DUA PULUH DUA

362 38 8
                                    

HOLONG NI NATUA-TUA
(Kasih Sayang Orang Tua)

"Tolonglah, Nantulang... aku mau lihat Duma, sebentaaar aja. Aku janji, aku gak akan bilang apa-apa. Aku gak akan sentuh dia. Aku hanya ingin lihat!" Suara Henokh hampir tidak terdengar. Akhir-akhir ini, dia merasa jadi sangat cengeng. Sebelumnya, ia hampir tidak pernah menangis. Tapi sejak dari Pusuk Buhit, air matanya tak pernah kering.

Beberapa pasang mata dari orang-orang yang duduk di koridor rumah sakit itu sudah mengawasi mereka sejak tadi. Sesekali ada yang berbisik-bisik, yang lain pura-pura sibuk namun tetap menguping pembicaraan.

Ini sudah hari kedua sejak Henokh pulang dari Pusuk Buhit. Namun hingga detik ini, dia belum sekali pun melihat wajah Duma. Kemarahan Ibu Duma padanya sama sekali belum berkurang. Ia tidak diizinkan masuk, bahkan sekadar melihat dari jauh pun tidak bisa.

Kemarin, Henokh sudah mencoba nekat menerobos masuk, tapi itu adalah keputusan yang bodoh. Ibu Duma berteriak-teriak dan membuat keributan sehingga satpam rumah sakit terpaksa meminta Henokh untuk mengalah. Henokh sama sekali tidak berdaya. Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia juga tidak mau jika keributan yang ia timbulkan malah sampai ke telinga Duma dan menghambat perkembangan kesehatan gadis itu.

Ini adalah kesekian kalinya Henokh memberanikan diri untuk memohon belas kasihan ibu Duma, sambil berdoa agar wanita itu tidak berteriak kesetanan seperti sebelumnya.

"Ngerti gak kau bahasa Batak?" suara ibu Duma tertahan, mungkin ia juga sedang berusaha agar emosinya tidak terpancing, "Sekali kubilang 'enggak boleh!' ya 'gak boleh'" katanya dalam bahasa Batak yang kental.

"Apa yang harus kulakukan supaya Nantulang memaafkan aku?"

"Tidak akan! Bahkan jika nanti Duma sudah sembuh total, aku tidak akan memaafkan kau!"

Ya, sebenci itulah ibu Duma pada Henokh. Pria itu hanya bisa mengusap wajahnya yang sudah sangat kuyu.

"Iya, Nantulang boleh membenci aku sampai kapan pun. Tapi tolonglah, Nantulang, sebentar saja kulihat Duma. Aku janji, setelah itu aku tidak akan menemuinya lagi." Henokh tidak yakin apakah ia akan bisa menepati janji itu, tapi ia harus melakukan segala cara untuk menaklukkan hati Nantulang.

Henokh tidak peduli bahwa semakin banyak pasang mata yang memandangi mereka. Ia biarkan air matanya kembali tumpah. Mau orang berkata apa pun, terserah. Ia hanya ingin melihat Duma. Bahkan jika ia harus mencium kaki Nantulang, ia akan melakukannya.

"SIP BABAMI! A--" (Diam kau! A--)

"Mak!"

Emosi Nantulang sudah kembali memuncak, untunglah ada Kak Tiur yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Mak, nggak baik teriak-teriak di rumah sakit. Gak malu Mamak dilihatin orang-orang?" Kak Tiur menjatuhkan tas yang ia bawa ke lantai dan menurunkan tangan Nantulang yang tadi sempat terangkat untuk menunjuk batang hidung Henokh. "Ayok, masuk dulu kita..."

Kak Tiur mengambil tas yang tadi ia jatuhkan dan menuntun Nantulang ke dalam ruangan. Sebelum menutup pintu, ia menoleh ke arah Henokh dan memberi kode agar pria itu menunggu.

☻☻☻

"Mak..." Kak Tiur menggenggam tangan ibunya dengan sayang. Ia tahu, apa yang dilakukan oleh wanita itu semata-mata karena teramat sayang kepada putrinya. "... Duma sudah dewasa, Mak. Selain kita, dia juga butuh dukungan dari orang yang dicintainya. Dia butuh Henokh untuk membantu perkembangan kesehatannya. Tolonglah Mamak sedikit mengerti posisi dia."

Kak Tiur berusaha mengucapkan kalimatnya sepelan mungkin. Selain untuk meluluhkan hati ibunya, ia juga tidak mau perbincangan mereka mengganggu istirahat Duma yang saat ini sedang tertidur pulas.

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang