DUA PULUH TIGA

445 38 12
                                    

MARGAIT
Bercanda


"Kau... siapa?" kata wanita itu dengan tatapan heran, setelah terlebih dahulu menjumput benda bulat itu dari bibirnya dan membiarkannya tetap berada di ujung jemari. Mulutnya sibuk mengunyah sesuatu, lalu membuang ludah--berwarna merah seperti darah.

Tak kunjung mendapat jawaban, ia kembali menyelipkan benda bulat itu di antara gusi dan bibir bawah, setelah sebelumnya menggosok-gosok dengan gerakan memutar di gigi-giginya yang kini berwarna sama dengan benda itu. Apa itu?

"Siapa kau, Nang? Nyari siapa?" katanya lagi, sambil memilih sibuk melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat terjeda.

Ada sehelai terpal berukuran kira-kira 1,5 x 2 meter terkembang di halaman rumah, digunakan sebagai alas untuk menjemur kopi. Sepertinya baru dicuci, karena biji-biji kopi itu masih terlihat basah, dengan beberapa kulit yang masih tercampur. Debb menebak bahwa kulit-kulit itu seharusnya tidak berada di sana, karena wanita itu kini sibuk menjumputnya dan mengumpulkan dalam satu kantong hitam.

Sebuah sarung tenunan digunakan sebagai tudung untuk menutupi kepala, berada persis di atas kerutan-kerutan  yang tergambar jelas di dahinya.

"Aku Deborah, Namboru!"

Sebaris kalimat dari mulut Debb membuat wanita itu terkesiap. Dia yang tadi duduk di sebuah kursi pendek, tiba-tiba berdiri dengan mata berbinar. Sepertinya ia bahagia luar biasa.

"Deborah boru-nya Ito Charles?" katanya memastikan. Benda bulat yang tadi terselip di balik bibirnya, ia ambil dan buang ke sembarang arah.

"Iya, Bou!" Mata Debb juga berbinar.

"Bah! Bah!" Segera ia memeluk Debb. "Udah besar kau anggi." Suaranya bergetar.

Ia melepaskan pelukannya, menatap mata Debb sejenak, lalu kembali memberi pelukan hangat. Debb sempat melihat mata wanita itu yang berkabut--dia menangis?

Debb membalas pelukan hangat namboru-nya. Rasanya begitu menenteramkan.

Tadi Namboru seolah tidak peduli dengan kehadirannya, tapi kini wanita itu terlihat sangat welcome. Ia tergopoh-gopoh menyuruh Debb masuk, bahkan ingin menyeret koper Debb, jika saja Debb tidak segera melarangnya. Mana mungkin Debb tega membiarkan Namboru menyeret kopernya? Ia masih cukup kuat, kok.

"Duduklah dulu ya, Nang, biar Bou ambilkan air putih," kata Namboru setelah mereka berada di dalam rumah.

Debb memindai bagian dalam rumah itu dengan kedua matanya. Sangat sederhana. Tidak ada kursi tamu, hanya ada selembar tikar yang saat ini diduduki Debb. Lantainya adalah papan yang disusun memanjang, berada kira-kira 50cm di atas tanah. Ya, rumah Namboru masih rumah panggung, dengan seng yang sudah menghitam berkarat--tidak ada plafon atau asbes sama sekali. Debb bisa melihat kayu-kayu penopang atap rumah ini. Di dekat pintu, ada sebuah mesin jahit manual yang sudah terlihat tua, lengkap dengan sebuah kursi tanpa sandaran. Di sampingnya ada potongan cermin tanpa bingkai--sepertinya dari cermin utuh, bekas pecahan--ditempelkan sembarangan di dinding papan dengan beberapa paku payung. Beberapa foto terlihat digantungkan memenuhi dinding rumah. Sebuah kain ulos dengan tulisan PERAYAAN NATAL MUDIKA SILALAHI 24-25 DES 2000 tergantung di dinding sebelah kanan pintu masuk. 

Rumah ini sangat kosong dan sangat sederhana. Tapi, entah mengapa suasana ini terasa begitu hangat.

Setelah kemarin berdebat dengan dirinya sendiri, Debb memutuskan untuk mengikuti saran Bapak, sejenak menepi ke tempat ini--Silalahi Nabolak, sambil mengunjungi Namboru yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya.

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang