27. Boneka

871 89 10
                                    

Seperti biasanya, setiap sore aku selalu membantu kakek dan nenekku untuk berkebun. Mereka menanam sawi dan kol, pekerjaanku hanyalah menyemai sayuran kemudian menyirami sayuran tersebut hingga basah seluruhnya.

Aku mengambil ember yang tergeletak dekat pondok biasa tempat kami beristirahat setelah bekerja. Setelah itu, aku berjalan mendekati sungai yang berdekatan dengan rel kereta api.

Saat aku hendak menciduk seember air dari sungai yang jernih tersebut, aku jadi ingat kejadian seminggu yang lalu. Ketika seorang anak kecil bermain sepeda di dekat rel kereta api, kemudian tertabrak secara mengenaskan. Kepalanya terputus dan tubuhnya hancur tidak keruan. Yang mengerikan, kepala anak tersebut belum ditemukan sampai sekarang.

Bahkan darahnya yang berceceran masih meninggalkan jejak di tanah. Aku hanya menatapnya sekilas kemudian melanjutkan pekerjaanku.

Aku melangkah kembali untuk menyirami tanaman, tapi baru mendapat tiga langkah, aku terhenti, karena penasaran, aku kembali ke tempat rel kereta yang banyak darahnya tersebut.

Apa iya kepalanya masih belum ditemukan? renungku dalam hati sambil menyapu pandanganku ke seluruh penjuru rel kereta.

Kakiku menelusuri pinggiran-pinggiran rel kereta. Sedari tadi yang kudapati hanyalah bercak-bercak darah yang menempel di rumput dan semak-semak.

Apa itu? tanyaku dalam hati ketika melihat rambut di sela-sela rerumputan.

Rasa penasaran di dalam hatiku semakin membesar, aku meraih rambut tersebut. Yang kupikirkan pertama kali adalah kalau itu kepala anak kecil yang kecelakaan seminggu lalu. Tapi, saat aku benar-benar meraih rambut tersebut, yang kudapati bukanlah sebuah kepala, tapi kepala boneka yang amat kotor.

Aku mengambilnya dan menatap boneka tersebut lekat-lekat.

"Juli!" panggil nenekku dari kejauhan.

"Iya, Nek! Ada apa?" sahutku sedikit berteriak.

"Cepat bawa airnya ke sini sebelum hari gelap!" perintahnya.

Aku mengangguk menanggapi perintahnya dan segera aku membawa ember beserta boneka yang kutemukan ke tempat lahan kakek dan nenekku.

"Kenapa kamu lama sekali, Juli?" tanya kakekku.

Aku tertawa kemudian menunjukkan boneka yang aku temukan di pinggiran rel kepada kedua orang tua tersebut. "Aku menemukan boneka ini, boleh aku bawa?" tawarku.

"Juli! Buang kepala itu!" suruh nenekku dengan raut wajah tidak percaya.

"Juli! Itu bukan boneka! Buang!" lanjut kakek.

"Ha?" aku tidak mengerti. Aku kembali melihat boneka yang kugenggam. Jelas-jelas kalau ini boneka, kenapa mereka tidak percaya. "Ini boneka, lihat lah! Ini kepala boneka!"

"Buang kepala itu!"

***

Yo!

Jadi, gimana tuh yang bener? :v

Vote dan komentar dibutuhkan untuk menilai seberapa menarik cerita ini.

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang