(#14) Phoenix

1.7K 108 5
                                    

"Em, Tan. Apa kamu yakin ini tempatnya?" tanya Arin setelah melihat tempat di mana sekarang dia berpijak.

"Yap."

"Tapi ini tempat yang-,"

"Yang angker? Justru yang angker itu biasanya yang menyimpan banyak misteri. Jadi, ada kemungkinan diamond ada di tempat ini kan?"

"Ya sih, bisa jadi."

"Lalu, di mana letak diamondnya?"

"Ya kita carilah, Win. Kita kan gak tau letak pastinya di mana."

"Ya, ya, itupun kalo diamond itu memang benar-benar ada di tempat ini."

"Ya, semoga aja sih," ucap Natan sembari menggaruk tengkuknya, lalu melanjutkan, "Tapi ini menarik bukan? Di sini, kita bisa mendapat pengalaman baru yang mungkin akan menyenangkan, dengan suasana yang.......... gitulah."

"Lalu, kita ke mana dulu ini? Apa kita juga harus melewati kubangan lumpur ini? Dan, kubangan lumpur ini selebar danau?"

"Tentu saja. Kalau Princess Ara tidak mau melewatinya, mungkin kita bisa memutarinya. Tapi, aku pun tidak tau di mana ujungnya."

"Cih, aku tidak suka membuang-buang waktu. Aku sudah lelah. Cepatlah cari cara agar kita bisa melewati lumpur-lumpur ini dengan cepat," ucap Qeyla yang berlalu dan duduk di dekat pohon dengan ekspresi yang tidak menunjukkan semangat sedikit pun.

"Ada apa dengan dia? Tiba-tiba seperti itu."

"Itu pasti karena dia sudah sangat lelah, dan kita belum kunjung beristirahat."

"Aaarrrgggghhhhhhhh"

Seketika, semuanya langsung melihat Qeyla. Nampak di sana Qeyla yang sedang kesal, dengan seekor burung yang tidak jauh darinya. Dan, Qeyla pun menjauh dari tempatnya semula.

"Hey, dia kenapa lagi?"

"Entahlah. Sepertinya itu semua karena burung itu."

"Hey, bukankah ini phoenix?"

"Memang bentuk phoenix seperti ini ya?"

"Kau gak tau bentuk phoenix? Bukankah di pelajaran sekolah pun diajarkan tentang makhluk ini? Makhluk yang melambangkan keabadian."

"Aku bukannya gak tau, tapi aku hanya lupa."

"Dan sepertinya, hewan ini bisa cocok denganku."

"Ya, mungkin kalian akan cocok, Ra. Kau kan penyihir pengendali api."

"Tentu saja. Kalau begitu, biar dia jadi peliharaanku saja."

"Idemu tidak buruk. Dan sepertinya, kau juga harus memberinya nama. Supaya lebih enak manggilnya."

"Emm, baiklah. Aku pikirkan dulu nama yang bagus."

"Eh, Alvin mana?"

"Taulah. Tapi dia gak bakalan hilang, kok."

"Oh iya, sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu pada kalian."

"Ada apa?"

"Bukan kau, Rin. Tapi Natan dan Alvin."

"Aku? Mau tanya apa princess?"

"Aku hanya bingung, kenapa kalian bersikeras ingin masuk kelompok kami?"

"Emm, gimana, ya?"

"Ada apa? Kenapa kau garuk-garuk kepala? Kepalamu gatal? Ada kutunya?"

"Tidak. Emm, aku gak tau mau jawab apa. Karena aku hanya mengikuti Alvin saja."

"Jadi, dia ya? Untuk apa orang seperti Alvin sampai memohon hanya untuk mendapatkan kelompok? Dan kelompok kita? Padahal sebelumnya aku melihat banyak kelompok lain yang mengajaknya untuk bergabung dengan kelompok mereka. Terutama, untuk kelompok yang isinya perempuan."

"Huh, mengingat itu aku menjadi iri dengannya."

"Makanya, punya tampang jangan kayak gini, hahaha," ucap Arin sembari meraup wajah Natan, yang membuat Natan menjadi membalas dengan melakukan hal yang sama pada Arin.

Dan di saat yang sama, tidak jauh dari sana, Alvin menghampiri Qeyla yang sedang berdiri di samping pohon besar.

"Ekhem, kau kenapa? Ada yang membuatmu kesal?"

"Em, bukan urusanmu."

"Dengar, kau harus bisa menahan amarahmu, kau harus bisa menenangkan dirimu," ucap Alvin sembari meletakkan kedua tangannya di kedua pundak Qeyla.

"Lepaskan tanganmu dari kedua pundakku. Kau tau? Tanganmu sangatlah dingin."

"Ya, aku tau. Dan aku tidak akan melepaskannya sebelum kau berjanji akan menahan amarahmu."

"Lepaskan."

"Berjanji dulu."

"Lepaskan."

"Tidak akan."

"Kenapa kau begitu repot-repot seperti ini untukku? Orang marah itu wajar kan? Semua orang bebas berekspresi. Memangnya kau yang hanya punya satu ekspresi wajah? Aaaa, lepaskan tanganmu. Tanganmu kenapa semakin dingin sih?"

"Berjanji dulu."

"Ya, ya. Baiklah. Akan kucoba."

"Oke. Ayo kita bergabung ke yang lainnya."

                             💎

"Kak El, aku sudah buatkan teh kesukaanmu. Minum, ya."

"Makasih, Lin."

"Sama-sama. Oh iya Kak El, itu kalung siapa?"

"Oh, ini Kakak membelinya tadi."

"Tadi Kak El ke pasar?"

"Ya, dengan memakai cadar dan penutup kepala."

"Untuk apa Kak El membeli kalung itu?"

"...."

"Em, A? Dan yang satunya E?"

"I-iya. Aku membelinya untukku dan Azura. Jika Azura kembali nanti, aku akan memberikan kalung ini padanya."

"O, aku mengerti A untuk Azura, dan E untuk Elyani. Iya kan?"

"Ya."

"Lalu, apa yang Kak El pegang di tangan satunya?"

"Ah, bukan apa-apa. Lin, boleh aku minta sesuatu?"

"Apa?"

"Em, boleh kau ambilkan aku kue yang ada di dapur? Pasti akan lebih enak jika minum teh dengan kue."

"Ya, tentu saja. Tunggu ya, Kak."

"Ya, baiklah."

                             💎

"Hey, Qey. Kau kenapa tadi?"

"Tidak kenapa-napa. Aku hanya sedang lelah tadi. Sehingga bawaannya kesal terus. Maaf, ya."

"O, gitu."

"Iya, dan ditambah juga aku takut dengan burung, jadi saat burung tadi ada di dekatku, aku menjadi takut dan menjadi makin kesal."

"Kau takut burung?"

"Ya. Semua jenis burung."

"Tapi kau tau, Qey. Ini bukan sembarang burung. Ini burung phoenix."

"Oh ya? Burung itu benar-benar ada?"

"Di dunia manusia phoenix hanya makhluk mitologi ya?"

"Iya."

"Kalau begitu kau harus tau, Qey. Di dunia sihir ini, makhluk yang mungkin mustahil ada di dunia manusia, tidak mustahil di sini. Jadi, mungkin kau akan menemukan makhluk-makhluk lainnya nantinya."

                            💎

I hope you like it.
Don't forget to vote and comment. 😊

Between Light and Darkness [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang