16. Drama

1.2K 96 44
                                    

Aku hanya bisa menangis meratapi kematian anakku. Di bawah derasnya hujan, dan payung hitam yang menaungiku, aku mengucapkan kata maaf berkali-kali. Sekarang aku hanya bisa mengenang wajah mendiang anakku dan mengusap batu nisannya.

"Maaf kan, Ibu, Nak. Ibu tidak mengerti kenapa Ibu bisa melakukan hal seperti itu terhadapmu."

***

Sudah seminggu ini anak putriku tidak mau keluar dari kamarnya, aku tidak tahu kenapa, bahkan saat jam makan ia tidak pernah mengeluh kelaparan seperti dirinya yang biasanya. Suamiku bilang bahwa putriku baik-baik saja, mungkin ia sedang depresi karena diputus oleh kekasihnya. Ya, hal yang wajar terjadi pada anak remaja seperti putriku.

Aku selalu mencoba mengintip keadaannya dari jendela kamar putriku, tapi aku selalu gagal karena jendela kamarnya selalu tertutup gorden.

Padahal liburan sekolah sudah akan usai, apa ia akan terus mengurung diri di kamar jika seperti ini? Aku khawatir kalau dia kelaparan atau kehausan, atau bahkan terlalu jenuh hingga ia memaksakan diri untuk tidur selama seminggu itu.

Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya. "Ryushi, apa kau dengar Ibu, Nak?" panggilku dengan lembut.

Tidak ada jawaban dari dalam.

"Ryushi! Buka pintunya, Nak."

"Aku tidak mau, Bu!" sahut Ryushi dari dalam.

Aku merasa lega dapat mendengar suara anakku lagi. "Ayo lah, Nak, apakah kau tidak mau makan bersama Ayah dan Ibu lagi?" rayuku.

"Kalau aku bilang tidak mau, ya, tidak mau! Ibu jangan panggil namaku lagi! Aku tidak mau mendengar suara Ibu lagi!" bentak anakku keras-keras sampai suaranya terus menggema di telingaku tanpa henti.

"Kenapa, Nak?" tanyaku.

Indra pendengaranku menangkap suara isak tangis pelan dari dalam kamar yang tidak salah lagi adalah suara tangis Ryushi. "Nak?" panggilku sekali lagi.

"Sudah lah, Bu. Ibu tidak usah susah payah bermain drama seperti ini. Aku hanya ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya dari Ayah, itu saja."

Aku mundur beberapa langkah, menjauh dari pintu kamar anakku. Hatiku terasa begitu sesak mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Ryushi. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ucapan Ryushi barusan.

Satu menit setelah hal itu, aku menangkap suara deru motor khas milik suamiku. Aku seketika mendongak melihat jam yang menggantung di dinding, jarum di jam tersebut menunjukan pukul 5:07 petang. Pukul di mana suamiku pulang kerja.

Aku segera membuka pintu rumah dan menyambut kedatangannya. "Ryushi ingin berbicara denganmu, kuharap kau segera menemuinya," ujarku sambil membantunya mengangkut barang-barang kantornya ke dalam rumah.

Suamiku membenahi dasinya. "Baiklah, semua yang ia katakan maupun kondisinya akan kukabari kepadamu," ucapnya sambil memberi kecupan manis di keningku.

Ia segera memasuki kamar Ryushi saat pintunya terbuka. Aku hanya melihat sekelebat bayangan anakku di dalam gelapnya kamar putriku.

Semoga Ryushi baik-baik saja, pikirku dalam hati.

***

Sudah sekitar tiga puluh menit lebih suamiku tidak keluar dari kamar Ryushi. Aku menunggu jawaban suamiku di luar kamar, aku hanya bisa memanjatkan doa kalau Ryushi baik-baik saja sambil bersandar di dinding kamarnya yang dingin bak es di kutub utara.

Aku hanya mendengar desas-desis ucapan mereka yang tidak jelas. Beberapa kali aku mendengar Ryushi berteriak atau terisak menangis.

"Ibu," panggil suamiku tiba-tiba, menghancurkan lamunanku.

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang