14. Hujan Satu Bulan 3/3

1K 94 31
                                    

Aku mematikan lampu kamarku dan menarik selimut ingin cepat-cepat berpikir bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Tetesan air deras dari awan masih berjatuhan secara teratur di luar membuat suasana malam ini jadi terkesan begitu dingin dan sepi.

Pintu kamarku terbuka, memperlihatkan celah yang menghasilkan cahaya, ternyata ada ibuku di baliknya.

Ibu mendekatiku yang sudah berbaring di kasur. Ibu menatapku dengan penuh kesedihan sambil mengelus ubun-ubunku. "Alexa ... bagaimana jawaban Sesepuh?" tanya Ibu sedikit berbisik.

"Tidak ada harapan lagi, Bu," jawabku pelan. "Lebih baik aku saja yang menjadi korbannya. Kalau Ibu, nanti Ayah jadi sedih," lanjutku sambil menyeka air mata.

Ibu meneteskan air mata. "Alexa, apa kau yakin?"

Aku mengangguk. "Alexa sayang Ibu. Sampaikan pada Ayah seperti itu juga, ya, Bu?"

"Baiklah, Sayang," sahut ibu menyutujui. "Maafkan Ibu karena tidak memberi tahumu soal larangan itu. Ibu baru saja tahu dari tetangga sebelah ketika melihatmu memakai payung ke sekolah."

"Ibu jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu, dong. Ini salah Alexa juga," ucapku mencoba menyemangati Ibu.

Ibu menyeka air matanya kemudian mengecup keningku dengan lembut. "Selamat malam, Alexa," katanya sambil memelukku erat-erat.

Aku membalas pelukan Ibu yang sangat hangat itu. Air mataku membasahi lengan Ibu. Tapi, seketika itu juga aku berhenti menangis dan sangat ketakutan ketika melihat sosok Sershi ada di belakang punggung Ibu.

"I-Ibu," kataku gelagapan.

Tapi sepertinya Ibu tidak mendengar panggilanku. Ia melepaskan pelukannya. "Semoga mimpi indah, Sayang," ucap Ibu seraya meninggalkanku.

Ibu menutup pintu kamarku perlahan. Di balik pintu yang gelap itu, ada Sershi yang menggunakan baju tradisional Jepang. Tidak begitu jelas wajahnya karena tertutup oleh rambut berantakan yang panjang itu. Jari-jarinya panjang dan keriput seperti sosok-sosok penyihir yang diceritakan dalam dongeng.

"Ibu!" Aku hendak berteriak demikian tapi sepertinya suaraku berhenti di ujung tenggorokan. Aku mengulangi panggilanku berkali-kali tapi tetap saja, aku tidak bisa mengeluarkan suaraku.

Pelan namun pasti, Sershi mendekatiku seraya menyondongkan tangannya ke depan seperti hendak mencekikku. Dan benar saja, dia mencekikku dengan kuat.

"Akh ... le-lepaskan," aku memberontak.

Bibir Sershi tersenyum lebar menampakkan gigi-gigi hitam nan jorok yang ia miliki.

Cengkramannya semakin menguat, aku tidak bisa bernapas dan keringat mulai membasahi keningku. Sershi mengangkat tubuhku dengan bekal cengkramannya yang kuat melingkar di leherku. Aku rasanya seperti mau mati.

Tiba-tiba saja pintu kamarku kembali terbuka dan Sershi menghilang. Tubuhku terhempas jatuh ke kasur dengan kuat, meninggalkan rasa sakit yang tidak begitu berarti.

Ibu menatapku dengan tatapan cemas.

"Aku tidak apa-apa, Bu."

***

Satu minggu telah berlalu. Sekarang sudah bulan purnama sempurna. Aku menatap langit dengan wajah memelas, Ibuku menuntunku untuk berjalan di bawah hujan menuju ke kuil desa. Sedangkah Sershi menatapku geram di pingir sepanjang jalan. Dia terlihat banyak sekali.

Sesampainya di tempat tujuan, Ibuku melepaskan pelukannya kemudian menyeka air matanya seraya pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Orang-orang duduk di tanah membentuk sebuah lingkaran yang cukup besar dengan api bergejolak di tengah-tengah lingkaran. Mereka menatapku dengan tatapan kesal. Di balik api yang besar itu, berdirilah seorang yang sudah tak asing bagiku lagi, yakni Sesepuh. Eh, aku hampir tertipu, saat ini hujan tapi api itu tidak padam? Aneh.

"Alexa. Seorang anak kota yang pindah ke desa tanpa mengetahui apa-apa. Ia melanggar peraturan desa. Sangat disayangkan, dia harus mati diusia yang sangat belia ini. Lihatlah wajahnya yang polos tampak tak berdosa itu, tidak pantas sekali untuk dihukum bukan?" jelas Sesepuh. "Tapi, sesuai perkataan Sershi, seorang arwah gadis yang tidak pernah tenang sampai kapan pun, yang meninggal karena tertancap ujung payung, ia berkata 'seorang pelanggar harus dihukum' oleh karena itu, ia harus dihukum sesuai adat," sambungnya.

Aku terisak pelan.

"Baiklah Alexa, maju ke depan api abadi ini," perintah Sesepuh.

Aku melangkah ragu ke depan, memasuki kerumunan orang-orang yang berkomat-kamit tidak jelas.

"Angkat tanganmu, Alexa," perintahnya lagi.

Aku pun menurutinya. Ketika tanganku terangkat ke atas, seutas tali mengikat tanganku hingga aku terangkat. Aku melihat Sershi membawa sebuah payung berwarna hitam dengan ujung payung yang sangat mengkilap dan berlumuran darah. Aku jadi semakin takut melihat payung itu.

"Sershi, lakukanlah sesukamu," kata Sesepuh akhirnya.

Sershi menyeringai lebar sambil menunjuk diriku dengan payung yang ia genggam. Dengan secepat kilat, dia menyerangku.

"Akh!" aku mengerang kesakitan ketika ujung payung itu menyayat kulit perutku. Rasanya begitu sakit tak tertahankan.

Sershi tertawa keji kemudian mengayunkan payung tersebut ke mataku.

JLEB!

Tiba-tiba, semua pengelihatanku menjadi gelap dipenuhi darah merah kental nan segar. Ini lah akhir hidupku. Seorang anak kota yang seharusnya tidak tinggal di desa tanpa bekal pengetahuan.

***

THE END :V

Dah, itu aja. Nggak lebih.

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang