29. Kelas Tambahan 2/3

626 62 9
                                    

Semuanya panik, termasuk aku sendiri. Aku tidak bisa menahan jeritan mulutku sendiri saat merasakan betapa perihnya luka di mataku. Lebih perih dibandingkan ketika aku dengan sengaja menyayatkan kaca ke lenganku, lebih perih daripada ditolak cinta, lebih perih daripada dikacangin mantan. Oke. Ini perih sekali.

"Tari!" Luna menjerit memanggil namaku dengan keras. Air matanya menetes deras, lututnya bergetar hebat, dan ia terlihat sangat panik.

Aku mundur beberapa langkah dari posisiku sampai aku menabrak meja di belakangku. Ini tidak bagus. "Teman-teman, kalian jangan panik. Coba kalian dobrak pintu tersebut supaya kalian dapat pergi dari sini," ujarku.

Siswa-siswi tersebut berpikir sejenak, kemudian sepakat untuk menjalankan apa yang aku katakan.

"Hei, kau," panggilku sambil menunjuk seorang laki-laki. "Gotong temanmu yang pingsan tersebut. Bawa dia ke UKS."

"Baiklah," sahut anak laki-laki yang kusuruh tadi. Ia langsung menghampiri temannya yang tergeletak lemah sehabis menabrak tembok dengan keras. Dua orang yang lain ikut membantu.

Siapa yang sudah merasuki Delly? Apakah arwah seseorang yang memiliki dendam? pikirku dalam hati secara matang-matang.

"Tari!" panggil Luna sekali lagi.

Aku menengok sejenak untuk melihat keadaannya lagi. Luna tersenyum lebar dan tambak ada sedikit harapan bisa kabur dari kelas ini.

"Kami berhasil mendobrak pintunya, Tari. Kau memang genius!" Luna memang orang yang ceroboh, di saat genting seperti ini dia masih terpikirkan untuk memujiku.

Orang lain sudah lari tunggang-langgang pergi meninggalkan kelas. Sedangkan Luna masih berada di ambang pintu.

"Apa yang kau tunggu? Seharusnya kau pergi bersama mereka. Selamatkan dirimu!" seruku dengan nada sedikit membentak.

Luna mengernyit dalam. "Tentu saja aku menunggumu. Kita harus keluar bersama-sama. Bagaimana aku tega meninggalkanmu sendiri di sini? Bahkan matamu terluka parah," ia menolak perkataanku.

"Luna! Jangan keras kepala! Buat apa kau mencemaskanku?"

"Tentu saja aku mencemaskanmu. Kita kan sahabat."

"Sahabat, ya? Kalau begitu, kalau kau memang sahabatku, dengarkan ucapanku! Kau harus pergi dari sini! Jangan pedulikan aku!" bentakku sekali lagi.

Luna terpaku diam. Dia tidak menjawab, bahkan menuruti perkataanku. Dia menunduk lemah, membiarkan air matanya menetes membasahi lantai kelas. Suara isak tangisnya yang pelan dan lembut itu mengisi penuh indra pendengaranku. Itu membuatku tertekan dan merasa bersalah.

"Karena kita sahabat, aku tidak akan pernah membiarkanmu sendiri, Tari," ucapnya sambil terisak pelan.

"BERISIK!" aku menjerit dengan terpaksa. "BERISIK! Luna, kau cukup pergi dari sini! Pergi!"

"A-apa? Tari membentakku? Tari memarahiku?" ulangnya tidak percaya. "Tidak mungkin ... ini pasti bohong ... kan? Tari tidak mungkin membenciku."

"Luna pe-"

BUAK!

Tanpa sadar, tubuhku terhempas dan menabrak papan tulis. Benturan tersebut membuat punggungku terasa remuk, dan pengelihatanku sejenak menjadi buram. Darah dari mulutku keluar mengotori lantai dan seragam sekolah yang kukenakan.

Karena terlalu asyik marah dengan Luna, aku jadi menyepelekan keberadaan hantu yang merasuki Delly tersebut. Dia dengan mudahnya dapat meraih tubuhku lalu melemparku begitu saja.

"Tari!" Luna menjerit untuk kesekian kalinya. Dia hendak melangkah mendekatiku, tapi langsung kularang.

"Jangan pedulikan aku, Luna. Selamatkan nyawamu!"

"Tidak! Aku tidak akan meninggalkan Tari!" Bodohnya, dia berlari mendekat ke arahku. Mencoba menghalangi hantu tersebut agar tidak melukaiku.

"Bodoh! Kubilang pergi! Kau malah membahayakan dirimu sendiri!" kataku.

Luna tersenyum simpul sambil menyeka air matanya. "Tari yang bodoh. Biarkan lah aku melindungi dirimu. Sudah berkali-kali kau selalu menjagaku. Aku akan merasa bersalah kalau kau terluka hanya gara-gara kau melindungiku. Dasar Pengusir Hantu Bodoh," ejeknya.

Aku tertawa pelan. "Pengusir Hantu? Sejak kapan kau memberiku julukan itu?" tanyaku.

Dia tersenyum lagi, tapi lebih lebar dan bahagia. "Kau tidak sadar? Ketika kau ada di dekatku, aku merasa aman dari serangan diriku yang lain."

Dirinya yang lain? Apa yang dia bicarakan?

"Luna ... menyingkir dari korbanku ...," ucap hantu tersebut sambil mendekat ke arah kami berdua.

"Hentikan Lina!"

Lina?

***

Wah-wah. Udah dua minggu nggak nulis cerita, jadi kaku begini rasanya, bahkan Shiro sampe lupa nama tokoh-tokoh cerita ini. Ahahahaha, maklum, sibuk sana-sini :'v

Jadi, bagaimana? Apa tambah rumit? :v

Kayanya nggak deh. Ya udah lah, babay~!


SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang