22. Rambut Rontok 2/3

927 81 33
                                    

"Shiro?" Meyumi menepuk pundakku sehingga aku terlonjak kaget.

Seketika itu pula pandanganku terhadap bayangan tersebut buyar. Yang kulihat hanyalah asap hitam yang semakin memudar. Hantu?

"Jangan bengong begitu. Nggak baik lho, Shiro," komentar Hachiro kemudian.

"Aku juga tahu kalau bengong itu nggak baik. Tapi, apa kalian nggak sadar kalau dari tadi ada yang memperhatikan kita?" kataku sambil terus memandang tempat hantu tadi berdiri.

"Siapa?" tanya Hachiro penasaran.

Aku melangkah mendekati lokasi hantu tersebut, yakni tepat di belakang motor Meyumi diparkirkan. "Di sini, hantu dengan jari panjang dan hitam memainakan rambutmu, Meyumi. Kau tidak merasakannya?"

Meyumi menggeleng pelan. Di luarnya ia tampak tenang, tapi bisa aku rasakan aura dalam tubuhnya bahwa ia sedang dalam ketakutan yang amat mendalam. Mungkin dia sedang mengingat-ngingat kejadian beberapa detik yang lalu.

"Oh ya! Aku lupa kalau Shiro kan memang terkadang bisa merasakan keberadaan makhluk halus," sahut Haciro sambil menepuk jidatnya sendiri. "Jadi jangan heran kalau dia langsung bengong di tempat yang mistis seperti ini."

"Apa maksudmu dengan 'jangan heran kalau dia langsung bengong' ha?! Minta mati kau, ya?" ancamku sedikit serius. Yah, terkadang aku tak suka menjadi seorang indigo.

"Galak sekali," komentar Hachiro sambil menampangkan wajah ketakutan terhadapku.

Meyumi berdehem. "Jangan basa-basi aja, ayo cepat masuk nanti keburu larut malam," ujar Meyumi menyadarkanku dari sikap bodohku barusan.

Kami bertiga memasuki gerbang utama sekolah yang sudah terbengkalai bertahun-tahun lamanya. Aku ingat, dulu ada sebuah tragedi seorang siswi meninggal secara mengenaskan di toilet wanita. Namanya ... aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah keadaannya saat meninggal, yakni kepala bagian atasnya hancur, ugh, aku tidak mau membayangkannya karena aku pernah melihat mayat siswi tersebut di internet.

Lalu, beberapa minggu setelah kejadian itu, seorang siswi meninggal di tempat yang sama, begitu pula keadaannya, diketahui bahwa siswi ini adalah teman dekat siswi yang sudah lebih dulu meninggal.

Selang satu hari, seorang siswa meninggal di tempat pembuangan sampah akhir dengan kepala terpenggal. Diketahui pula siswa tersebut adalah orang yang duduk di belakang siswi yang sudah meninggal mendahului dia.

Kejadiannya terus berulang di kelas yang sama. Hingga Kepala Sekolah beserta komitenya sepakat untuk menutup sekolah tersebut.

Kisah yang tragis. Itu yang hanya aku pikirkan saat mendengar kabar tersebut.

Tapi kini, aku akan membuktikannya.

"Bau sekali," keluh Meyumi. Dia mengkibas-kibaskan tangannya di depan hidung.

"Biasa saja, ah," timpalku.

"Kau kan memang suka bau-bau darah," lanjut Hachiro. Perkataannya membuatku ingin membunuhnya sekarang juga. Tapi-tapi, nanti cintaku menghilang. Hue.

Aku hanya menyunggingkan senyum kecut ke arah Hachiro atas perkataannya. Kalau dia bukan cintaku, sudah aku benyek-benyek kepalanya. Serius.

Kami sampai di depan sederet toilet wanita yang katanya menjadi saksi bisu atas belasan nyawa yang meninggal secara mengenaskan.

Aku dengan berani membuka salah satu pintu, bau anyir khas darah itu langsung memenuhi setiap saraf otakku. Haduh, kenapa di saat seperti ini aku malah memikirkan hal-hal yang aneh? Lupakan itu.

Darah yang sudah mengering menodai dinding toilet yang kubuka pintunya. Ada sisa tulang belulang yang sudah lapuk dan beberapa helai rambut berceceran di lantai.

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang