TWENTY NINE

113 16 1
                                    

Sejak hari itu Alexa mulai menjauhi Alex. Di beberapa kesempatan mereka dipertemukan, namun Alexa terus saja menghindar. Dia sudah lelah menangisi cowok itu setiap harinya. Alexa ingin sekali melupakan Alex, dan tetap mendukung hubungan Vio dengan cowok itu.

Alexa memandang langit yang mulai gelap karena mendung. Alexa menarik mafasnya dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Alexa mengabaikan panggilan tak terjawab dari Dinda dan juga Tiffany.

Bukan. Bukan berarti Alexa sudah tidak membutuhkan sahabatnya itu. Dia sangat membutuhkan mereka sekarang, namun dia tidak ingin melibatkan sahabatnya kedalam masalahnya sendiri. Wajah Alexa kini sepenuhnya memucat, pipinya mulai tirus, tubuhnya kurang berisi, dan bibirnya kering. Seperti mayat hidup.

Alexa ingin sekali kembali ke masa kecilnya, dimana ia tidak harus berkutat dengan pelajaran fisika yang membuat kepalanya hampir pecah, tidak merasakan sakitnya cinta, dan tidak mendapat masalah yang sebesar ini. Dia tidak mau terlihat lemah didepan orang lain. Dia ingin sekali menjadi cewek yang tegar, walaupun terlihat konyol di mata orang.

Kanker itu membuat Alexa tidak memiliki semangat hidup. Cita-citanya untuk menjadi dokter yang sukses, seakan pupus bak diterpa angin.

Chemotherapy adalah salah satu jalan keluar Alexa. Namun, Alexa tidak mau mendapat beban yang lebih berat lagi, karena ia harus bertemu dengan obat-obatan lagi. Kemo itu juga bisa menghancurkan tubuhnya perlahan, tapi pasti.

Flashback ON

Alexa mengusap rambut cowok yang tengah tiduran di paha cowok itu, dengan lembut. Cowok yang berada di atas paha Alexa itupun tampak menikmati usapan lembut tangan Alexa.

"Al, percaya gak kalo lo itu cinta pertama gue?" Tanya Alex.

Alexa tertawa sakarstik, dan menyentil dahi Alex, "Gak percaya sama sekali! Ketujuh mantan semok lo itu apa, hewan peliharaan?"

"Ah, lo mah gak asyik! Al, lo percaya gak kalo hubungan yang kuat gak selalu berakhir bahagia?" Tanya Alex lagi.

Alexa kembali mengusap rambut Alex, "Kalo itu sih antara percaya sama gak, Lex."

Alex menghela nafasnya, dan memejamkan matanya. "Gue takut, Al kalo ending kita sedih kayak di film The Fault in Our Stars, cowoknya koid duluan," ujar Alex seraya bergidik ngeri.

Alexa tertawa terbahak-bahak, dan lagi-lagi menyentil dahi Alex dengan gemas. "Kebanyakan nonton film jadi gini deh otak lo!" Kata Alexa seraya menekan dahi Alex dengan keras.

"Ish, sakit bego! Ya, kan gue takutnya kayak gitu, sayang. Entar kalo gue yang mati, lo malah nyari cowok lain. Gak! Gak boleh terjadi!" Celoteh Alex yang membuat kuping Alexa memanas.

"Tapi, kalo gue yang mati? Mau apa lo?" Tanya Alexa.

Flashback OFF

***

Mata Alex terus mencari-cari keberadaan Alexa. Dia ingin sekali berbicara dengan cewek itu, dan meminta maaf. Selama beberapa hati ini, Alexa menjauhinya, dan itu semakin membuat Alex merasa bersalah. Apalagi, saat itu Alex sudah terlalu kasar pada Alexa. Dia tidak ingin mengulangi kesalahannya.

Alex teringat kalau Alexa sering menghabiskan waktunya di taman belakanh sekolah. Alex pun melangkahkan kakinya menuju taman itu.

Saat tiba di taman yang terletak di belakang sekolah, Alex mendapati Alexa yang sedang tidur bersandar di bangku taman.

Tidak, Alex salah lihat.  Alexa tidak bersandar di bangku taman, melainkan bersandar pada bahu Fero. Melihat hal itu, amarah Alex kembali memuncak. Alex langsung mengurungkan niatnya untuk meminta maaf pada Alexa. Entah apa yang merasuki pikirannya, Alex langsung beranjak dari tempat itu dengan perasaan geram.

StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang