6. Petak Umpet 1/4

2K 163 33
                                    

"Aku sedih besok kita harus berpisah," Renny menyeka air matanya. "Aku tidak ingin berpisah dengan kalian, aku sudah merayu berkali-kali pada orang tuaku untuk membiarkanku sekolah di sini ...," Renny terhenti sejenak untuk bernapas. "Tapi mereka tidak mengizinkanku."

Semuanya diam sambil terus terisak.

Umeka menggeleng pelan. "Kami tidak akan melupakanmu, Renny," ucapnya lemah.

"Yah, itu benar," sahut Shima yang bersandar di pundak Renny.

"Oh ayolah, jangan anggap perpisahan ini sebagai sesuatu yang buruk, kita bisa menghabiskan waktu bertiga di sini. Kita bisa bermain sepuasnya karena sore ini para petugas sekolah sudah pulang dan kelas tidak dikunci, beberapa ruangan juga," ujar Umeka.

"Bagaimana kalau kita bermain petak umpet?" kata Shima.

Renny tertawa pelan. "Kita sudah kelas sembilan, Shima."

"Memangnya ada apa? Tidak masalah kan kalau sudah besar masih suka bermain petak umpet, lagi pun, seru, lho, bermain petak umpet di sekolah," Shima mengelak. "Apa lagi ... ini sudah menjelang petang, pasti sangat menantang!"

"Aku benci gelap," keluh Umeka.

"Baik lah, selagi kita punya waktu, kita harus manfaatkan dengan baik. Siapa yang jaga?" tanya Renny kepada kedua temannya dengan rasa sedih yang amat mendalam, sebenarnya ini bukan keinginannya, tapi, dia mengerti betul dengan perasaan teman-temannya.

"Umeka!" seru Shima bersemangat.

Umeka, gadis berkaca mata itu mendengus kesal. "Baiklah, tapi kalian tidak boleh bersembunyi lebih dari radius lima ratus meter dari tempatku berjaga," jelas Umeka sedikit marah.

Shima menggaruk hidungnya yang entah mengapa baginya terasa gatal. "Lima ratus meter? Apa tidak terlalu kecil? Sekolah kita luas sekali."

"Ya," Umeka menatap Shima dengan tatapan yang begitu tajam. "Mencari orang sepertimu di tempat seluas ini membuatku mual."

Renny tertawa renyah lalu menepuk pundak Shima seraya berdiri. Dia membersihkan roknya dari debu dan mendekat ke arah pintu geser di kelasnya, dia membuka pintu itu perlahan sambil menatap temannya dengan senyum bahagia. "Ayo kita main!" seru Renny berapi-api.

***

Mereka pun mulai bermain dengan awalan Umeka sebagai pencari. Anak berkaca mata itu menutup matanya dengan lengan lalu bersender di tembok, dia menghitung angka satu sampai tiga puluh sesuai dengan ketukan detik di jam tangan miliknya.

Renny dan Shima berlari di lorong, kemudian mereka berpisah di persimpangan lorong. Renny masuk ke kelas 9-D, jaraknya dua petak dari kelasnya, yakni kelas 9-F. Sedangkan Shima terus berlari lurus hingga tembus ke pintu luar, dia menuruni tangga kemudian bersembunyi di bawahnya.

Renny mencari-cari tempat persembunyian yang cukup menutupi dirinya. Dia mencoba bersembunyi di bawah meja guru, tapi baginya itu terlalu sempit dan ditambah nyamuk yang bersarang di sana membuatnya tidak betah. Kemudian ia menemukan lemari buku di sudut kelas yang lumayan besar. Dia bisa bernapas lega karena lemari itu tidak berisi, jadi dia bisa menempatinya, perlahan, matanya mengintip dari celah pintu lemari untuk mendeteksi keberadaan Umeka.

"Tiga puluh. Siap atau tidak aku akan mencari kalian," Umeka selesai menghitung. Dengan seksama, matanya yang jeli itu melihat seluruh penjuru lorong.

Dirasa tidak ada tanda-tanda orang bersembunyi di lorong, akhirnya ia berjalan memasuki kelas lain satu persatu.

Umeka akhirnya memasuki kelas 9-D, dia melongok ke bawah meja dan kursi, lalu mengecek lemari buku di sana, tapi, tidak ada siapa-siapa di sana, akhirnya dia beralih ke kelas lain.

***

"Ketemu!" seru Umeka ketika ia melihat kepala Shima menongol dari celah anak tangga.

Shima tertawa. "Padahal aku sudah berusaha semampuku, aku memang payah."

"Baru sadar?" Umeka mencela.

Shima tidak menanggapi perkataan Umeka, dia cuma mendengus kesal kemudian bersandar di tembok tempat Umeka berjaga. "Renny belum ketemu?" tanyanya tiba-tiba.

Umeka menggeleng. "Belum," jawab Umeka.

"Biasanya dia bersembunyi di kelas-kelas lain, apa kau sudah mengeceknya?"

"Sudah, semuanya bahkan aku telusuri, tidak ada tanda-tanda keberadaan Renny di sana," Umeka mulai merasa cemas karena hari mulai gelap.

"Aku melihatnya masuk ke kelas 9-D," kata Shima.

"Aku ... sudah ke kelas itu."

"Benarkah? Kau mungkin kurang teliti, biasanya Renny bersembunyi di lemari," tegas Shima sedikit menjerit.

"Aku juga sudah mengeceknya!" Entah mengapa, emosi Umeka meluap.

Shima menarik tangan Umeka lalu mengajaknya kembali ke kelas itu. Umeka benar-benar merasa cemas dengan keadaan Renny, entah kenapa itu. Dia bisa merasakan kalau Renny sedang dalam bahaya.

Mereka masuk kembali ke kelas itu, lalu, lemari di sudut ruangan bergoyang, pintunya seperti digedor-gedor seseorang dari dalam.

"Aku takut, Shima," ucap Umeka bergetar.

"Ha? Di sana pasti ada Renny, kau belum melihat ke dalamnya, ya?"

"Sudah, tidak ada siapa-siapa!" tegas Umeka.

"Renny? Apa kau di dalam?" tanya Shima sambil berjalan mendekat ke lemari itu. Tidak ada jawaban dari dalam, hanya suara seseorang menggedor pintu. "Jangan bercanda, Renny. Ini sudah gelap, kita harus pulang."

Tetap saja tidak ada jawaban.

"Biar kubuka, Umeka," Shima memberanikan diri. Tangan Shima sudah berancang-ancang hendak membuka pintu itu. "Jangan bercanda, Renny!" Shima membuka pintu itu sekuat tenaganya, dan ....

"Renny!"

Mereka dikejutkan dengan keberadaan Renny yang begitu mengenaskan, tubuh Renny tergantung dengan seutas tali yang cukup besar, kaki kanannya terpotong hingga lutut, darah Renny bercucuran di mana-mana.

"Ren ... ny ...," Umeka menutup matanya seraya menangis.

"Biar kubunuh kalian!"

"Siapa kau?!" tanya Shima.

Seorang perempuan seumuran mereka dengan seragam yang sama, kucel, kotor, dan bau amis. Dia memegang sebuah gunting yang berlumuran darah sambil menyeringai ke arah mereka berdua.

***

Yo!

Saya dapet imajinasi dadakan //emangnyatahubulat?

Jadi, sebelum imajinasi tersebut hilang, saya tuangkan ke sini. Semoga horor, amin. :V Dapet inspirasi waktu nonton Corpse Party. Ada yang tahu? //nggak

Ya udah. Vote dan komentar, ya!





SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang