13. Hujan Satu Bulan 2/3

1K 84 24
                                    

"Namamu Alexa, ya?" tebak orang tak dikenal yang sedang duduk manis di sofa sembari  ditemani secangkir teh hangat yang berdiri tegap di atas meja.

Aku mengangguk canggung.

Pak Kepala Sekolah menuntunku untuk duduk di seberang orang asing tersebut. Dengan kaki gemetaran, aku duduk sambil menatap orang itu dan mencoba tersenyum selebar kubisa. Aku hanya mencoba memperlihatkan bahwa anak kota tidak sepenuhnya buruk.

"Wah-wah. Sayang sekali, pelanggar peraturan desa kali ini adalah gadis cantik jelita. Sungguh merepotkan sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, pelanggar tetaplah pelanggar. Jadi, harus dihukum sesuai tata peraturan desa," jelas orang di depanku serius, kemudian tertawa kecil.

"Bagaimana ini, Sesepuh? Dia adalah muridku, tidak mungkin kan dia harus dihukum mati? Lagi pun, dia masih sangat belia," tanya seorang wali kelasku dengan bibir bergetar dan keringat dingin yang bercucuran deras.

Aku kaget dan langsung membelalakkan mata. "Hukuman mati?!"

"Ah, Alexa, biar Bapak jelaskan," ujar Pak Kepala Sekolah. "Orang di hadapanmu adalah sesepuh, ketua adat desa ini. Di desa ini ada sebuah peraturan yang tidak boleh dilanggar sesiapa pun. Tapi sayang, setiap tahun ada saja orang yang melanggar, termasuk kau, Alexa," jelasnya.

"Peraturan apa itu, Pak?"

"Peraturan ini berlaku hanya pada bulan Oktober. Bulan ini sangat keramat bagi desa kita. Karena, pada bulan ini, Sershi akan datang dan ciri-ciri kedatangannya adalah hujan yang tidak berhenti selama sebulan penuh," jawab Pak Kepala Sekolah dengan berat hati.

"Cukup, Pak Kepala Sekolah," perintah Sesepuh.

Pak Kepala Sekolah pun mengangguk dan menuruti perkataan Sesepuh tersebut.

"Ta-tapi aku tidak tahu apa-apa. Bahkan, aku tidak sadar kalau desa ini punya peraturan semacam itu," desakku.

"Para guru, aku minta waktu untuk berbicara dengan Alexa berdua saja?" pinta Sesepuh.

Tanpa menjawab, para guru pun melangkah pergi sambil menatapku kecewa.

"Alexa, sungguh malang nasibmu," ucap Sesepuh setelah tersisa kami berdua di ruang guru.

"Sesepuh, tolong jelaskan padaku peraturan tersebut," kataku.

Sesepuh itu menyeruput teh yang ia genggam kemudian berpikir sejenak. "Sershi akan marah pada para pelanggar peraturan. Dia akan meminta persembahan yang persembahannya itu adalah jantung dan otak sang pelanggar," jawabnya. Dia menggeleng kemudian memalingkan pandangannya dariku.

Aku menelan ludah mendengar jawaban dari Sesepuh. "Aku tidak melanggar apa-apa, Sesepuh."

"Tidak melanggar katamu, hah?!" kata Sesepuh tiba-tiba mengagetkanku. "Kau memakai payung saat keluar ruangan itu adalah pelanggaran!"

Aku meneteskan air mata. Mataku menatap pantulan wajahku di layar ponsel, aku menyeka air mataku perlahan. Kemudian, terdengarlah dering ponselku yang memecahkan lamunanku. "Halo, Bu?"

"Alexa? Kau masih di sekolah?" tanya Ibu yang kedengarannya sangat panik.

"Ya, Bu. Ada apa?"

"Alexa, Ibu sungguh tidak menyangka kalau kau telah melanggar peraturan desa ini. Ibu ... Ibu ... tidak bisa menerima hukumannya. Apa benar jantung dan otakmu akan diambil?"

Aku terisak. "Aku tidak tahu, Bu. Ibu ... Alexa tidak mau dijadikan tumbal, Bu. Aku sekarang sedang bersama sang ketua adat. Dia juga bilang hal yang sama seperti Ibu. Aku takut, Bu."

Ibu terdengar sangat sedih. "Alexa, bicara lah dengan santun pada ketua adat. Bilang padanya, apakah ada cara lain untuk menghukummu?" perintah Ibu sesaat setelah itu, teleponnya terputus.

Aku menyeka air mataku. "Sesepuh, apa tidak ada cara lain agar aku tidak dijadikan tumbal untuk Sershi?"

Sesepuh berpikir sejenak. "Ada, hanya saja ... apa kau mau menerimanya?"

Aku menaggguk.

"Hukuman lainnya adalah kau harus merelakan ayah atau ibumu untuk dijadikan tumbal, dan kau tidak boleh datang ke desa ini lagi," kata Sesepuh.

"Itu sama saja, Sesepuh. Tidak ada cara lain?"

Sesepuh menggeleng pasrah. "Ya, cukup sampai di sini obrolan kita. Aku akan menunggumu untuk hukuman di kuil desa pada bulan purnama nanti. Masih ada satu minggu sebelum bulan purnama sempurna. Pakailah waktumu sebaik-baiknya dan jadilah anak kota yang baik. Aku tidak mau mendengar keluhan lagi. Sershi akan membuntutimu selama seminggu penuh sebelum hukuman dilakukan, kuharap dia tidak akan menyakitimu," jelasnya sambil beranjak pergi meninggalkan ruangan kantor.

Tangisku membeludak. Desa ini benar-benar kacau. Hanya karena aku memakai payung saat keluar rumah hukumannya adalah mati. Sungguh tidak adil.

Aku menyambar tasku kemudian dengan gontai keluar ruang guru. Tapi, saat aku hendak membuka pintu, ada seseorang yang sepertinya mengikutiku.

"Semua pelanggar harus dihukum."

***

Sershi, nama yang aneh, kan? :V *dicekek sama Sershi*

Cerita selanjutnya akan lebih menegangkan. Siapa yang akan jadi tumbal? :V Jawabannya ada di part yang akan muncul minggu depan.



SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang