26. Listrik Padam

855 109 21
                                    

Sendirian. Lagi-lagi aku sendirian malam-malam di rumah. Tapi apa boleh buat, situasi ini tidak dapat aku elak karena sudah menjadi bagian dalam keseharianku. Ibu selalu pulang hampir tengah malam, apalagi jika bis yang lewat minim, maka itu akan makin memperpanjang waktu ia sampai di rumah. Sedangkan ayah bekerja di luar kota, dan hanya pulang jika memiliki cuti yang cukup panjang.

Tapi tidak apa-apa, karena berkat keadaan tersebut, aku jadi di belikan handphone baru dan beberapa novel setiap minggu dengan tebal melebihi 300 halaman agar aku tak bosan di rumah. Yah, hitung-hitung lumayan daripada diam saja.

Aku menatap lesu jam dinding yang menggantung di atas dekat televisi. Jarumnya menunjukkan pukul sebelas malam.

Ibu lama sekali, sih, gerutuku dalam hati.

Karena tidak sabar aku mengirimkan pesan kepada Ibu agar pulang cepat, aku sudah tidak kuat lagi menahan kantuk yang sudah menyelimuti diriku.

Tidak lama kemudian, teleponku berdering memberitahukan bahwa ada pesan masuk. Langsung saja kubuka pesan yang masuk tersebut. Pengirimnya adalah Ibu, ia berpesan bahwa ia akan pulang kemungkinan setengah jam lagi karena transportasi umum yang lewat sangat minim, sehingga dia kesulitan untuk pulang cepat ke rumah.

Yah, tak apa, aku memaklumi. Jam segini angkutan umum memang susah ditemukan. Jadi, ini murni bukan kesalahan Ibu sedikit pun.

Apa boleh buat, karena aku sedang tidak ada nafsu untuk membaca buku, aku bertukar pesan dengan teman-teman sekolahku di grup. Tulisan-tulisan mereka berhasil membuat perutku sakit tak tertahankan karena terlalu banyak tertawa.

Sekitar lima belas menit aku fokus pada ponselku, tapi tak dapat dikira, ternyata listrik di kota padam, seketika itu juga keadaan rumahku menjadi gelap gulita.

Aku panik, benar-benar panik karena aku tidak dapat melihat apa-apa kecuali layar ponselku. Segera aku menerangi jalan menuju dapur dengan cahaya dari layar ponsel. Aku berniat untuk mengambil lilin yang ada di dapur dan segera menyalakannya agar keadaan lebih baik.

Setelah menghidupkan lilin, aku pergi ke kamarku dengan langkah yang begitu hati-hati. Sesampainya di kamar, sederet bunyi notifikasi dari ponselku bermunculan, segera aku buka notifikasi tersebut.

"Hei, tempat kalian mati lampu tidak?" Begitulah isi pesan dari salah satu temanku.

Belum sempat aku mengetik jawaban, teman-temanku yang lain sudah memberi jawaban duluan. Beberapa dari mereka menjawab hal yang sama dengan keadaanku, tapi sebagian kecil lainnya beruntung.

Karena sudah banyak yang menjawab, aku mengurungkan niatku. Setelah itu, muncul sederet lagi pesan-pesan dari teman-temanku soal cerita horor.

"Hih, kasihan yang mati lampu, awas lho belakangnya ... hih," ungkap sebangkuku sambil memberi emoticon hantu.

"Kamu nggak usah nakutin kali," aku mengetik pesan tersebut.

"Oh, iya! Tari kan lagi sendirian di rumah, nggak asyik ah," keluh sebangkuku setelah membaca pesanku.

Syukurlah, mereka tidak jadi bercerita soal hantu atau kawan-kawannya itu, hatiku merasa lega walau masih ada sedikit celah ketakutan.

***

Tiga puluh menit aku menatapi layar ponselku, mengetik pesan, bermain game, atau sekadar melihat-lihat gambar anime. Merasa kalau mataku sudah berat, aku melirik jam yang ada di layar ponselku, pukul 11.38, begitu tulisannya. Tidak hanya melirik ke arah jam digital di ponsel, aku juga melihat baterai yang tersisa, 17%, itu artinya sebentar lagi ponselku akan kehilangan nyawanya, dan tamat lah riwayatku.

Lebih baik aku segera tidur, ujarku dalam hati kemudian mematikan ponselku.

Keadaan yang semakin gelap karena lilin yang kupunya sekarang sudah di ambang batas.

Tok ... tok ... tok ...

Aku menangkap suara pintu rumahku diketuk, itu pasti Ibu! Segera aku menyibak selimut yang sebelumnya melilitku dan melaju dengan cepat ke pintu utama rumah ini.

Keadaan di lingkungan sekitar rumahku juga gelap, tidak ada satu rumah pun yang lampunya hidup, bahkan lampu jalanan juga mati.

Karena keadaan itulah aku tidak bisa melihat wajah Ibu dengan jelas.

"Ibu!" aku berteriak senang dan langsung memeluknya. "Um, Ibu pakai parfum baru, ya?" tanyaku penasaran karena bau baju Ibu tidak seperti biasanya.

Kulihat Ibu hanya menganggukkan kepalanya.

"Loh? Rambut Ibu dicatok?" tanyaku lagi karena rambut Ibu sebelumnya bergelombang kini menjadi lurus.

"Ya, Ibu baru dari salon," jawabnya dengan nada pelan.

Aku tertawa mendengar jawaban lugu Ibu, tidak biasanya Ibu pergi ke salon untuk merombak rambut. "Ibu ... malam ini aku tidur bersama Ibu, ya? Aku takut," pintaku.

Ibu mengangguk untuk yang kedua kalinya.

Tanpa basa-basi lagi, aku dan Ibuku langsung masuk rumah. Aku merasa begitu lega Ibu pulang tepat waktu sebelum lilin habis. Sesampainya di kamarku, aku langsung mempersilakan Ibu untuk berbaring di kasur milikku dan berbagi selimut denganku.

Belum sempat aku masuk ke dunia mimpi, ponselku bergetar.

Ada panggilan masuk? Siapa?

Tanpa mempedulikan siapa yang menelepon, aku mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?" sahutku pelan.

"Tari, buka pintunya! Kenapa dikunci? Ibu, kan, baru sampai di rumah."

Hah?! Lalu ... yang sekarang tidur bersamaku siapa?

"Kyaaaa!"

Tut ... tut ... tut  ....

***

Nggak jadi hiatus :v

KARENA ENGGAK ENAK. TITIK.

Jadi, walaupun tokoh di sini menggunakan nama Tari, bukan berarti ini kisah nyataku, tapi cerita ini muncul ketika aku lagi jalan ke kamar mandi dan saat itu lampu dapur di rumahku mati nggak bisa idup :'v

Jangan lupa ketuk tanda bintang~

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang