32. Dia Milikku Selamanya

620 51 17
                                    

"Ren, nanti malam, di rumah Hani ada makan malam bersama. Kau mau ikut?" tanya Yuji, pemuda berkaca mata yang duduk di belakangku.

"Eh? Acara apa memangnya?" tanyaku balik, melirik Hani, kemudian kembali menatap lawan bicaraku sambil memasukkan buku ke dalam tas.

Yuji menghela napas pelan sambil merangkul tasnya. "Kita kan akan lulus SMA, setidaknya kita punya momen bersama di luar jam sekolah bersama teman-teman. Ya, sekalian bicara soal masa depan lah," jelasnya. "Ikut?"

"Ah, entahlah, mungkin aku harus minta izin dulu," balasku pelan, kecewa.

"Ayolah, orang tuamu pasti mengizinkan, kau kan sudah dewasa, Ren!" ucap Yuji seenak jidatnya sambil memukul pundakku beberapa kali.

Aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Yuji, dia memang benar, aku sudah diperbolehkan keluar malam sendirian oleh orang tuaku --asalkan ingat waktu-- tapi ... ada 'satu' perihal yang menghalangiku.

"Kalau kau diperbolehkan, langsung saja datang ke rumah Hani jam tujuh. Oke?"

Aku mengangguk. Yuji langsung melenggang hendak pulang sambil melambaikan tangannya pelan ke arahku, dan aku memperhatikan langkahnya ketika ia membuka pintu kelas. Kemudian kembali sibuk dengan buku-buku berserakan di atas mejaku.

Makan malam di rumah teman, ya? Tidak terdengar buruk, 'kan? Aku bahkan ingin sekali datang karena bisa saja dalam waktu lama aku tidak akan berjumpa dengan teman-teman SMA-ku. Andai saja aku tidak bisa melihat 'dia' mungkin aku bisa leluasa pergi ke mana pun sesukaku.

Andai saja.

***

"Aku pulang," ucapku ketika kakiku melangkah masuk ke rumah.

Ibuku tersenyum ketika melihatku sudah pulang dari sekolah dengan keadaan baik-baik saja, tangannya sejenak berhenti menyetrika pakaian hanya untuk mengelus kepalaku. "Makan dulu, sudah Ibu siapkan," ujarnya.

Aku balas tersenyum. "Omong-omong, Bu, Yuji mengajakku makan malam di rumah Hani, boleh aku ikut?"

"Tentu saja, mereka, kan teman-temanmu. Datang lah."

"Terima kasih, Bu." Aku mengecup tangan lembut Ibu kemudian naik ke lantai dua menuju ke kamarku.

Setiap melangkah naik, aku merasa senang juga sedih di saat yang bersamaan, senang karena Ibuku mengizinkanku pergi makan malam di rumah Hani, dan sedih karena 'dia' bisa saja menghalangiku pergi makan malam.

Benar saja, 'dia' sudah menungguku di depan pintu kamar.

"Aily."

"Eh~ Senangnya bisa pergi makan malam bersama teman-teman, ya?" sahut 'dia', atau yang sering kupanggil Aily, hantu wanita yang selama ini ada di dalam kehidupanku. Entah sejak kapan dia ada dalam kehidupanku, aku tidak ingat sama sekali.

Aily, sudah ada bersamaku sekitar empat tahun. Dan selama empat tahun itulah juga aku merasa semua kehidupanku berjalan begitu sulit. Aily selalu melarangku pergi keluar dengan seseorang --kecuali Ibu dan Ayahku-- entah apa alasannya, aku tidak tahu.

Aily tidak pernah menceritakan bagaimana ia datang kepada diriku, atau bercerita bagaimana ia selama masih hidup, atau bagaimana ia bisa mati di usia yang seumuran denganku, sama sekali tidak pernah. Malah bisa dibilang, dia selalu menghindar setiap kali aku membuka pembicaraan tentang semasa hidupnya dulu. Ia menghilang begitu saja, atau beralasan lelah saat aku membahas hal itu.

"Pergilah, Ren," ucap Aily, muncul tiba-tiba di belakangku.

"Eh? Barusan kau bilang apa?" tanyaku, meminta Aily untuk mengulangi perkataannya.

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang