. Bener gak sih?" Pertanyaan dari Vio langsung membuat Alexa membeku di tempat. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan horror dari Vio itu.

Dinda yang mendengar pertanyaan dari Vio, dan mengetahui kalau Alexa tidak bisa menjawab, langsung mengalihkan pembicaraan. "Eh, Vio. Lo pindah kesini ini udah beberapa bulan ya? Gue lupa," ujar Dinda.

Vio tampak berpikir keras, "Ah, gue inget! Dua hari setelah Valentine, dan juga meninggalnya mendiang ayahnya Alexa,"

'Dua hari setelah Alexa kehilangan segalanya, Vio datang. Apa Vio bakal jadi pembawa sial Alexa, ya Tuhan? Batin Tiffany yang sangat sedih melihat nasib Alexa yang seakan dipermainkan oleh takdir.

Alexa menahan rasa sakit di hatinya dengan cara tersenyum lebar,

"Mungkin ini rencana Tuhan buat gue, Vi. Dua hari setelah gue kehilangan dua orang yang gue sayang, Tuhan ngirim satu orang yang paling berharga, dan itu elo. Walaupun pada akhirnya, lo yang bakal terus bersama orang yang gue cintai itu,"

Ingin sekali, Alexa berkata seperti itu pada Vio, namun kebahagiaan Vio membuat Alexa bungkam dan hanya bisa tersenyum.

Prittt!!!!

Suara peluit yang ditiup oleh Pak Agung, menandakan seluruh siswa harus baris seperti tadi. Seluruh siswa berhamburan, dan segera berbaris dengan rapi.

"Sip! Hari ini kita ambil penilaian basket. Masukkan bola kedalam ruang dengan cara yang benar. Anak cowok minimal masuk tujuh kali, anak cewek minimal lima kali," jelas Pak Agung.

Suara peluit terdengar kembali, "Oke, kita mulai dari absen pertama. Abigail Ludwina, silakan,"

Para siswa bergilir untuk mendapat nilai, hingga akhirnya Alexa mendapat giliran. Terik matahari membuat Alexa sedikit lemas. Tangannya tidak kuat untuk memegang bola.

Namun, demi nilai olahraganya tidak kosong, ia tetap memaksakan dirinya.

Sudah tiga kali Alexa gagal memasukkan bola basket itu dengan benar. Matanya berkunang-kunang, kepalanya seakan mau pecah, kakinya sudah tidak kuat untuk berpijak.

Beberapa detik kemudian, Alexa langsung ambruk tak sadarkan diri.

Cowok yang tadinya hendak berjalan menuju toilet, langsung berlari ke arah Alexa setelah melihat Alexa jatuh pingsan. Raut wajah yang panik, tercetak jelas di wajah cowok berparas asing itu.

Seluruh siswa bahkan mengerumuni Alexa. "Bawa dia ke UKS!" Perintah Pak Agung pada Ronald -Ketua kelas-

"Biar saya aja, Pak!" Ujar Alex cepat. Pak Agung mengangguk. Alex melingkarkan tangan Alexa di bahunya, dan membopong tubuh Alexa yang lumayan berat itu.

Alex menggendong Alexa dan membawanya ke UKS, diikuti beberapa siswa dan juga Pak Agung. Panik, takut, dan sedih, bercampur aduk pada perasaan Alex.

Saat Alex hendak pergi ke toilet, ia melihat Alexa yang terjatuh pingsan, saat itu juga jantung Alex seakan berhenti.

Alex membaringkan Alexa di kasur UKS dengan hati-hati. Alex kembali dikejutkan oleh darah yang keluar melalui bibir Alexa. Dengan lembut, Alex mengusap pelan bibir Alexa yang berdarah itu, dan berdoa didalam hatinya, agar tidak terjadi apa-apa pada cewek itu.

Pak Agung dan beberapa siswa lainnya sampai di UKS, diikuti oleh Acha -Ketua PMR-

"Permisi, Lex. Gue mau meriksa dia dulu," ujar Acha pada Alex.

"Periksa aja, Cha! Tunggu apa lagi?" Gerutu Alex yang menatap Acha dengan geram.

"Ya, lo keluar dulu, Alex. Gue mau buka bajunya," kata Acha yang membuat Alex akhirnya keluar.

Acha menutup tirai UKS dengan cepat.

Jantung Alex berdetak sangat kencang. Ia benar-benar kacau sekarang. Tiffany dan Dinda yang berada di ruangan itu pun ikut panik dan khawatir luar biasa. Sedangkan, Vio hanya diam menatap wajah Alex yang begitu panik.

Vio memikirkan kejadian tadi. Saat Alex membawa Alexa ke UKS dengan sangat peduli, dan juga tadi Vio melihat Alex membersihkan darah yang sempat mengalir melalui bibir Alexa.

Di keadaan seperti ini, masih sempatnya Vio memikirkan hal itu, dan juga cemburu.

Dinda mulai terisak di bahu Tiffany, "Gue gak mau Alexa kenapa-napa, Fan, gue gak mau,"

Tiffany berusaha menenangkan Dinda, dan menahan air matanya agar tidak keluar.

Beberapa menit kemudian, Acha keluar dengan raut wajah panik, "Kita harus bawa Alexa ke rumahnya sakit!"

"Hei, cepet panggil ambulans!" Seru Pak Agung pada beberapa siswa yang berada di ruangan tersebut. Ronald selaku ketua kelas pun memanggil ambulans.

Deg...

Jantung Alex seakan berdetak melambat. Waktu seakan berhenti berputar. Mendengar keadaan Alexa yang tidak memungkinkan saja, membuat Alex takut setengah mati. Takut kehilangan Alexa.

Tiffany bisa melihat raut wajah Alex yang panik itu. Ia juga bisa merasakan kalau Alex masih memiliki rasa pada Alexa. Namun, ego dan kebencian Alex pada saat itu membuat hubungan mereka kandas.

"Pak, ambulans akan datang sepuluh menit lagi," ujar Ronald setelah memutuskan panggilannya.

Dinda dan Tiffany menerobos masuk, untuk melihat keadaan Alexa. Hanya karena pingsan, keadaan Alexa menjadi separah ini? Pasti ada sesuatu yang tidak diketahui mereka.

Kayak di sinetron-sinetron ya? Ya kan? Ya gak sih? Gak kan? Bodo amatlah💣😂

Tinggalkan jejak!

StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang