DUA PULUH DELAPAN

754 41 26
                                    

Debb sama sekali tidak menyangka bahwa perjalanannya ke Medan akan berakhir seperti ini. Tujuan awalnya hanya PKL, tapi ternyata ia mengalami lebih banyak dari sekadar mengumpulkan materi untuk Tugas Akhir.

Debb mendesah, menyeret kopernya untuk segera keluar dari Bandara Soetta. Orang-orang bergegas, melangkah dengan cepat seolah gedung ini akan meledak dalam hitungan detik. Namun, Debb tidak. Ia berjuang keras untuk menyeret kakinya sendiri--dan mengapa koper ini terasa berpuluh kali lebih berat hari ini?

Di satu sisi, Debb ingin sekali segera sampai di rumah, meminta penjelasan dari Bapak, dan terlepas dari segala pikiran-pikiran buruk ini. Namun, di sisi lain ia juga tidak siap. Ia tidak tahu harus bagaimana jika nanti jawaban Bapak sama sekali tidak meleset dari penuturan Namboru. Selama ini Bapak sudah melakukan tugasnya dengan sempurna. Ia adalah suami yang setia dan ayah yang luar biasa. Tentu saja Debb sering berselisih paham dengan Bapak, tapi itu malah menambah keakraban mereka. Berdebat, membuat ikatan antara mereka semakin kuat. 'Pertengkaran' mereka sebagai ayah dan anak, membantu mereka untuk lebih memahami satu sama lain.

Debb menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kursi tunggu setelah melewati pintu keluar gedung bandara. Dia menggeser koper ke sisi kanan tubuhnya, bersandar, lalu memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya.

Tanpa sengaja, tangan kanannya menemukan sebuah benda kecil. Mata Debb berkabut. Itu adalah gulungan 'wasiat' dari Duma, yang ia masukkan ke saku jaket sesaat setelah keluar dari kamar gadis itu. Benda itu juga mengingatkan Debb akan wajah Henokh saat perpisahan mereka tadi pagi.

"Aku akan pulang ke Jakarta, Iban," kata Debb setelah keluar dari kamar Duma. Mereka memilih berbicara berdua di sebuah bangku taman rumah sakit.

"Kenapa buru-buru? Bukannya jadwal pulangnya masih dua minggu lagi?

Debb memang pernah cerita tentang jadwal kepulangannya pada Henokh beberapa waktu yang lalu.

"Ceritanya panjang, Iban."

"Oh, oke!" 

Hanya itu yang Henokh ucapkan sebelum ada keheningan panjang di antara mereka. Henokh sepertinya tahu Debb ingin membicarakan sesuatu. Jadi, dia berinisiatif untuk diam menunggu.

Setelah beberapa menit, Debb mengeluarkan bunyi batuk tertahan untuk membersihkan tenggorokannya, sebelum kemudian mulai berbicara.

"Iban, sebelum pulang, aku pengen ... um--tentang yang di Pusuk Buhit--"

"Apa kita harus ngomongin itu, ya?" Henokh memotong kalimat Debb. Sepertinya dia tidak nyaman.

Debb menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. "Iya, harus. Aku nggak mau ninggalin pertanyaan-pertanyaan di pikiran kamu, Iban. Duma udah sadar, dan aku nggak mau menjadi batu sandungan di antara kalian berdua."

"Iban ...,"

Panggilan lemah itu Debb balas dengan sebuah genggaman hangat di tangan kanan Henokh. "Jujur, aku juga malu ngomongin ini. Malu, banget! Tapi, harus! Karena, entah kenapa, aku ngerasa sayang banget sama Duma, seperti aku sayang sama kamu, Iban!"

Debb dalam hati mengutuk diri sendiri. Sialan! Dia harusnya belum mengatakan itu sekarang. Iya, dia akan mengatakan itu, tapi tidak sekarang. Tadinya Debb sudah merancang kalimat panjang lebar. Dan kata 'sayang' harusnya ada di bagian penutup. Tapi, ya sudahlah, sudah terlanjur keluar. Debb memutuskan untuk melanjutkan.

"Iya, aku sayang sama kamu, Iban. Dan ..."--kenapa kata 'ciuman' terdengar begitu jorok?--"... yang di Pusuk Buhit itu adalah wujud rasa sayang  yang tulus."

"Iban ...,"

"There, I've finally say it! Tapi, Iban, aku ngomongin ini hanya supaya aku juga gak nyimpan beban atau apa. Aku memang merasa perlu untuk mengatakannya, supaya nggak ada 'sesuatu yang aneh' di antara kita. Aku ingin tetap ber-pariban kompak dengan Iban, aku ingin berteman baik dengan Duma.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang