03 - Zadam

377 31 3
                                    

Alvaro Arjuna Dewangga

Dihadapannya ini, seorang perempuan yang sempat Ia perjuangkan, seorang yang ia cintai, seorang yang ia rindu, dan seorang yang sudah berjanji akan sehidup semati kini sedang terdiam di atas kasur dengan mengelus perutnya yang sudah terlihat membesar.

Varo hanya, Varo tidak dapat berkata apa-apa, seharusnya itu anaknya, seharusnya mereka menikah, dan seharusnya ia memeluk perempuan dihadapannya dengan hangat.

Takdir berkata lain.

Dan demi Tuhan Varo menyalahkan seluruh rencana iblis yang tidak ada habisnya untuk dirinya. Dan untuk kesekian kalinya kenapa ia harus bertemu gadis bernama Zaza? Kenapa nasibnya sangat buruk jika dengan Zaza?

"Var, kamu harus temuiin Zaza." celetuk Rani yang membuat Varo bersitegang. Melawan ego yang sedang menguasai dirinya.

"Kenapa? Buat apa aku temuiin dia? Dia pantes, Ran. She almost hit you." ujar Varo dengan emosi yang meletup-letup.

Rani mendekat kearah Varo, ia meraih tangan lelaki pujaan hatinya itu, "Hey... Zaza itu perempuan sama sepertiku, Var. Dia masih belia, masih gadis kecil namun dengan otaknya yang jenius itu dia bisa lulus secepat ini."

Kilasan memori tentang Zaza berputar di bayangannya, Ia mengingat seluruh canda tawa gadis itu, bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama, dan bagaimana juga ia melewati penyakitnya itu.

"Zaza itu dia kaya kaca, strong yet fragile enough. Kamu bisa gak, Var? Gimana dia menjalani hidup tanpa sosok ibunya, tanpa asi, tanpa belaian seorang ibu? Dan sampai sekarang pula Zaza masih mengira kematian ibunya itu penyebabnya karna mengandung dia." Rani menjelaskan sembari menggenggam tangan Varo, mencoba memberi kekuatan.

Rani tersenyum, "Iya bener, dia punya seorang ayah dan 3 kakak, tapi sentuhan seorang ibu, Var. Gaada yang bisa menandingi apapun di dunia ini selain ibu. But, she didnt get any those things in her entire life. Dia harus struggle dengan semua jalan hidupnya."

Seketika Varo menyesali segala perbuatannya, gadis itu tidak ada salah apapun terhadap dirinya namun ia masih berlaku jahat pada Zaza.

Setetes air mati lolos dari pelupuk mata Varo dan seketika Varo langsung mengelapnya dengan kasar. Rani mengerti posisi Varo dan langsung menarik Varo dalam pelukannya. Mencoba memberikan kehangatan pada Varo.

Didalam benaknya, kini ia hanya merutuki segala perlakuan setannya dengan Zaza. Gadis itu terlalu mulia, terlalu polos, dan terlalu suci untuk diperlakukan keji. Varo tidak sanggup bergerak, egonya sudah menguasai seluruh hatinya hingga Zaza pun terkena imbas.

"Gimana ini, Ran? Aku harus gimana? Aku nyium dia, aku buat dia koma." rengek Varo seperti anak kecil.

Rani mengelus pundak Varo pelan, "Ssstt..... Kamu bisa jelasin semuanya ke Zaza okey? Beri dia kejelasan dan kamu harus minta maaf dengan sungguh-sungguh."

Varo menggeleng, "Zaza gak akan bisa maafin aku, aku udah jahat banget sama dia, Ran."

Rani melepaskan pelukannya lalu menangkup wajah Varo, "Percaya aku, Zaza gak akan ka-"

Ceklek...

Pintu terbuka dan menampilkan sosok lelaki dengan jas yang disampirkan ke bahunya, membaca dokumen dengan frustasi. Namun, tatapannya kini berubah menjadi tajam saat melihat perempuan yang kini berstatus istrinya berduaan dengan sosok pria lain di kamar mereka.

Naufal membanting dokumennya dengan kasar lalu menghampiri Varo dengan emosi yang menggebu-gebu, segera Naufal meraih baju Varo dan melayangkan tinju ke wajahnya.

"Gue dah muak liat kalian berdua ya, gue udah berusaha menerima lo masih berhubungan sama istri gue, tapi ini kamar gue, jangan berbuat zina di kamar gue." kepalan tangan Naufal menghampiri wajah Varo lagi.

Rani hanya bisa terdiam, tidak bisa berbuat apa-apa. Omongan Zaza terngiang-ngiang di kepalanya. Hatinya sakit, tapi ucapan Zaza adalah fakta yang tidak bisa ia elak.

"Dan buat kamu, Ran. Saya selama ini udah mencoba sabar ngadepin segala sikapmu, perlakuanmu. Saya tau kalian sering bertemu, menghabiskan malam bersama, disaat saya sedang mencari jerih payah karna ayah saya mencabut semua fasilitas yang saya punya. Tapi, ini kamar kita Rani. Saya ngerti sedikitpun kamu gapernah mau tidur dengan saya, tapi apa kamu tidak bisa menghargai saya?" ucap Naufal membuat Rani meloloskan air matanya.

Dia begitu bodoh, sangat bodoh menyia-nyiakan pria bernama Naufal.

'Maafkan Ibu, anakku.'

➖➖➖➖➖➖

Bullet Army (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang