TUJUH BELAS

754 60 16
                                    

"Hei!"

Debb merasakan tepukan lembut di pipinya.

"Sunrise!"

Debb menemukan dirinya sedang meringkuk di dada Henokh dan pria itu sepertinya terlalu berhati-hati untuk membangunkan agar tidak melewatkan matahari terbit. Debb memilih untuk tidak bergerak. Rasanya lebih nyaman jika seperti ini, menikmati keindahan matahari terbit tanpa perlu melepaskan diri dari hangatnya pelukan Henokh.

Mereka memang tidak perlu berdiri untuk bisa menikmati segala kemewahan alam pagi ini. Henokh berada dalam posisi duduk--bersandar pada sebatang pohon pinus berukuran sepelukan orang dewasa--,sementara Debb bersandar di dadanya. Di sebelah kiri adalah dua tenda yang beberapa jam yang lalu didirikan, dengan api unggun yang hampir padam, dan sekeliling mereka adalah rerumputan pendek yang sama sekali tidak menghalangi pandangan. Teman-teman sudah berpencar, mungkin mencari spot terbaik untuk menikmati sunrise.

Keindahan pagi ini benar-benar membasuh segala ketakutan yang dirasakan Debb beberapa jam yang lalu, saat ia meluncur mengerikan di punggung gunung Pusuk Buhit ini. Udara pagi terasa begitu sejuk, beraroma pinus dan wangi khas tubuh Henokh. Langit menampilkan warna jingga yang dramatis, seiring dengan kemunculan matahari secara perlahan di ufuk Timur. Dari atas sini, Debb bisa melihat hamparan perbukitan di bawah sana, dibingkai oleh permukaan Danau Toba berwarna tembaga, dihiasi lampu-lampu rumah penduduk yang masih terlihat menyala karena segalanya memang belum sepenuhnya terang. Debb harus berkali kali menahan napas dan menghembuskannya setelah ia sudah merasa sesak, karena tidak pernah menyangka akan disuguhi keindahan semacam ini. Sungguh sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Ia bahkan harus meremas lengan Henokh yang kini melingkar di bawah lehernya, untuk menyalurkan kekaguman yang tidak bisa ia sembunyikan. Rasanya kelelahan yang ia rasakan sepanjang pendakian--bahkan setelah drama tergelincir yang mendebarkan itu--sungguh terbayar lunas dengan pesona alam Pusuk Buhit ini. Jika suatu saat nanti ada seseorang yang bertanya bagaimana pemandangan dari atas Pusuk Buhit, Debb akan menjabarkannya sebagai: tidak tergambarkan.

"Kamu, tidak apa-apa?" tanya Henokh. Mungkin merujuk pada kejadian beberapa jam yang lalu.

Debb merasakan sedikit pegal, tapi ia merasa seluruh anggota tubuhnya bekerja dengan baik. Malah suara Henokh sepertinya yang masih terdengar gugup dan bergetar. "Aku tidak apa-apa, Iban."

Debb merasa bahwa Henokh ingin mengatakan sesuatu, namun ia urungkan. Debb memutuskan merogoh kantong jaketnya, dan memeriksa telepon genggam. Tidak ada jaringan internet di atas sini, namun beberapa SMS terlihat berhasil masuk. Debb mengabaikan SMS-SMS itu, dan memilih untuk mengambil beberapa foto dengan kamera handphone-nya. Tanpa sedikit pun beranjak dari dada Henokh. Entah mengapa, rasanya begitu tenteram.

Setelah puas menikmati matahari terbit dan sapuan udara pagi di wajahnya (plus kehangatan dada Henokh), Debb memutuskan untuk berdiri untuk bergabung dengan yang lain menyiapkan sarapan. Tidak enak juga meringkuk di sini sementara Abi dan tiga cewek lain sudah mulai sibuk menyalakan api yang tadi sudah sempat padam, untuk memasak sesuatu.

Henokh juga beranjak, bergabung dengan para cowok yang kini sedang sibuk membicarakan entah apa.

-000-

"Iban, kamu marah? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"

Waktu bergulir cepat di atas sini. Debb berharap bisa menikmati sunset sambil berdempetan dengan Henokh seperti yang mereka lakukan saat matahari terbit pagi tadi. Namun sepertinya, Henokh lebih memilih untuk menikmatinya sendiri. Dia tidak banyak bicara. Setidaknya sejak siang tadi.

Semua orang terlihat menikmati segalanya. Bang Tumpal, Eko dan anak-anak Mapala yang lain berbincang seru hingga sesekali tertawa terbahak-bahak bersama sekelompok pendaki dari Siantar--kalau tidak salah. Mereka bahkan saling bertukar nomor telepon, agar nanti bisa dibuatkan grup WhatsApp. Bersama sahabat baru tersebut, mereka—termasuk Debb—juga akhirnya sudah mendaki hingga ke puncak dan baru turun beberapa menit yang lalu. Namun Henokh memilih menyendiri dengan alasan tidak enak badan.

Abi berpendapat bahwa diamnya Henokh ada hubungannya dengan kejadian setelah makan siang tadi.

Mereka sedang melakukan Rapat Para Cewek. Nita, Lala dan Dhea—cewek-cewek Mapala dari Jakarta itu—berencana untuk membuat kejutan untuk Eko yang akan berulang tahun besok. Debb dan Abi ikut nimbrung. Mereka berbincang di balik tenda untuk mengamankan pembicaraan dari telinga para cowok. Kejutan dimaksud juga memuat rencana Dhea untuk mengungkapkan perasaannya ke Eko. Dhea beranggapan bahwa Eko tidak terlalu peka, sehingga memutuskan untuk menjemput bola. Pembahasan sedang seru-serunya (Abi mengusulkan agar Dhea pura-pura kesurupan, namun menurut Lala ide itu terlalu beresiko mengingat tanah yang mereka injak penuh dengan nuansa mistis), ketika Debb merasa sesak dan ingin buang air kecil.

Dia akhirnya pamit sebentar untuk menyelesaikan 'urusannya'. Namun, belum beberapa langkah, ia menjerit histeris karena seekor kadal melintas dengan cepat melewati kakinya. Bukan bermaksud dramatis, dia hanya terkejut. Tubuh binatang berkulit licin itu sempat mengenai kulit terbuka di atas sepatunya. Geli yang mengerikan. Debb masih berusaha mengumpulkan nyawa sambil menekankan kedua telapak tangan di dada, ketika Henokh tiba-tiba datang entah dari mana dan memeluknya seperti kesetanan. "Kenapa, Iban? Kenapa? Kamu terluka? Kenapa?" Henokh memeriksa tubuh Debb tanpa peduli dengan napasnya yang tersengal.

Jelas saja Debb tertawa. Ia terbahak sampai mengeluarkan air mata. Cewek-cewek yang lain pun tertawa setelah mengetahui apa yang terjadi. "Tidak haha apa haha apa, Iban. Hahaha ... hanya kadal ... hahahaa" Debb masih terus tertawa tanpa menyadari bahwa Henokh sudah terdiam dibungkus oleh pikirannya sendiri.

Sungguh, Debb tidak yakin kalau Henokh akan tersinggung hanya karena itu. Tapi Abi yakin. "Coba ajak bicara, tingkahnya berubah setelah kejadian itu."

"Kalau kamu marah karena kejadian tadi siang, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud ..." Debb membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Dia bukan orang yang terbiasa hati-hati memilih kata-kata. Sudah terbiasa blak-blakan. Henokh masih mematung di tempatnya, memunggungi Debb dan memfokuskan pandangannya ke matahari yang sedang berusaha meringkuk di balik perbukitan.

"Baiklah," Debb memilih untuk menyerah karena Henokh masih bergeming. "Kalau kamu sedang pengen sendiri, aku akan pergi," katanya tak berdaya.

Didiamkan ternyata sangat menyakitkan. Apalagi untuk kesalahan yang tidak kita ketahui. 

Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya. Angin kencang membuat tubuh mengigil. Debb memeluk tubuhnya sendiri, dan bersiap untuk beranjak.

"Aku memiliki Petraphobia, Iban," kalimat itu terdengar persis saat Debb akan membalikkan badan. Henokh mengucapkannya dengan pelan--tanpa penekanan, tanpa emosi--namun terdengar sangat jelas di telinga Debb. "Takut berlebihan pada batu."

Ada sesuatu yang bergemuruh di dada Debb. Bahkan menelan ludah pun sulit untuk dilakukan. Angin kencang yang menerpa wajahnya terasa seperti tamparan-tamparan yang menghakiminya hingga ke tulang. Langit sore menjadi begitu merah, segalanya terlihat penuh tuduhan.  Tapi Debb berusaha untuk meredam segala yang bergejolak dalam dirinya. Ia mengurungkan  niat untuk berbalik, berjalan beberapa langkah ke samping Henokh dan menunggu pria itu melanjutkan kata-katanya. Sebongkah batu kecil yang tak sengaja ia injak, tiba-tiba terasa menusuk dari telapak kaki hingga ke ulu hati. Tentu saja gunung ini penuh dengan batu.

--000--
================================

Hai pembaca yang baik hati,
Setelah membaca part ini, kamu pasti sudah bisa menarik benang merah atas beberapa kejadian, bukan?

Bab berikutnya, kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Duma. :) Stay tuned. :D

Author akan berusaha update secepatnya ya.

Jangan lupa vote dan share. Komentar juga.

Love,
Fernando Simandalahi



HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang