5. Temanku (2)

2.1K 186 27
                                    

Ini adalah hari pertamaku masuk SMA. Orang tuaku memilih SMA yang ber-asrama agar aku bisa hidup mandiri ke depannya. Aku tidak terpaksa melakukannya, karena aku juga senang sekolah di asrama, bisa tidur bersama teman-teman, mencuci bersama, naik turun-tangga bersama, semuanya, dilakukan bersama.

Aku satu kamar bersama tiga murid perempuan lainnya, yakni : Tari, Nima, dan Olivia. Mereka semua berasal dari daerah yang berbeda-beda bahkan ada yang datang dari luar pulau untuk bersekolah di sini.

Nima tipikal anak yang semuanya serba anime, dia gampang sekali marah dan tersinggung, tetapi, jujur saja, dia anak yang enak sekali di ajak mengobrol tentang apa pun.

Olivia orangnya simpel, mudah bergaul, bahkan, saat bertemu denganku di kelas, dia sudah memanggilku dengan panggilan yang super-duper bikin aku selalu ingin tertawa terbahak-bahak.

Sedangkan ....

Tari, aku belum pernah berbicara dengannya.

***

"Dok-dok-dok" Tari terus saja mengetuk dinding kamar, membuat suara-suara yang berbeda tiap kali ia mengetuknya.

Dia sekarang sedang berbaring tidur di sampingku. Aku hanya berdua dengannya, sedangkan Nima dan Olivia sedang mengikuti kegiatan sekolah, entah apa itu, aku tidak tahu, memang ada kegiatan sekolah dilakukan pada malam hari? Tapi itu bisa saja terjadi.

Ini adalah kesempatanku untuk berbicara kepadanya.

"An-nu, perkenalkan, na-namaku Tasya," ucapku gugup.

Tari menengok ke arahku, menatapku sejenak kemudian berpaling kembali menatap tembok.

"Apa ada hal yang membuatmu resah?" aku memulai pembicaraan dengan pertanyaan yang seharusnya tidak aku tanyakan.

"Aku kehilangan temanku," jawab anak itu dingin.

"Oh, teman-teman SMP, ya? Wajar lah, sekarang kita sudah SMA apalagi di asrama. Tapi, kita bisa dapat teman baru yang banyak. Mungkin aku bisa menjadi temanmu," sanggahku.

Dia berhenti mengetuk tembok. "Tidak mungkin, kau tidak akan pernah menjadi temanku."

Aku tertawa renyah. "Kita ini kan teman sekamar," kataku.

"Kita hanya sekamar, bukan lah sebagai teman," kata Tari datar lalu mengetuk tembok itu lagi.

"Kenapa kau mengetuk tembok?" tanyaku penasaran.

"Untuk memanggil temanku," jawabnya.

"Teman?"

Dia menatapku tajam. "Ya, teman masa kecilku, namanya Aisha, dia seorang yang seumuran denganku, aku sudah mengenalnya sejak kelas dua sekolah dasar, tetapi, dia pergi begitu saja gara-gara ritual aneh yang menjijikkan itu," jelas Tari. Matanya berkaca-kaca menandakan kesedihan yang begitu mendalam.

"Kasihan. Semoga kalian bisa bertemu lagi."

"Tidak mungkin. Orang-orang di sekitarku sudah menganggapku gila, bahkan ayahku pun begitu. Aku sering didapati berbicara dan bermain sendirian oleh teman-teman SMP-ku, padahal aku sedang bermain dengan Aisha," Mata Tari berlinang air mata. Dia menghela napas. "Aisha juga bilang, aku adalah satu-satunya orang yang dapat melihatnya," sambung Tari.

"Maksudmu ... teman khayalan?" aku mencoba untuk menebak.

"Orang-orang bilang aku terkena Schizopherenia. Padahal itu tidak benar sama sekali! Kamu mengerti maksudku, kan, Tasya? Aisha hilang, ketika aku di bawa ke sebuah tempat yang baunya amat memuakkan, ditanya ini-itu oleh orang aneh, dan aku menjawabnya jujur. Lalu ... Aisha tidak pernah terlihat lagi."

"Lalu apa hubungannya dengan mengetuk tembok?"

"Aisha pernah bilang kepadaku, bahwa saat aku membutuhkannya atau pun terkena masalah, aku harus mengetuk tembok sebanyak tiga kali lalu memanggil namanya, lalu mengelus tembok yang kuketuk tadi, jika terasa hangat, berarti Aisha ada di situ. Tetapi, tembok ini dingin sekali. Aku ingin bertemu dengannya ... sekali saja ... aku menyesali perbuatanku telah memarahinya sebelum dilakukan ritual itu. Aku sungguh menyesal ... aku ingin bunuh diri saja."

Aku hanya terdiam mendengarnya. Ada orang aneh di kamarku, namanya Tari, dia berbicara sendiri saat dia menyelesaikan perkataannya itu, kemudian dia berlari ke arah jendela. Aku hanya memperhatikannya.

Lalu ... ia melompat dari situ.

Aku berpikir sejenak. INI LANTAI LIMA!

"Tari!"

"Dia sudah bahagia dengan dunia buatannya sendiri, sekarang dia bisa bersamaku selalu tanpa harus memahami betapa jahatnya dunia ini."

Sebuah suara itu membuatku terpaku diam.

***

Yo! Aneh, ya? :V

Wkwkwkwk, dah, jangan dipikirin, vote dan komen aja, beres.



SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang