12. Hujan Satu Bulan 1/3

1.3K 90 7
                                    

Setelah kepindahanku dari kota ke desa, aku mulai merasakan kenyamanan tinggal di desa daripada di kota yang hidupnya serba repot. Di desa, aku tinggal bersama ibuku sedangkan ayah masih tetap tinggal di kota karena pekerjaan yang mendesaknya.

Penduduk di desa ini sangatlah ramah, mereka tidak memandangku sebagai orang asing. Selalu saja ada satu dua orang tiap hari datang mengunjungi rumahku untuk berkenalan lebih jauh.

Aku sendiri sudah masuk ke SMP yang ada di desa ini. Teman-teman baruku tidak canggung untuk berbicara denganku yang mantan anak kota ini. Mereka benar-benar asyik! Di sini sangat nyaman, udara yang masih sejuk, dan orang-orang yang ramah. Pasti aku akan betah tinggal di desa.

Namun ... sudah tiga hari ini hujan turun dengan lebat tanpa henti 24 jam. Aku memaklumi itu karena bulan ini adalah musim penghujan.

Tetapi, saat aku berangkat sekolah, di hari keempat hujan awet bak diberi borax itu, teman-teman yang berangkat bareng bersamaku tidak membawa payung, mereka hujan-hujanan dengan seragam sekolah selama perjalanan.

"Kalian aneh," komentarku kepada dua orang di depanku.

Laki-laki seumuranku dengan tinggi yang melampaui batas capaianku bernama Re itu memandangku dingin menghadap ke belakang. "Bukankah kau yang aneh?"

Aku membelalak. "Kalian lah, buat apa hujan-hujanan ke sekolah. Kenapa tidak membawa payung?" tanyaku penasaran.

Moe menjerit. "Terkutuk kau!" Entah kenapa, aku tidak tahu tiba-tiba saja Moe berseru demikian ketika melihatku memainkan payung yang menaungiku sedari tadi.

Beberapa detik kemudian mereka kabur dengan cepat sebisa mungkin tidak berada di dekatku. Aku mengejar mereka tapi tetap saja Re dan Moe menjauhiku.

"Ada apa, sih?"

***

Betapa terkejutnya aku ketika melihat guru-guru dengan pakaian yang basah kuyup datang satu per satu ke sekolah, begitu juga siswa seluruhnya --tidak denganku.

Mereka memandangku dengan tatapan takut, seolah-olah aku adalah kuntilanak dadakan yang mengantui seantero sekolah. Mereka menatapku sejenak kemudian berseru seperti yang diucap Moe tadi setelah itu berlari.

Aku masih belum mengerti.

Apa desa ini punya semacam kutukan? Larangan? Ritual?

Aku duduk dengan manis di bangku yang selalu menjadi teman belajarku. Di sampingku, ada Layer yang sepertinya hari ini agak terasa aneh, gimana gitu ... dia seperti berusaha untuk tidak berbicara satu huruf pun kepadaku.

"Apa kau tidak merasa melanggar peraturan desa?" tanya Layer tanpa menatapku sedikit pun.

Aku memainkan pulpen yang ada di tanganku. "Um, tidak," jawabku santai.

"SUNGGUH TERKUTUK KAU!" teriak Layer tiba-tiba membuat seisi kelas hening beberapa detik kemudian menjerit histeris, dan mengatakan hal yang sama seperti Layer seraya menunjuk-nunjuk diriku.

"TIDAK! DESA KITA TERKUTUK KARENA DIA! AKU AKAN LAPOR KEPALA SEKOLAH AGAR KITA TETAP AMAN!" ucap salah satu lelaki, yang tidak salah lagi adalah Re.

Semua siswa, tidak hanya di kelasku satu persatu keluar dari kelas mereka kemudian pamit pergi berlarian di bawah hujan tidak mempedulikan kalau buku-buku yang mereka bawa basah kuyup.

Layer menatapku geram kemudian menyambar tasnya dan segera berlari keluar dilanjutkan murid-murid yang lain.

Moe memukul mejaku dengan keras, dia kelihatan sangat marah. "Mulai detik ini, kita bukanlah teman. TITIK!"

"Moe," kataku sambil menahan tangannya agar ia tidak pergi meninggalkanku tanpa memberi penjelasan terlebih dahulu. "Kenapa semua orang terlihat panik dan berseru-seru ke arahku?" tanyaku sedikit terisak.

"Itu karena kau melanggar peraturan desa! Kita bisa kacau hanya gara-gara kau! Sadar kah kau sudah membuat desa ini terkena kutukan, ha? DASAR ANAK KOTA TIDAK TAHU DIRI!" Moe menepis tanganku kuat-kuat dan segera meninggalkanku yang sendirian di dalam kelas.

Aku terisak sambil memeluk tasku kemudian merogoh kantung rokku menggapai ponselku untuk menelpon Ibu. Tetapi, belum sempat aku menyalakan ponsel, Pak Kepala Sekolah terlihat berdiri di bibir pintu kelas sambil memanggil namaku sedikit berbisik.

Aku berjalan gontai mendekati Pak Kepala Sekolah. "Ya?"

"Bisa ikut bapak ke ruang kantor sebentar? Kita ada sesuatu yang harus dibicarakan," katanya.

"Tolong tunggu sebentar," Aku berbalik mengambil tasku kemudian mengangguk memberi isyarat kepada bapak tersebut.

Aku membuntuti beliau selama perjalanan menuju ruang kantor. Aku sungguh tidak mengerti. Apa yang terjadi sebenarnya? Aku melanggar peraturan? Desa yang aneh. Aku tidak akan betah di sini. Aku mau kembali ke kota!

Ketika aku memasuki ruang kantor, aku disambut hangat oleh dua guru lain dan satu orang asing mengenakan jubah super besar yang menutupi wajahnya tengah duduk dengan nyaman. Tangannya terlihat keriput dan lemah. Siapa, sih?

Aku kenapa sebenarnya?

"Namamu ... Alexa, ya?"

***

Yo!

Ada cerita bersambung lageh :V

Ini untuk melampiaskan kekesalan Shiro terhadap hujan tiap hari di daerah Shiro membuat cucian Shiro tidak kering-kering :"V




SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang