Petir menyambar bumi. Gelapnya langit sangat menakutkan. Tirai jendela berterbangan, daun daun bergoyang seirama dengan angin yang berhembus kencang. Di kamar Zaza, tubuhnya sedang mengalami kritis. Dokter menyiapkan alat pacu. Yanuar hanya bisa menangis ketakutan melihat keadaan ini.
"1,2,3."
Dokter menempelkan alat pacu jantung ke badan Zaza. Keringat bercucuran di dahi dokter itu. Dan kondisi Zaza masih belum stabil.
"1,2,3."
Dokter kembali lagi melakukan hal yang sama. Dan seketika monitor menunjukkan tubuh Zaza kembali stabil. Perawat langsung membersihkan keringat sang dokter.
Yanuar berkali kali menyebutkan puji syukur kepada Tuhan. Masih mengizinkan putrinya untuk tinggal di dunia ini. Dunia yang kejam dan keji.
"Kondisi Zaza sudah stabil. Saya pamit, keluar." Dokter itu keluar diikuti kedua perawat.
Berhari hari, kondisi Zaza masih sama. Terkadang kritis terkadang stabil. Entah cobaan apa yang sedang Tuhan berikan kepada Zaza. Bahkan, Yanuar berkali kali memohon bertukar posisi dengan Zaza. Ia tidak ingin kehilangan malaikat kecilnya.
"Zaza, maafkan papah. Papah belum bisa menjadi ayah yang baik buat kamu. Papah gabisa memberikan segala kasih sayang papah. Papah gabisa menjaga kamu dan bahkan papah hanya bisa memberikanmu pengawal. Percayalah,Za, papah ga pengin kamu terluka. Maafkan papah yang over sama kamu. Tapi, papah mohon, bangunlah, sayang. Kakak kamu, om Gerald, Lia, semuanya nunggu kamu. Berjuanglah demi kami semua dan diri kamu."
Yanuar dapat melihat air mata di pelupuk mata Zaza. Yanuar tersenyum bahagia karna permintaan maafnya didengar Zaza. Ia tak peduli apalah Zaza tidak memaafkannya. Yang terpenting Zaza merespon apa yang ia katakan.
Di luar ruangan, Varo menatap sedih kearah Zaza yang masih menutup matanya. Bahkan, Varo tak sanggup melihat kearah Yanuar yang menangis dan Varo mendengar segala ucapan Yanuar kepada Zaza. Sungguh, hatinya terluka.
Dan pertanyaannya, apa yang akan ia lakukan sekarang? Jujur kepada semua orang atau menghilang. Diantara 2 opsi, Varo lebih memilih opsi pertama. Dia bukanlah pengecut yang tidak mau mengakui kesalahannya.
Ya, Varo sudah memantapkan pilihannya.
"Pak Yanuar." Panggil Varo dari luar. Yanuar langsung memicingkan matanya dan berjalan kearah pintu.
"Ya.. Alvaro?" Varo mengangkat kepalanya dan menatap wajah Yanuar sedikit takut.
"Ada yang ingin saya bicarakan, Pak. Bisa kita ke taman saja?" Yanuar mengangguk lalu mengikuti Varo ke taman di rumah sakit.
Varo duduk 2 jengkal dari Yanuar. Dalam hati, Varo sudah sangat ketakutan. Ia kalut. Perasannya bimbang.
"Saya ingin menceritakan kejadian bagaimana Zaza bisa sampai koma." Perkaaan Varo membuat Yanuar menatap tajam Varo. Membuat Varo takut setengah mati. Sungguh, tatapan Yanuar lebih menakutkan daripada apapun.
Pelan pelan Varo menceritakan awal mula kejadian. Dapat Varo rasakan tangan Yanuar yang mengepal, tapi Varo menyembunyikan perihal cinta segitiga. Bisa menjadi masalah besar jika Yanuar mengetahuinya.
"Silahkan, Bapak, bisa bunuh saya atau pukul saja. Saya pantas menerima itu karna tidak menjaga Zaza dengan baik." Ujar Varo mantap.
Yanuar menatap Varo. "Bukan, saya hanya bingung, kenapa Zaza turun dari mobil? Di jalan raya? Itu tidak masuk akal, tolong jangan sembunyikan apapun."
Varo menatap Yanuar tidak percaya. Otak Yanuar benar benar berjalan. Ia bahkan paham kata kata Varo yang membingungkan. Bahkan, Varo sudah menggunakan ilmu sastranya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bullet Army (END)
Teen FictionGadis bernama Melody Azzahra Prappa diharuskan memiliki seorang bodyguard dikarenakan penyakitnya yang sangat berbahaya. Walaupun dia menyandang gelar olahraga fisik seperti karate tetapi itu semua tidak ada apa apanya jika penyakitnya kambuh. Lela...