TWENTY FIVE

109 17 1
                                    

Suara dentuman musik menggema keseluruh penjuru ruangan musik yang kedap suara ini.

"I wont lie to you
I know he's just not right for you
And you can tell me if I'm off
But I see it on your face
When you say that he's the one that you want

And you're spending all your time
In this wrong situasion
And anytime you want it to stop

I know I can treat you better
Than he can
And any girl like you desserves a gentleman
Tell me why are we wasting time
On all on your wasted crime
When you should be with me instead

I know I can treat you better
Better than he can" suara bariton indah milik Rivaldi menggema keseluruh penjuru ruangan itu.

Adit terus memukul drum, Farrel terus memencet tuts yang tercetak di keyboard, dan Alex memetik senar bass-nya. Mereka tengah latian band tanpa Alexa, demi kesiapan mereka nantinya.

Rivaldi mengakhiri lagu itu, dengan teriakan heboh seperti fangirl yang bertemu dengan biasnya. Adit, Farrel, dan Alex meringis secara bersamaan karena melihat kelakuan sinting sahabatnya itu.

"Ternyata, gue bisa nyanyi!" Pekik Rivaldi yang membuat Adit melayangkan stick drum-nya. Rivaldi mengaduh kesakitan, "Sakit, bangsat!"

Mereka pun mengakhiri latian band mereka hari ini. Keempat cowok itu beristirahat sejenak di sofa yang tersedia di ruangan itu. "Masa kita cuma berempat? Alexa kemana sih?" Keluh Adit.

"Mana gue tau. Mati kali." Ujar Alex datar, dan ketus yang membuat ketiga sahabatnya menatapnya geram.

"Gak usah sembarang kalo ngomong!" Desis Rivaldi seraya menonyor dahi Alex. "Kalo Alexa mati beneran, nangis lo gak kelar-kelar!" Timpalnya lagi.

Alex mengerutkan dahinya tanda tak paham, "Nangis gue gak kelar-kelar? Maksudnya? Lo kalo ngomong yang jelas dikit napa!?"

Rivaldi terkekeh pelan, "Gitu aja gak ngerti."

Guratan di wajah Farrel menunjukkan hal yang tidak baik. Cowok itu terlihat seperti menghubungi seseorang, dan wajahnya terlihat gelisah. "Lo kenapa, Rel?" Tanya Adit.

Farrel berdecak kesal, dan mengabaikan pertanyaan Adit. "Kacang sekarang mahal ya?" Sindir Adit yang membuat Farrel memutar bola matanya.

"Dari kemaren, HPnya Alexa gak aktif mulu. Gue jadi khawatir, karena kemaren pas pulang dari bandara, dia kayak kesakitan gitu," jawab Farrel.

"Kesakitan gimana? Kok gue gak liat?" Tanya Rivaldi.

"Karena lo bego! Jelas-jelas kemaren Alexa duduk disamping lo, dan dia kayak nahan sakit. Kemaren pas gue nanya sama dia, dia bilang cuma sakit perut biasa. Mungkin karena PMS," jelas Farrel.

Perasaan aneh merasuki diri Alex. Mendengar penjelasan Farrel membuat cowok bule itu merasa tidak tenang. Merasa ada atmosfer gelisah dari Alex, Adit pun menyadari ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. "Lo kenapa?" Tanya Adit pada Alex.

Alex diam, dan hanya menggeleng. Namun, perasaan aneh dan gelisah itu terua hinggap di dirinya. Dengan cepat, Alex menepis perasaan itu dengan sekuat tenaga.

Tidak mungkin kalau Alex mencemaskan Alexa.

***

Alexa ketakutan setengah mati. Dia akan menjalani operasi untuk pertama kalinya. Mau tak mau, tumor ganas yang menggerogoti lambungnya itu harus diangkat, kalau tidak nyawa Alexa yang harus dipertaruhkan. Sakit itu semakin terasa, dan membuat Alexa menjadi benar-benar lemas. Tubuhnya sulit digerakan.

Andreas yang baru saja tiba dari Milan, berusaha menenangi adik kecilnya itu. Koper, dan ransel masih melekat di tangan dan pundak Andreas. "Kak, gue takut!" Bisik Alexa dengan sekuat tenaga karena menahan lemasnya.

"Udah sih, take it slow. Operasinya cuma bentar, dan lo juga gak bakal sadar nanti," ujar Andreas.

"Operasinya harus sekarang?" Cicit Alexa.

"Kalo gak, tumor ganas itu gerogotin perut lo! Terus, lo ceking, jelek, dan gue gak mau ngakuin lo sebagai adek gue! Liat geh, mata sama kuku lo udah menguning!" Celoteh Andreas menenangkan.

Alexa terdiam. Benar saja, mata dan kuku Alexa mulai menguning akibat penyakit yang dideritanya itu. Tapi, sebelum sepenuhnya menguning, lebih baik bertindak cepat. Dia benar-benar lemas sekali. Tumor itu seakan melumpuhkan semua anggota gerak Alexa. Terlebih, dia belum makan sama sekali sejak dua belas jam yang lalu. Salah satu persyaratan operasi.

Beberapa menit kemudian, Alexa digiring ke ruang operasi, dan sebelum itu dibius total.

***

Keheningan tercipta di kelas 12 IPA-1. Hari ini memang sedang jam kosong, karena guru sedang rapat. Kelas ini adalah kelas satu-satunya yang tetap belajar, walaupun guru tidak hadir. Hal ini dikarenakan ketua kelas yang tegas, dan disiplin. Terkecuali, disaat Alex dkk sedang mood untuk membuat kelas ramai seperti pasar tempel.

"Lo bosen gak?" Bisik Rivaldi pada Alex. Alex pun mengangguk malas.

"Ramein kuy!" Ajak Rivaldi antusias. Alex menggeleng malas, "Gak mood."

Rivaldi mendengus pasrah, dan akhirnya kembali berkutat dengan rumus fisika yang diberikan Sang Ketua Kelas pada siswa kelas itu. Keheningan kembali melanda.

Fero, cowok itu duduk diseberang Alex. Fero menggeser sedikit mejanya untuk mendekati Alex. "Lex, tadi Alexa masuk gak?" Bisik Fero padanya.

Alex menoleh kearah Fero, "Kayaknya kagak, dan gue kagak peduli."

Fero tersenyum tipis, "Gue khawatir sama dia."

Alex yang tadinya sedang menulis rumus, kini berhenti sejenak dan kembali menoleh kearah Fero. Alex menaikkan sebelah alisnya
"Lo? Khawatir sama cewek itu? Bukannya kalian musuh? Yang benar saja," ujar Alex dengan nada sakarstik.

"Lo percaya gak kalo benci bisa jadi cinta?" Tanya Fero lagi.

"Percay-tunggu ... Jangan bilang lo jatuh cinta sama Alexa?" Tanya Alex geram seraya memicingkan matanya.

Fero terkekeh hambar, "Loh? What's wrong? Gue emang mulai tertarik sama Alexa. Gak salah kan?"

Alex menggenggam pena yang tadi dia pakai dengan geram. Perasaan emosi menyelimutinya. Fero tersenyum samar. "Lo kenapa?" Tanya Fero pura-pura tidak tahu.

"Gue kan cuma bilang kalo gue mulai tertarik sama Alexa. Apa salahnya? Lagipula, Alexa kan masih sendiri. Jadi, peluang besar itu namanya!" Timpal Fero yang membuat Alex tersadar.

Alex hanya tertawa kecil, dan menepuk pundak Fero dengan ala cowok. Setelah itu, dia kembali berkutat dengan rumus fisika tersebut.

Entah kenapa, Alex menjadi tidak mood untuk mengerjakan rumus ini lagi. Dia menjadi tidak fokus. Perasaannya bertambah aneh, dan sesegera mungkin cowok itu menepisnya.

See you soon😚

Tinggalkan jejak!

StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang