(#18) Auraku, apa?

1.5K 81 1
                                    

"Hey, Ra. Di mana Nix?"

"Eh, kenapa kau menanyakan Nix, Win?"

"Bukannya di asrama kita tidak ada tempat untuk Nix? Ya, jadinya aku penasaran aja sih Nix di mana."

"Nix ada kok di kamarku. Sampai saat ini masih aman. Jangan kasih tau siapa-siapa, ya."

"Oh, gitu. Tapi kan, kamu sekamar dengan Qeyla. Apa dia tidak apa-apa?"

"Sebenarnya sih dia keberatan. Tapi walaupun dia takut, dia juga gak tega kalau aku harus ninggalin Nix. Jadi ya, Nix aku kandangin dan aku tutup pakai kain."

"Lagi pula, kasurnya Qeyla dan Ara juga di pisah oleh kasurku, kok. Jadi, masih ada jarak antara Qeyla dan Nix."

"Boleh kami gabung di sini? Di tempat lain sudah penuh."

"Boleh. Silahkan."

"Eh, kok kalian di sini sih?"

"Emangnya kenapa? Di tempat lain sudah penuh. Jadi, kami ke sini."

"Ya, tidak apa-apa sih. Cuma kaget aja. Abis dari toilet, tiba-tiba udah ada kalian di sini."

"Eh, aku beli minuman dulu, ya."

"Eh, Win. Aku aja yang beli. Aku mau beli juga. Biar sekalian."

"Oh, ya udah. Makasih, ya."

"Iya. Kamu mau beli apa?"

"Jus alpukat. Ini uangnya."

"Tunggu, ya."

                              💎

"Maaf. Lama ya Win? Ini minumannya."

"Tidak apa-apa kok, Qey."

"Oh, iya teman-teman. Perkenalkan, ini Tino. Tino, perkenalkan, ini teman-temanku. Ini Wina, Ara, Arin, Natan, dan Alvin."

"Salam kenal."

"Tino boleh gabung bareng kita kan?"

"Boleh kok. Gabung aja. Lagi pula masih ada satu kursi tuh di sampingmu."

"Nah, Tin. Kamu boleh gabung. Sini, duduk di sampingku."

"Makasih."

                             💎

"Hey, Qey. Halooooo. Woy, kamu ngelamun, ya?"

"Ah, enggak."

"Enggak apanya? Dari tadi kamu diam terus dengan tatapan kosong ke depan."

"Beneran, kok. Aku gak ngelamun. Walaupun aku seperti tadi, tapi itu aku otakku masih bekerja untuk berpikir. Aku tadi lagi mikir. Kalo ngelamun sih setau aku, diam dengan tatapan kosong dan lagi gak mikir apa-apa."

"Emang kamu lagi mikir apa?"

"Rahasia" ucap Qeyla dengan cengirannya, "Udah, ah. Aku mau tidur. Selamat tidur."

Cklek.

"Ada apa, Ra?"

"Ah, enggak, gak papa."

"Mau liat bintang di luar gak?"

"Mauuuu, ayo," ucap Ara sembari beranjak dari kasurnya dan menarik tangan Arin yang sedang memegang gagang pintu kamar.

"Ra, kau tau berita terbaru salah satu murid akademi sini gak?"

"Em, emang ada yang menarik, ya?"

"Sangat. Ini berhubungan dengan diamond yang sedang kita cari."

"Oh ya? Emang diamondnya di mana?"

"Di Lala dan Lili. Penyihir air."

"Kamu jangan asal, Rin. Emang kamu tau dari mana? Apa buktinya?"

"Udah banyak yang tau, kok. Ada beberapa anak yang pernah melihat mereka membawa banyak diamond. Dan diamond itu pasti semuanya kalau dihitung akan berjumlah tujuh. Aku yakin, pasti memang diamond yang ada di Lala dan Lili itu yang merupakan seven diamond yang asli. Buktinya, mereka makin hari semakin kuat sihirnya," jelas Arin sembari merebahkan dirinya di atas rerumputan dan menghadap terangnya bulan.

"Kalau memang benar, ya sudah. Itu berarti memang ditakdirkan untuk mereka. Kita tidak perlu mengharapkannya lagi."

"...."

"Rin? Kok diam saja?"

"...."

"Kau tidur, ya?"

"...."

Ara menghela nafasnya, setelah beberapa kali menanyakannya, dia akhirnya memutuskan untuk melihat sendiri. Dan yang didapatkannya hanyalah Arin yang sedang memejamkan matanya dengan sangat rapat dan mulut yang sedikit terbuka.

"Oke, Rin. Kau telah meninggalkan aku ke alam mimpi," ucap Ara sembari ikut tiduran di samping Arin, menghadap langit, memperhatikan bintang-bintang yang terlihat sangat kecil dari matanya.

(Uh, aku sebenarnya belum pernah tidur di tanah seperti ini. Tapi, enak juga sih. Aroma rerumputan segar memang sangat mendamaikan hati. Ditambah lagi, melihat indahnya bintang di malam hari.)

Ara memfokuskan matanya pada satu titik yang bergerak yang tadi dia lihat dari ekor matanya. Di sana, dia melihat ada dua orang yang sedang mengobrol. Tapi, sepertinya mereka sedang tidak akur. Meskipun Ara hanya melihat siluetnya, tapi dia bisa menerkanya. Tapi, apa pedulinya? Hal itu tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Sembari menatap bintang lagi, Ara mulai memejamkan matanya.

(Sesekali tidur di tanah tak apa kan?)

                             💎

Hari ini mungkin menjadi hari tersial dalam hidup Qeyla. Bagaimana tidak? Tadi pagi dia telat ke sekolah karena terlambat bangun, dan sialnya jam pelajaran pertama adalah jam pelajaran matematika dengan guru yang killer. Dia dimarahi dan setelah itu disuruh ke luar kelas, tidak mengikuti pelajaran matematika tersebut sampai bel pergantian pelajaran berbunyi. Dan sialnya tidak sampai situ, ternyata hasil ulangan matematika dibagikan pada hari ini dan hasilnya sangat mengecewakan, dia harus mengikuti remedial, serta saat pelajaran lainnya berlangsung, dia juga tidak bisa konsentrasi dan terus-terusan ditegur oleh guru mata pelajaran yang sedang mengajar. Untungnya dia tidak disuruh ke luar kelas lagi.

Saat bel pulang sekolah berbunyi, Qeyla bergegas ke kantin. Kejadian-kejadian pada hari ini sangat membuatnya lapar. Dia memilih meja yang paling pojok setelah sebelumnya dia sudah memesan makanan terlebih dahulu.

"Hai, Qey. Kita ketemu lagi. Kok sendirian aja? Gak bareng teman-teman lainnya?"

"Enggak."

Setelah makanan yang Qeyla pesan datang, Qeyla mulai memakannya.

"Kamu gak makan?"

"Makan kok entar. Lagi dibuat, tadi udah mesen."

"Oh" kata Qeyla mengerti kemudian menghentikan kegiatan makannya. Menatap makanannya, dan kemudian menatap Tino seraya berkata, "Menurutmu, auraku apa?"

"Aura? Kalau menurutku kamu memancarkan aura kebaikan, karena sikapmu menurutku selalu baik. Kamu gadis yang baik. Memangnya kenapa?"

"Syukurlah. Aku kira, semua orang akan mengatakan kalau aku memiliki aura keburukan, kegelapan. Ternyata, hanya dia yang berpikiran seperti itu. Mungkin dia benci padaku. Sehingga dia mengatakan seolah-olah aku adalah orang yang sangat jahat."

"Dia, siapa?"

"Alvin."

                             💎

I hope you like it.

Don't forget to vote and comment. 😊😘😚

Between Light and Darkness [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang