24. Bayi dan Seseorang

871 79 11
                                    

Lagi-lagi, aku harus berdua dengan adikku yang paling kecil. Umurnya baru empat bulan. Dan aku yang harus menjaganya! Itu pekerjaan yang sangat menyebalkan sekali untukku.

Dengan adanya amanat tersebut, aku jadi tidak bisa pergi keluar bersama teman-temanku atau sekadar tiduran di kasur. Aku merasa tidak bebas karena adanya pekerjaan tersebut. Ibuku sedang ke pasar sore untuk membeli beberapa bahan makanan yang diperlukan, dan ayahku selalu pulang terlambat.

AKU BENCI HAL INI!

Karena bosan, aku mencoba untuk menonton beberapa video di youtube dari laptopku sambil menyantap makan malamku di kamar sendirian.

Saat ini, aku masih bisa bersantai-santai karena adik bayi menjengkelkan itu masih terjun bebas dalam kesibukannya menutup mata. Aku berharap Ibu segera pulang sebelum waktunya habis.

Aku tertawa kecil ketika mendapat balasan teman sekelasku yang begitu mengocok perut soal pelajaran hari ini. Yah, hitung-hitung untuk buang rasa bosan sejenak.

Karena terlalu fokus pada ponselku, aku jadi lupa kalau aku belum mandi. Segera aku meraih handuk berwarna coklat yang menggantung di belakang pintu kamarku dan melenggang ke luar menuju kamar mandi.

Belum sempat mendapat lima langkah, suara bayi yang cempreng itu memecahkan kesunyian di rumahku.

Aku mendesah jengkel begitu mendengarnya. Dengan rasa malas, aku melangkah ke arah yang bukan tujuanku, yaitu kamar adik. Sesegera mungkin aku menenangkannya agar aku bisa mandi dengan tenang.

Suaranya begitu memekakkan telinga saat aku berada tepat di sampingnya. "Ugh, bisa kau diam sebentar tidak, sih?!" ucapku jengkel.

Kebetulan sekali, saat aku mencoba menenangkan adikku dengan seribu satu cara aneh, ponselku yang tergeletak di kasur kamarku berdering, dan aku segera pergi untuk mengambilnya.

Ternyata itu Ibu yang menelpon.

Semoga ada berita baik kalau dia akan segera pulang.

"Halo?" sahutku ketika mengangkat panggilan.

"Apakah adik baik-baik saja?" tanya Ibu dengan suara-suara orang lain yang begitu berisik. Aku yakin kalau dia masih di dalam pasar.

Aku terdiam sejenak. "Ya-yah, adik tidak apa-apa, kok," aku berbohong. AKU TAHU!

"Hmn? Yah, seperti itu lah yang Ibu harapkan. Tetapi, Ibu merasakan hal yang aneh soal keadaan adik," komentarnya sedikit panik.

Aku tertawa sumbang. "Ah, itu mungkin perasaan Ibu saja," kataku mencoba mengelak. Yang benar saja kalau Ibuku tiba-tiba berubah menjadi peramal?

"Ayolah, katakan yang sebenarnya saja," bujuknya

Aku mendesah kalah. "Iya, Bu. Adik cuma menangis, kok, dan aku akan berusaha menenangkannya. Ibu tidak usah khawatir, dan aku meminta agar Ibu cepat pulang, ya?" pintaku.

"Memangnya kenapa?"

"Yah, bukannya aku tidak bisa menenangkan adik, tetapi aku hanya ingin belajar dengan tenang, itu saja. Kalau ada Ibu di rumah, kan, aku bisa lebih lega," lagi-lagi aku berbohong.

"Hm, baiklah, Ibu akan cepat pulang. Ibu minta kau perhatikan terus adik, ya? Jangan sampai lalai karena Ibu tidak ingin dia kenapa-kenapa. Perasaan Ibu mengatakan kalau adik dalam bahaya."

"Ya."

Dengan ucapanku menanggapi perintah itu, percakapan kami via telepon berakhir. Aku yang masih malas melayani adik tetap saja memaksakan diri untuk merayu adik agar tenang.

"Tolong bantu kakakmu ini sebentar saja. Aku hanya ingin mandi sebentar! Aku janji akan bermain denganmu! Jadi, aku mohon kau diam!"

Bodohnya aku. Tentu adik bayi itu tetap menangis.

Buat apa aku mengurusi yang satu ini, lebih baik aku segera mandi, pikirku.

***

Saat aku mandi, suara tangis adik yang cempreng itu tidak lagi terdengar di telingaku. Yang kudengar hanyalah suara tawa yang cukup keras. Yah, aku pikir ada sesuatu yang menarik mungkin di kamar adik.

Aku tidak begitu mempedulikan suara tawa besar itu.

Tapi aku begitu yakin kalau itu bukan suara adikku ketika aku melangkah mendekati kamar adik. Secepat mungkin, aku berlari memasuki kamar, dan aku begitu di buat terkejut.

Adikku ... adikku ... tidak ada di kasur!

Yang ada di kasur hanyalah bercak darah segar.

Ya Tuhan!

Aku menjerit demikian ketika aku melihat tetesan darah dari atas langit-langit, dan karena penasaran, aku menengadahkan kepalaku melihat keadaan. Apa yang sebenarnya terjadi?! Adikku ada di atas langit-langit, dengan leher yang terikat dan kepala yang hancur.

Tangisku pecah karena aku melalaikan peringatan Ibu tadi.

Aku bodoh sekali! ejekku pada diri sendiri.

Aku ingin menjerit minta tolong, tetapi ....

JLEB!

Perutku terasa begitu perih dan pandanganku sekitika menjadi tidak jelas, kakiku menjadi lemah seketika, dan air mata terakhirku jatuh membasahi pipiku yang dingin nan pucat. Aku jatuh tersungkur ke lantai dan melihat seorang bayangan pria yang tidak salah aku pernah mengenalnya dalam hidupku.

Siapa dia? Aku tidak dapat melihat lagi.

***

Perasaan Ibu sama anaknya itu selalu tersambung walau mereka dalam jarak yang jauh, jadi, jangan sekali-kali melalaikan pesan Ibumu, yah :D

Siapakah pembunuhnya?


SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang