15. Mi dan Daging

1.2K 106 18
                                    

Kala malam yang dingin itu menyelimuti bumi, perutku terasa begitu lapar. Saat membuka tudung saji di meja makan, yang kudapati hanyalah sebuah piring dengan kepala ikan laut sedang duduk manis.

Aku menggerutu kemudian merengek minta uang untuk beli mi instan di warung tapi ibuku tidak mengizinkanku untuk makan mi cepat saji seperti itu lagi karena berat badanku sudah melampaui batas kewajaran.

Suara gemuruh kendaraan roda dua milik ayahku yang khas itu menggema di telingaku. Ternyata ayah sudah pulang dari kerjanya.

"Ada makanan tidak, Sayang?" tanya ayahku kepada ibu dengan panggilan yang sangat romantis.

"Aku tidak sempat masak, Sayang. Maaf, ya. Badanku rasanya pegal-pegal karena cucian hari ini banyak sekali," jawab ibuku tidak kalah romantisnya. "Tari sedang kelaparan juga, bagaimana kalau kalian makan di luar saja?" ujarnya.

Aku melotot karena senang, sudah lama aku tidak pergi makan di luar. "Tapi, Ibu bagaimana? Masa ditinggal sendirian?" kataku.

"Ibu belikan satu bungkus saja bawa ke rumah. Kalian makan di sana."

"Oke," sahutku. Aku beralih pada ayah yang sedang beres-beres pakaian. "Mau makan apa, Yah?" tanyaku dengan tampang manis.

"Mi pangsit di ujung dekat super market," jawab ayahku tanpa melirikku sedikit pun.

Aku mengertak. "Mi pangsit Bang Matze, ya?" tebakku.

Ayah hanya mengangguk kemudian menepuk pundakku mengkode bahwa sekarang sudah saatnya pergi.

Aku tidak melangkah sedikit pun. "AYAH!" sontak aku menjerit.

Ayah terhenti kemudian berbalik badan dan menatapku lesuh. Dia seolah memancarkan aura penolakan terhadap panggilanku.

"Apa Ayah tidak tahu rumor yang beredar soal warung mi pangsit Bang Matze?" tebakku.

Ayah menggeleng.

"Aduh,  Ayah! Bagaimana, sih?" Aku mulai panik.

Dia menepuk pundakku dengan lembut. "Kenapa memangnya? Lagi pun, Tari sudah lapar, kan?" tebak Ayah.

Aku mengangguk lemah. "Ayah ... Ayah tahu? Sekarang sedang dirumorkan bahwa daging yang dipakai pada mi itu bukan daging biasa," elakku.

Ayah menghela napas panjang dan segera menarikku untuk menaiki motor. "Sudah lah Tari, jangan terhasut rumor bohong seperti itu. Ayah kan sudah kenal baik dengan Bang Matze. Ayah yakin rumor itu beredar agar sang penjual bangkrut," jelasnya.

"Baiklah," aku menuruti perkataannya dan segera menaiki motor.

Ayahku tersenyum lembut kemudian menghidupkan motor, membuat suara khas motor miliknya memenuhi seluruh sudut rumahku. Kami keluar dari rumah. Suasana malam yang dingin membuatku bergidik kengerian, cahaya bulan sama sekali tidak menampakkan dirinya, sejuknya angin malam menyapu tengkukku membuatku gusar.

***

Kami sampai di tujuan, Ayah segera memarkir sepeda motornya di tempat yang telah disediakan. Dengan senyum yang mengembang, Ayah menyapa sang penjual, Bang Matze.

Bang Matze menyalami Ayah dan mengucapkan salam seolah mereka sudah lama tak bertemu. Dari raut wajah yang muncul di wajah penjual itu, aku merasakan hal yang tidak wajar.

Sang penjual menatapku kemudian tersenyum --di hadapanku, senyumnya itu seperti senyum seorang pembunuh.

"Wah, putrinya sudah besar, ya? Cepat sekali!" seru Bang Matze. "Anak zaman sekarang tidak dilihat sebentar, sudah-sudah, langsung besar saja," komentarnya.

Ayahku tertawa kecil.

Aku hanya merengut tidak merespon perkataannya.

"Mau pesan berapa mangkok?" tanya penjual.

"Dua mangkok makan di sini dan satu dibungkus," jawab Ayahku sambil memberi kode kepadaku agar segera duduk di dalam warung.

Singkatnya, pesanan kami datang beberapa menit setelah itu. Aku hanya memandangi hidanganku dan tak segera menyantapnya karena aku masih ragu.

"Tari, kenapa tidak dimakan?" tanya Ayah.

Aku menggeleng saja tanpa menjawab.

"Tari ... kau bisa lihat? Ini daging ayam," tegasnya. "Apa kau tidak nafsu makan?"

Aku menggeleng lagi.

"Kalau begitu, Ayah ke supermarket di depan situ sebentar, Tari tunggu di sini, ya?"

"Ya," sahutku.

***

Sudah sekitar sepuluh menit, Ayah tidak kembali ke warung Bang Matze. Ayah beli apa, sih?

"Halo, Anak Manis?" sapa Bang Matze dengan senyum psikopat.

Aku tidak menjawab.

"Kenapa tidak dimakan?" tanyanya.

Aku tidak menjawab, kemudian melirik ke belakang tubuhnya karena ia terlihat seperti menyembunyikan sesuatu di baliknya.

Dan benar saja, aku melihat kapak yang begitu besar di genggamannya.

"Apa yang-" Aku dibekap untuk tidak melanjutkan kata-kataku.

"Diam."

Dia mengayunkan kapak yang ia pegang ke arahku. Seketika, semuanya menjadi gelap.

"Bagaimana makanannya? Lezat?"

"Ke mana putriku?"

***

UWWUUUU :3

Ini dapet inspirasi waktu Shiro makan mi pangsit :v

Tapi nggak nyata lho, ya, masa aku dibunuh dan masih bisa nulis di sini :v

Ya udah deh, gitu aja, jangan lupa vote. :3

SilakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang