"MOLO MARPOGOS HO TUBU, UNANG MA NIAN MARPOGOS SAHAT TU NA MATE"
(Kalau Kau Lahir Sebagai Orang Miskin, Janganlah Kiranya Miskin Sampai Mati )"Please wake up really soon, hasian (sayang)!"
Ruangan ini begitu dingin, sedingin hati Henokh. Bunyi mesin-mesin yang bersahutan terdengar begitu mengerikan bernuansa kelam seperti pengiring malaikat maut. Tirai-tirai yang membatasi pasien yang satu dengan lainnya sesekali meliuk-liuk ditiup udara pendingin ruangan, seolah menarikan mimpi-mimpi mereka yang sedang terbujur dalam ruangan itu, berpetualang di bawah alam sadar mereka.
Dengan tatapan sendu, Henokh menelusuri tubuh kekasihnya yang dijejali selang-selang penopang nyawa. Setiap hari ia berusaha datang tepat waktu ke tempat ini, hanya supaya bisa melihat kekasihnya dan membisikkan motivasi agar wanita itu berjuang untuk keluar dari mimpi panjangnya. Tak jarang ia harus menelan kekecewaan karena dia tiba saat jam besuk sudah habis.
Sudah sebulan, pikir Henokh. Sudah sebulan Duma terbaring koma di rumah sakit ini. Sebulan pula batin Henokh tersiksa, merutuki diri sendiri atas kejadian mengerikan itu.
Segala cerita sepanjang hidup Henokh adalah tentang kepahitan. Ia sudah kehilangan bapak bahkan sebelum ia bisa memanggil pria itu dengan mulut mungilnya. Disambar petir, begitu kata mamak setiap kali ia bertanya. Lalu bersama mamak, dia harus berjuang untuk tetap hidup dari sebidang tanah peninggalan bapak di pinggiran Danau Toba di Desa Silalahi.
Dunia memang teramat keras, terutama untuk Henokh. Setiap hari sepulang sekolah, dia harus bekerja membajak sawah milik tetangga agar bisa membantu mamak membeli beras. Dia sudah lupa sejak kapan ia mulai bekerja, yang pasti sejak ia mampu memaksa tulang-tulang ringkih dalam tubuh mungilnya.
Tapi Henokh punya mimpi. Punya cita-cita.
Ia selalu ingat kata bijak: "Jika kau terlahir sebagai orang miskin, itu kesalahan orang tuamu. Namun jika kau mati sebagai orang miskin, itu sepenuhnya kesalahanmu." Itulah yang memompa semangatnya untuk berjuang. Ia membayar sendiri biaya pendidikannya sejak SMP (terima kasih kepada bea siswa berprestasi yang selalu ia dapat), hingga kini dia melakukan segala hal untuk membiayai sendiri kuliahnya. Bekerja di rumah makan, doorsmeer, menjaga anjing peliharaan, kurir dan terakhir bekerja sebagai guru les private untuk beberapa anak Sekolah Dasar di sekitaran kost-nya. Ia melakukan segalanya. Berat - memang -, tapi faktanya ia bisa melakukannya.
Sungguh, hidup Henokh bernuansa kelam.
Satu-satunya warna dalam hidupnya adalah Duma. Entah kebaikan apa yang sudah ia lakukan hingga ia layak mendapatkan wanita periang itu sebagai kekasihnya. Duma serupa malaikat, memiliki segunung perhatian dengan senyum sederhana yang tak henti dikagumi Henokh.
Bersama Duma, Henokh seakan lupa segala kekacauan dunianya. Entah karena semangat wanita itu yang selalu bernyala, atau karena cinta mereka yang begitu manis. Bahkan sentuhan wanita itu saja terasa sangat menenangkan.
Lalu, kelamnya hidup Henokh bertamu lagi sebulan yang lalu. Demi semesta, setiap hari belakangan ini ia selalu merenung, dosa apa yang telah ia perbuat sehingga harus menanggung derita ini? Tak ada yang lebih menyedihkan daripada melihat Duma, malaikatnya, terbujur lemah di ranjang putih sialan ini.
Dan bagian terburuknya, Henokh merasa bahwa ia lah yang pantas disalahkan atas segala kekacauan yang menimpa kekasihnya. Bodoh! Ingin rasanya ia menusuk jantungnya, agar mati saja. Bagaimana mungkin ia tidak bisa memastikan keselamatan Duma?
Pikiran Henokh sudah akan membawanya kembali ke kejadian sebulan yang lalu ketika tiba-tiba lamunannya dibuyarkan oleh bunyi SMS dari ponselnya.
"Henokh, pesawat paribanmu baru saja take off. Kau jemputlah nanti dia ya. Mlt"
KAMU SEDANG MEMBACA
HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOING
Romance[[ATTENTION: Bacalah setidaknya dua bab, dijamin kamu bakal KETAGIHAN!!! And also, siapin jiwa dan raga untuk baper!!!]] Blurb: Saat pertama kali bertemu, Deborah Elena Hutagalung sama sekali tidak menyukai pariban yang sedang dijodohkan Bapak denga...