30. Kelas Tambahan 3/3

653 68 5
                                    

"Lina?" ulangku dengan bibir bergetar.

Luna tersenyum. Entah jawaban apa yang ia berikan kepadaku dengan senyuman itu. Aku tidak bisa mengerti dengan bentuk senyumannya itu.

"Jangan sakiti Tari. Memangnya kesalahan apa yang dibuatnya?" tanya Luna dengan nada tegas.

"Manusia brengsek di belakangmu itu sudah merebut dirimu dariku. Aku mencoba mengambil kembali hakku yang ada di tanganmu, tapi manusia itu selalu menghalangi jalanku. Dia selalu saja melindungimu dariku, Luna," jelas Lina dengan nada serak dan amarah yang dipendam.

"Jika kau ingin menyakitinya, lewati dulu mayatku!" Luna berteriak sambil merentangkan tangannya berniat menjagaku dari hantu yang merasuki Delly tersebut.

Hantu itu tidak merespon dengan kata-kata, ia mengulurkan tangannya ke depan, lurus menunjuk ke arah Luna. Dia tersenyum bengis. "Minggir, Luna."

"Tidak akan! Aku akan melindungi Tari apa pun yang terjadi," ucap Luna keras kepala.

"Jangan bodoh, Luna. Manusia brengsek itu bisa membunuhmu kapan saja," komentar Lina sambil menatapku dengan sorot mata yang tajam. "Minggir," lanjutnya.

"Tidak akan!"

"Minggir, Luna. Dia bisa saja menyakitimu," ujarku pelan sambil menarik celana panjangnya agar ia melihatku sekejap saja.

Luna membuang pandangan penuh tanda tanya kepadaku. Aku tersenyum kecil menanggapinya. "Aku akan baik-baik saja, Luna."

Ia menggeleng kuat. "Aku tidak akan melakukan hal tersebut, Tari. Aku akan me-"

BRAK!

Dalam waktu sekedipan mata dan tanpa dapat diduga, Lina melempar tubuh Luna dengan kekuatannya ke tembok dengan sangat cepat. Luna meringis kesakitan sambil memegangi siku tangan kanannya yang berdarah.

"Terlalu banya bicara. Aku tidak suka," komentar Lina sambil menyeringai lebar ke arahku. " Sekarang kau akan jadi milikku selamanya, dan Luna akan kembali kepadaku. Kau tidak akan pernah bisa melindungi dirinya lagi!" lanjutnya.

Jantungku berdetak hebat tak terkendali, menyebabkan rasa sakit yang amat menyiksa. Keringat dingin merosot di kening dan pipiku perlahan. Tubuhku bergemetar tak keruan. Sangking takutnya, aku hanya bisa menenggak air liurku tanpa bisa menggerakan bibir sedikit pun.

Tatapan Lina membuatku seperti mayat. Tak dapat melakukan apa pun sedikit pun. Seolah sorot matanya menghipnotisku untuk tidak bergerak.

Atau aku yang memang penakut.

"Lenyap lah kau, Manusia Breng-"

Di sudut mataku, aku melihat Luna berlari mendorong Lina dengan tubuhnya dari samping dengan penuh kekuatan. Mereka jatuh bersamaan. Lina tidak sadarkan diri, sedangkan Luna meringis kesatikan untuk yang kedua kalinya.

Aku segera menghampiri Luna. "Kau tidak apa-apa, Luna?" tanyaku panik.

"Ehe, bagaimana? Apa aku terlihat seperti superhero? Keren sekali, 'kan, aksiku barusan?" Luna menanyaiku balik.

"Sekarang bukan saatnya untuk berkata seperti itu, Luna. Kita harus segera pergi sebelum Lina sadar kembali," ujarku sambil menarik tangan Luna agar segera bangun.

"Aw," Luna mengeluh.

"Ah! Ma-maaf. Apa kakimu terluka?" tanyaku.

"Ya, sepertinya saat aku mendorong Lina tadi kakiku sempat terkilir," jawab Luna santai.

Aduh ... bagaimana ini? Luna tidak bisa diajak berlari, pikirku dalam hati sejenak. Haruskah aku menggendongnya? Tapi ... itu hal yang sangat aneh, kalau saja ada orang lain yang lihat bagaimana, pasti mereka akan berpikir yang tidak-tidak.

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang