"Eh, Tino, ngapain malah di sini? Tadi di kamar, kamu bilang mau duluan ke teman-teman. Tapi kok malah di sini? Kita pasti udah ditunggu," kata seorang laki-laki yang tiba-tiba dating dan langsung menarik tangan Tino.
"Tunggu" ucap Qeyla sembari memegang tangan Tino agar tidak pergi terlebih dahulu, "Bukannya kau sudah memesan makanan?"
"Jadi, kau bohong tadi yang kau bilang mau ke teman-teman duluan?"
"...."
"Sudahlah, ayo."
Tino akhirnya mengikuti temannya itu dari belakang, meninggalkan Qeyla yang berdiam diri di pojokan kantin. Menunggu makanannya. Dia meraih handphonenya di saku bajunya. Handphone ini merupakan fasilitas yang diberikan oleh akademi ini, handphone yang digunakan untuk berkomunikasi antar sesama, dan juga merupakan alat untuk dapat mengetahui segalanya tentang akademi ini. Denah akademi ini, informasi tentang siswanya, atau kejadian ataupun berita dapat dilihat di sini. Semuanya serba mudah di sini. Bagi Qeyla, mungkin hanya hidupnyalah yang rumit.
"Jika kau bingung dengan dirimu, apalagi dengan diriku?" ucap seseorang yang tiba-tiba datang dari belakang Qeyla dan melanjutkan, "Aku hanya menyampaikan apa yang aku lihat, aku hanya tidak ingin ada yang menderita karena kesalahan seseorang yang bahkan tidak menyadari perbuatannya. Setidaknya kau dapat mengontrolnya setelah kau mengetahuinya."
Laki-laki itu berlalu dari belakang Qeyla, melintas di hadapannya menuju penjual es, lalu berlalu pergi begitu saja sembari membawa segelas es coklat di tangannya.
"Jika semua orang sangat menyukainya, maka aku akan menjadi satu-satunya orang yang berdiri di hadapannya sebagai orang yang membencinya" ucap Qeyla berbicara pada dirinya sendiri sambil mengepalkan tangannya, "Enak saja dia berkata auraku buruk. Dia tuh yang buruk."
Hening seketika saat bakso yang dipesannya sampai. Qeyla mengambil sendok untuk memotong bagian bakso itu. Dan karena licin, bakso tidak terpotong, dan kuah bakso pun terciprat ke matanya. Sungguh hari ini memang adalah hari kesialannya.
"Argh," Qeyla memegang matanya, namun seketika dia memikirkan hal-hal yang membuatnya menangis, hingga membuat tetesan air matanya jatuh pada mangkok baksonya, menjadi tambahan garam untuk baksonya itu.
Qeyla terus mengucek matanya, sambil mengusapkan air minuman ke matanya, agar setidaknya dia dapat mengurangi rasa perih pada matanya itu. Bibirnya bergetar, dia menggigit bibir bawahya. Rasa perih di matanya mungkin tidak sebanding dengan rasa perih pada perasaannya sekarang.
"Aku memang sangatlah buruk."
💎
Tikus. Jika tikus tiba-tiba datang dihadapan orang lain, mungkin orang itu akan takut dan lari terbirit-birit. Namun tidak demikian dengan seorang gadis yang saat ini sedang berputus asa di dalam sel tahanan kerajaan. Rambutnya yang indah sudah kusut, matanya yang indah pun tidak terlihat oleh besarnya kantong mata yang ia miliki. Gaun yang dikenakannya pun sudah lusuh. Namun, saat matanya terbuka sedikit melihat ke arah luar sel tahanan, ia langsung membuka matanya lebih lebar, penolongnya sudah datang.
Gadis itu langsung mendekat ke arah jeruji sel tahanan dengan sedikit tertatih, matanya menatap seekor tikus di luar jeruji dengan tajamnya. Pikirannya ia fokuskan untuk memanipulasi seekor tikus sesuai kehendaknya. Tentu saja ia melakukannya agar tikus itu dapat mengambil kunci sel tahanan yang saat ini menggantung di kaitan celana si penjaga tahanannya.
Ceklek.
Gadis itu tersenyum lega saat ia berhasil membuka sel tahanan setelah tikus itu memberikan kunci padanya. Hari yang ia nantikan akhirnya datang juga. Tak buang-buang waktu lagi, gadis itu segera menghilangkan dirinya, membuat dirinya tembus pandang selagi tidak ada yang melihatnya karena para penjaga sedang tertidur.
Gadis itu melihat ke sekeliling sel tahanan ini. Sel tahanan ini merupakan sebuah ruangan kecil yang hanya ada satu sel di dalamnya, yaitu sel yang beberapa detik yang lalu masih merupakan tempat tinggalnya beberapa hari ini.
Tap....Tap.....Tap.....
Telinga gadis itu menangkap suara derapan sepatu yang semakin mendekat ke arahnya. Mungkin sang pemilik suara derapan itu melangkah ke arahnya bertujuan untuk memasuki ruangan kecil itu, ingin melihat sel tahanan. Gadis itu pun segera melangkah menembus dinding yang ada di ruangan itu, dan membuat dirinya langsung berada di sebuah lorong kecil yang hanya ada beberapa lilin sebagai penerangnya. Tanpa ragu ia terus melangkah mencari dinding yang bisa ia tembus dan langsung bisa berada di luar kerajaan ini. Dia sangat yakin bahwa dirinya tidak akan tersesat atau lama menemukan tempat yang ia cari itu. Dia tau benar peta ruangan kerajaan ini.
Dan setelah sampai di tempat yang ia cari, gadis itu segera melangkah menembus tempat itu dan membuat kedua kakinya yang tidak beralas langsung menginjak tanah dan rumput liar yang segar. Membuat rerumputan itu menjadi rusak tanpa sebab jika ada orang lain yang melihatnya.
Setelah cukup jauh melangkah menjauhi bangunan kerajaan itu, gadis itu berhenti melangkah dan berbalik melihat bangunan itu. Bangunan yang sangat besar, bangunan yang akan dia tinggalkan.
"Selamat tinggal Ayahanda," ucap gadis itu dengan bibir bergetar dan berbalik ke arah yang ingin ditujunya, bersamaan dengan tubuhnya yang sedikit demi sedikit mulai terlihat.
💎
"Hey, matanya jangan dikucek, dong. Sini, biar aku bantu."
Dari suaranya, Qeyla tau orang yang menegurnya itu adalah seorang lelaki.
(Suara itu seperti .......)
Belum selesai Qeyla berpikir, dia sudah merasakan sebuah kain yang mengelap air matanya dan mencoba menghilangkan rasa perih di matanya itu. Tak hanya itu, lelaki tersebut juga mengusapkan jemari tangannya di sekitar mata Qeyla dan membuka kelopak mata itu dengan jari jemarinya. Merasakan kelopak matanya yang sedikit terbuka tanpa kehendak darinya, Qeyla langsung memejamkan lagi matanya karena saat kelopak matanya terbuka, dirinya masih merasakan perih pada matanya.
Jika Qeyla memejamkan matanya lagi, maka lelaki itu pun melakukan hal yang sama seperti yang sudah dia lakukan sebelumnya. Lelaki itu kembali membuka kelopak mata Qeyla, dan tanpa menunggu lama, Qeyla sudah merasakan tiupan segar yang masuk ke matanya. Tiupan ini tidak panas, melainkan dingin. Membuat sedikit demi sedikit Qeyla mulai berani membuka kelopak matanya itu.
Ketika matanya terbuka, sepasang matanya itu langsung bertemu dengan sepasang mata lain, sepasang mata milik seseorang di depannya.
"Em, Alvin, ma-"
"Kamu kenapa sih jadi orang? Ada masalah mulu."
"Bukan urusanmu."
"Memang bukan urusanku, sih. Tapi, ya sudahlah, ini sapu tangan kamu pakai saja dulu."
"Gak mau. Kamu bawa aja lagi. Aku udah gak butuh."
"Sapu tangan ini sudah kotor dengan air matamu, jadi seharusnya kau membawanya bersamamu dan kau cuci sapu tangan ini sampai bersih, baru kau kembalikan padaku. Tentu saja aku tidak ingin memakai sapu tangan yang kotor."
Qeyla menghela nafas kesal, "Baiklah."
"Kau tidak ingin mengucapkan terima kasih padaku karena sudah kutolong?"
"Gak," ucap Qeyla sembari berdiri dari duduknya dan meninggalkan kantin dengan membawa tasnya dan dengan tangan yang menggenggam sapu tangan milik Alvin.
💎
I hope you like it.
Don't forget to give your vote and comment. 😊😘😚
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Light and Darkness [END]
FantasyQeyla mungkin tidak punya peruntungan pertemanan di dunianya. Tapi, di dunia lain, ia punya. Teman yang akan menemaninya dalam kesendirian di dunia orang. Dunia yang menyimpan rahasia yang ternyata juga menyangkut dirinya dan keluarganya. Dunia yang...