04 - Zadam

393 29 2
                                    

Melody Azahra Prappa

Pecahan kaca berserakkan serta darah yang mengalir deras dari kepalan tangannya. Sepotong kaca digenggam erat oleh seorang gadis yang akal sehatnya sudah hilang berganti dengan iblis.

Rentetan memori yang membuat dirinya sakit terulang kembali bagaikan layar tancap di kepalanya.

Zaza ingin menangis, tapi tangisan saja sudah tidak bisa menetes lagi. Hatinya sudah terlampau sakit menerima segala perkataan pria bernama Alvaro.

Kakinya melangkah menuju kamar mandi, menatap pantulan wajahnya yang begitu tidak layak. Matanya bengkak, rambutnya berantakan, dan tentu saja beberapa sayatan di tangannya serta telapak tangan yang terasa perih.

"You're so stupid." gumam Zaza pada dirinya sendiri.

Tokk tokk tokk

"Jangan masuk." cegah Zaza, ia tidak ingin keluarganya melihat dirinya sehancur ini.

"Ini papa, Za." celetuk orang dari luar kamar, Zaza menggeleng keras, ayahnya tidak boleh mengetahui kejadian ini.

"ENGGA ENGGA PAPA GABOLEH MASUK." Teriak Zaza dengan tajam membuat Yanuar memincingkan matanya heran.

"Kalo kamu gamau buka, papa akan dobrak."

Ucapan Yanuar seakan bumerang untuk Zaza, segera Zaza menuju ruang rahasianya dan mengganti passwordnya. Ia tidak peduli dengan darah yang bercucuran di lantai. Yang penting Zaza tidak ingin bertatapan muka dengan Yanuar.

BRAKK...

"ZA-"

Yanuar terdiam melihat kamar putri semata wayangnya yang tidak jelas, berantakan, dan tentu saja bau anyir menyerbak. Biasanya kamar Zaza adalah kamar yang selalu digunakan mereka sekeluarga, sekarang tidak mungkin.

"Za, kamu kenapa? Ada apa?" 

Suara teriakan ayahnya yang terdengar sangat khawatir menggema di gendang telinganya, Ia terlalu malu untuk menghadapi papahnya.

"Jangan berani papa masuk ke kamarku,  Zaza udah ganti password." ujar Zaza mencoba terlihat tegar.

Yanuar termenung, membereskan kekacauan dengan menggunakan kaosnya, dengan perlahan Yanuar mengelap cipratan darah anaknya. Mencoba sekuat mungkin, anak perempuan semata wayangnya menjadi sehancur ini.

"Za, papa gagal jadi ayah yang baik buat kamu." Yanuar terduduk di atas sofa, merenungi kesialan yang menimpa keluarganya, "Papa juga udah ngecewaiin mama diatas sana, Papa bahkan ga sempet buat merhatiin kamu, Za."

Di balik pintu, Zaza menangis terisak, ucapan ayahnya bagaikan pisau yang menusuk jiwanya. Penyesalan, kecewa, hancur, Zaza tidak pernah merasakan hal yang sangat perih seperti ini.

Semua ini karna dewi fortuna tidak berpihak pada keluarga Prappa. Iya mereka keluarga yang teramat kaya raya, tapi nampaknya jiwa pemilik Prappa sudah rusak.

"Pas mama ngelahirin kamu, Papa awalnya sedih mama harus pergi ninggalin papa sama kakak-kakakmu. Papa seorang lelaki, mengurus 4 orang anak itu gak mudah, apalagi kamu tumbuh tanpa sedikitpun didikan seorang Ibu. Sebelum pergi, mama berpesan sama papa untuk gaboleh benci sama kamu, untuk selalu ngejaga kamu. Tapi, sekarang papa gagal, Za." Yanuar menarik nafas berat, membiarkan air mata menetes sedikit demi sedikit.

Jika istrinya itu masih hidup sampai sekarang, mungkin istrinya dan Zaza bagai pinang dibelah dua. Pasalnya muka mereka sangatlah mirip, tidak ada yang dibuang.

Namun, perkataan Yanuar membuat Zaza terdiam mematung,

"Za, kamu mau pindah ke Amerika?"

➖➖➖

Naufal Afi Prappa

Dihadapannya kini sosok perempuan yang menjabat menjadi istrinya, berlutut di hadapannya dengan air mata yang terus mengalir dari kedua kelopak matanya. Berulang kali Rani mengelus perutnya, mencoba mencari kekuatan dari sosok buah hatinya.

"Berdiri." ucap Naufal tegas.

Rani masih kekeh pada posisinya, tak berniat sedikitpun untuk bergerak.

"Saya bilang berdiri, Rani." ulang Naufal membuat badan Rani bergetar dengan bentakan suaminya itu.

Naufal tidak bisa menahan kesabarannya, dengan kasar ia meraih bahu Rani lalu mendorongnya untuk duduk di atas kasur. Rani yang sedikit tersentak hanya bisa menahan isak tangisnya dengan menggigit bibirnya.

Melihat hal itu Naufal menghela nafasnya kasar, ia mengambil kotak P3K. Naufal berlutut di hadapan Rani, dengan perlahan Naufal menyingkirkan rambut-rambut yang ada di wajah Rani. Hati Rani berdesir melihat wajah Naufal dari dekat.

"Jangan suka menggigit bibir seperti ini, akan terluka." ujar Naufal sambil menempelkan kapas dengam pelan ke bibir Rani.

"Argh..." desah Rani perih karna obat merah itu.

Dengan telaten Naufal meniup luka Rani dengan pelan dan jujur jantungnya kini sedang berpesta ria. Kemana saja dirinya selama ini?

Seselesainya, Naufal langsung bangkit namun tangan Rani segera menahannya. Badan Naufal menegang, untuk pertama kalinya Rani memegang tangannya. Bolehkan dirinya merasa senang?

"Ada apa?" tanya Naufal mencoba sebisa mungkin bersikap datar.

Rani menggeleng, "Hanya terimakasih,"

"Aku ingin minta maaf atas segala perlakuanku selama ini, aku minta maaf belum bisa menjadi istri yang sempurna untukmu, belum bisa menjadi calon ibu untuk kamu dan bayi kita. Dan aku meminta maaf untuk bersikap semena-mena terhadap kamu selama ini."

Naufal terdiam mendengar penjelasan Rani, ini perkataan yang selalu ia dambakan.

"Aku juga ingin menjelaskan, antara aku dan Varo tadi, aku tidak berbuat zina sama sekali. Aku mengubah cara pandangnya dia dengan Zaza, Varo menyadarinya dan menangis karna kesalahannya. Aku tidak berniat untuk menciumnya sama sekali."

Dalam hati Naufal ada sedikit kelegaan. Tapi tetap saja Rani membawa sosok pria lain ke kamar mereka.

"Dan, mulai saat ini, aku akan berusaha menjadi sosok istri yang baik,"

Rani menatap Naufal dengan senyuman, "Untuk kamu, untuk bayi ini, dan untuk kita."

➖➖➖➖➖➖➖➖


Bullet Army (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang