31. Salah Jalan

762 64 10
                                    

Dua puluh menit yang lalu, Yui pamit kepadaku kalau ia ingin pergi ke toilet sebentar, tapi apa nyatanya? Sampai sekarang dia belum balik ke tempat awal. Jangan-jangan dia tidak tahu arah balik ke tempatku sekarang berdiri lagi? Aduh, jangan sampai ini terjadi.

"Yui, kau di mana, sih? Ugh, seharusnya dari awal aku tidak membiarkannya pergi sendirian. Dia memang tidak bisa dipercaya," umpatku kesal sambil meremas bungkusan permen kapas di tangan kiriku.

Dengan rasa sedikit panik, aku bolak-balik jalan di tempatku berada, berharap kalau Yui kembali secepat mungkin. Apa yang Yui lakukan, sih? Padahal kan sepuluh menit lagi kembang apinya akan diluncurkan!

Dasar. Dia cuma bisa menghancurkan masa liburanku saja.

Ini adalah hari terakhir musim panas, baru pertama kalinya aku melihat festival kembang api di kampung halamanku, aku juga senang, bisa bertemu Yui, teman masa kecilku. Sifatnya masih sama saja seperti ia berumur enam tahun, tidak ada yang berbeda, dari cara ia berbicara, berjalan, sampai seperti ini masih sama seperti dulu.

"Yui! Ergh!" Kesabaranku habis, segera aku tinggalkan tempatku berdiri dan mencari Yui. Tempat yang aku tuju pertama kali adalah toilet umum yang tak jauh dari danau, tempat kembang api akan diluncurkan.

Yui memang menyebalkan. Tapi ini bukan sepenuhnya salah dia. Aku juga salah, kenapa aku tidak mengantarnya saja? Aku menyesal tadi sibuk dengan handphoneku sampai-sampai membiarkan Yui pergi ke toilet sendirian.

"Yui!" panggilku sekuat yang kubisa. Tidak ada satu orang pun di area toilet ini. Itu pasti, karena semua orang sudah berkumpul di danau, kecuali aku. "Yui!"

Karena kesal, aku mencoba pergi ke area belakang toilet umum, berharap saja tiba-tiba Yui memang ada di sana. Karena tempatnya remang-remang, aku menghidupkan senter yang ada di handphone untuk menuntunku menyusuri jalanan yang gelap.

Beberapa detik setelah itu, aku merasa lega sekali karena Yui berdiri tidak jauh di depanku. Dengan rasa senang yang tak bisa kuungkapkan, aku berlari mendekati anak itu dengan terus memanggil namanya.

"Kau ke mana saja, sih? Aku mencarimu ke mana-mana! Kau membuatku kesal saja," kataku sebelum aku benar-benar ada di hadapannya.

Aku tidak bisa melihat wajah Yui yang tertunduk. Kulitnya pucat dan dingin sekali, keringat menyusuri keningnya perlahan, deru napasnya juga tidak beraturan. "Yui? Kau kenapa? Badanmu dingin sekali!"

Yui tidak menjawab pertanyaanku.

Aku memegang keningnya. Betapa terkejutnya aku, badannya yang dingin, tetapi kepalanya panas sekali. "Gawat! Kepalamu panas sekali, ayo aku tuntun ke rumah sakit dekat sini. Jangan sampai terjadi apa-apa dengamu, Yui."

Panik. Aku benar-benar panik. Padahal baru saja aku ingin menghela napas lega karena sudah menemukan Yui, tapi belum sempat aku menghela napas, rasa was-was sudah menyelimutiku lagi.

Aku menuntun Yui ke rumah sakit perlahan. Walau aku tahu ini memakan banyak waktu, karena tidak mungkin aku meminta bantuan orang lain, semua orang sudah sibuk menunggu kembang api diluncurkan.

Dengan segala kesabaran, perlahan kami keluar dari kompleks festival, di ujung jalan setapak, ada papan penunjuk arah, di situ ada tulisan yang menunjukan arah rumah sakit.

Tepat di tengah perempatan, aku melirik penunjuk arah itu sejenak dan terbesit di pengelihatanku tulisan "rumah sakit" menunjuk ke arah lurus depan. Jalan setapak di depanku. Tanpa pikir panjang, aku langsung melangkah di jalan tersebut.

***

"Yui, duduk di sini, aku akan memberitahukan kepada orang tuamu, ya?" ujarku sambil menyuruh Yui duduk di bangku tunggu rumah sakit. Walau rumah sakit terlihat sepi, tapi aku yakin kalau ada perawat di dalamnya.

Aku menatap Yui sejenak sebelum total pergi dari rumah sakit tersebut. Aku tidak tega melihat temanku seperti itu, wajahnya yang pucat sekali, dan matanya yang begitu sayu.

Sepanjang jalan menuju perempatan, aku menatap handphoneku mencari nomor orang tua Yui, berharap aku pernah menyimpan nomor mereka. Tapi sia-sia, tidak kutemukan satu nomor pun milik orang tua Yui.

Aku melintasi perempatan dan hendak berbelok ke kanan, menuju desa di mana orang tua Yui tinggal. Tapi, belum sempat aku melangkah ke kanan ....

"Shiro?" seseorang memanggilku dari arah berlawanan.

Kenapa?! Aku kenal betul suara ini! Suara ini milik ....

"Yui?!"

"Ha? Kenapa? Kau terlihat aneh, Shiro."

Badanku membeku, tidak bisa bergerak sedikit pun. Otakku sedang berusaha mencerna semua ini secara matang-matang. Kalau perempuan yang di depanku ini Yui? Lalu ... yang tadi sakit siapa?

"Kau aneh sekali, Shiro. Barusan aku melihatmu melewati jalan itu," ucap Yui sambil menunjuk jalan yang ia maksud. "Kau kenapa ke sana? Dan kau di sana ngapain? Itu kan jalan ke ... kuburan."

Kuburan?

***

Syukurlah, masih bisa update satu part baru :D

Ide ini sepintas aja lewat waktu nonton anime -haha. Walau ceritanya klise dan mainstream banget, tapi aku tetap berusaha buat tulis di sini biar kalian terhibur :D

Itulah alasannya kenapa di sini pake nama Shiro dan Yui, karena aku lagi nggak ada ide harus kasih nama apa :'v Shiro itu namaku, dan Yui itu urutan abjad di keyboard Y U I. Dah ah, bomat.

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang