"Dark King? Nama itu kedengaran asing bagiku. Sampai saat ini, semua yang kudengar dan yang kulihat gak ada yang terasa familiar. Emangnya aku ada hubungan dengannya, ya?"
"Eh, gak usah dipikirin. Aku tadi cuma iseng nanya."
(Aduh. Salah nanya, deh. Sudah jelas-jelas dia lupa ingatan. Kenapa aku menanyakannya sih?)
"Tapi, cara bicaramu seperti orang yang penasaran. Memangnya siapa Dark King?"
"Dark King itu raja dari Black Empire. Sudah, ah. Jangan bahas itu. Lebih baik aku melanjutkan bacaanku."
"Black Empire? Nama itu terdengar familiar di telingaku."
"Hai, Qey. Aku di sini, ya" ucap seorang lelaki sembari menepuk tempat duduk di sebelah Qeyla. Setelah duduk, lelaki itu melanjutkan, "Aku tau kau pasti tidak ingat denganku. Namaku Tino. Bagaimana kabarmu? Apa sudah ada yang kau ingat?"
"Belum. Semuanya terasa sangat asing bagiku. Bahkan tidak ada rasa familiar sedikit pun."
"Kalau seperti itu, bagaimana kamu bisa kembali ingat semuanya?"
"Pasti ada saatnya, kok."
💎
"Hey, apa kalian tau? Seminggu lagi kita akan mengadakan acara kemah."
"Serius? Wah, ini kayaknya bakalan seru, nih."
"Tapi, acaranya di hutan perbatasan antara Rainbow Country dan Black Country."
"Ih, kok acara kemahnya malah di tempat yang rawan bahaya, sih. Kalau begitu, aku gak usah ikut, ah."
"Semua siswa wajib ikut."
"Iya, semua siswa. Berarti siswi enggak, dong."
"Maksudku semua murid."
"Tapi, kalau tiba-tiba kita bertemu pasukannya Dark King bagaimana?"
"Gak apa-apa. Sekali-kali kita mencoba sihir kita di medan pertarungan sungguhan. Terjun langsung, malah bisa membuat kekuatan sihir kita menjadi semakin berkembang dibandingkan hanya melatih sendiri tanpa adanya lawan yang sungguh-sungguh menyerang. Terutama untuk Qeyla, sih. Selama ini kan dia hanya belajar dari buku tanpa ada gurunya. Tentu pengalaman seperti bertarung langsung dengan lawan akan meningkatkan kekuatannya."
"Iya kalau selamat. Kalau tewas bagaimana? Malah tidak ada kesempatan untuk mengembangkan kekuatan, melanjutkan hembusan nafas saja sudah tidak bisa."
"Itu mah sesuai takdir masing-masing. Kalau sudah takdirnya mati, ya bakalan mati meskipun hanya berdiam diri tanpa melakuan apapun."
"Baiklah. Ada pembagian kelompok gak?"
"Tentu. Tadi aku dan Ara sudah memfoto pengumumannya."
"Kenapa pengumuman seperti itu tidak ada di handphone saja, sih? Kan lebih praktis. Semuanya dapat langsung melihatnya tanpa ada rebutan."
"Mungkin karena kalau semuanya ada di handphone, mading jadi gak ada isinya. Selain itu, melihat barengan dan desakan dengan murid lainnya malah bisa menambah keakraban kita dengan murid lainnya."
"Nih. Semuanya ada 20 kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan 7 orang. Ara, Natan, dan Wina ada di kelompok 1 dengan anggota lainnya yaitu Reza, Tino, Freda, dan Katrin. Sedangkan aku ada di kelompok 4 dengan anggota lainnya yaitu Selin, Grace, Dino, Kevin, Leo, dan Kendo. Sedangkan Qeyla dan Alvin berada di kelompok 7 dengan anggota lainnya yaitu Evan, Nico, Lala, Lili, dan Lezy."
Selesai membacakan pembagian kelompok, Arin menghela nafasnya. Sebenarnya saat ini hatinya sedang sangat gelisah. Pasalnya, di kelompoknya tidak ada satupun yang ia kenal. Tapi, semua kegelisahannya sebisa mungkin ia tepiskan. Bukannya ia harus bisa menyampur dengan teman lainnya? Dia juga akan bisa mendapat banyak teman jika seperti itu. Tapi, tetap saja untuk memulainya sangatlah sulit.
"Qey, kau kenapa? Qey?" perkataan Wina segera menyadarkan Arin dari lamunannya. Dilihatnya Qeyla yang hanya diam sedari tadi sembari kepalanya bertumpu pada kedua tangannya di atas meja.
"Dia tidur?"
"Tidak. Sepertinya dia pingsan. Ayo kita bawa dia ke kamar" ucap Ara sembari bersiap membopong Qeyla, "Arin, tolong bantu aku."
"Oke."
"Tunggu. Biar aku saja yang membawanya."
"Kau sendiri? Apa kau kuat, Vin?"
"Tentu saja."
Melihat Alvin yang sudah menggendong Qeyla untuk membawanya ke kamar mereka, Ara dan Arin mengikutinya. Begitu juga Wina dan Natan yang mengekor dari belakang.
Bruk
"Qeyla!'
"Ah, dadaku sakit."
"Vin, ada apa denganmu?"
"Dadaku sakit. Perasaanku tiba-tiba tidak enak," ucap Alvin. Dilihatnya Qeyla, kemudian ia berkata, "Tan, tolong kamu bawa Qeyla ke kamarnya. Aku harus segera pergi."
Tanpa berkata apapun lagi, Alvin berlari meninggalkan semua teman-temannya.
"Sepertinya dia memiliki kebiasaan pergi mendadak."
Tak berlangsung lama, akhirnya mereka membawa Qeyla kembali ke kamarnya.
"Em, semuanya. Sepertinya aku harus pergi. Aku tidak enak jika berada di sini dengan kalian semua perempuan dan aku sendirian yang laki-laki."
"Baiklah. Makasih ya, sudah mau membawa Qeyla kemari."
"Sama-sama. Dia kan juga temanku."
Sepeninggalan Natan, semuanya terdiam sambil memperhatikan Qeyla yang sedari tadi masih belum sadar.
"Oh, ya. Wina mau minum? Biar aku ambilkan."
"Makasih."
Sembari menunggu minumannya datang, Wina duduk di ranjang Arin bersama Arin yang sebelumnya sudah duduk terlebih dahulu. Beberapa menit kemudian, Ara membawakan
"Minuman datang," ucap Ara saat keluar dari dapur. Di akademi ini, setiap kamar memang disediakan dapur dan kamar mandi.
"Ini minumannya," ucap Ara sembari membagikan jus yang baru dia buat tadi untuk Arin dan Wina. Tidak lupa juga dia mengambil jus untuk dirinya sendiri.
"Kalian tau? Sebelum Qeyla pingsan tadi, aku melihat sepertinya dia sedang kesakitan. Dan menurutku, ini berhubungan dengan ingatannya."
"Kalau seperti itu, mungkin Qeyla pingsan karena tidak tahan dengan sakit kepalanya saat sedang berusaha mengingat masa lalunya."
"Ya, sepertinya begitu."
"Qey? Kau sudah sadar?" ucap Wina saat melihat Qeyla mulai membuka matanya.
Sembari memegang kepalanya dan sedikt meringis, Qeyla duduk dan melihat ke teman-temannya lalu bertanya, "Apakah aku pernah tinggal di istana?"
💎
I hope you like it. 😊😘😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Light and Darkness [END]
FantasíaQeyla mungkin tidak punya peruntungan pertemanan di dunianya. Tapi, di dunia lain, ia punya. Teman yang akan menemaninya dalam kesendirian di dunia orang. Dunia yang menyimpan rahasia yang ternyata juga menyangkut dirinya dan keluarganya. Dunia yang...