Abi
Insiden tergelincirnya Debb membuat aku menjerit histeris. Kami menyiapkan batu bata yang sudah direndam dalam minyak tanah untuk membuat api unggun, kami menyiapkan camilan ringan, mi instan, beras, periuk, beberapa lauk, obat luka dan segala hal lainnya. Kami tahu, kami akan kelaparan, kedinginan, mungkin sedikit terkilir atau terluka karena tergores ranting-ranting ... tapi kami tidak tahu kalau salah satu dari kami akan tergelincir atau jatuh atau apa pun istilahnya.
Tidak ada bayangan sama sekali.
Sungguh sebuah mimpi buruk.
Parahnya, pikiranku langsung berlari jauh melewati jalan raya yang berkelok-kelok, hutan-hutan, lembah dan bukit, menerobos kabut yang dingin, membelah pekatnya malam, hingga sampai ke daerah sesak di kota Medan, ke rumah sakit ... ke kamar Duma yang dipenuhi bunyi-bunyi memilukan. Bagaimana kalau Debb harus terbaring koma juga? Astaghfirullah, semoga tidak terjadi.
Kami turun menyusul Henokh yang sudah lebih dulu melemparkan dirinya untuk mengejar Debb. Aku tergesa. Aku tak peduli lagi apakah kakiku cukup mendapat pijakan atau tidak. Aku hanya ingin memastikan bahwa Debb selamat. Beberapa kali kudengar Bang Tumpal meneriakkan kata-kata bernada peringatan agar aku lebih hati-hati, tapi rasanya aku sudah tak peduli. Aku hanya ingin segera melihat Debb.
Bang Henokh sedang mendekap kepala Debb di dadanya ketika kami sampai di tanah landai tempat tubuh Debb tertahan. Syukurlah, sepertinya dia tidak terluka. "Debb, kamu baik-baik saja?" kataku memastikan, namun perhatianku terarah ke tubuh Bang Henokh yang menggigil di bawah cahaya senter. Hatiku mencelus. Kejadian ini pasti membuatnya terguncang, mengingat keadaan Duma yang sekarang. Bang Henokh pasti sedang mencampur-adukkan segala kejadian dalam hatinya. Menimpakan cerita yang satu dengan yang lain, dan memosisikan diri sebagai tersangka utama, yang tidak becus menjaga siapa pun.
Setelah memastikan bahwa Debb tidak mengalami cedera, Bang Tumpal akhirnya memutuskan bahwa kami sebaiknya mendirikan kemah di dekat sini.
Kami berjalan beberapa ratus meter melalui jalan biasa untuk mencari lokasi yang cocok untuk mendirikan kemah. Bang Henokh memaksa untuk menggendong Debb yang masih terlihat meringis. Aku mengikuti persis di samping mereka.
Bang Henokh berjalan dengan cara yang aneh. Tidak tahu apakah karena dia begitu terguncang, rasanya dia terlihat sangat menderita. Mengingat kondisi tubuhnya yang prima, harusnya membopong Debb bukanlah masalah besar. Namun, berkali-kali aku melihat Bang Henokh memejamkan mata sambil mengigit gerahamnya. Seolah berusaha untuk tidak melihat ke bawah. Dia berjalan seolah-olah sedang menginjak bara api. Seolah bebatuan ini akan melukai kakinya yang terbungkus sepatu tebal. Cahaya bulan membuat wajahnya terlihat begitu pucat, melengkapi ekspresinya yang diam-diam kuperhatikan. Apa sebenarnya yang ia rasakan?
Debb terlihat merebahkan kepalanya di bahu kiri Bang Henokh. Mungkin masih syok, atau karena ia tidak punya pilihan lain. Entahlah.
Atau,--pikiranku kembali terarah ke Bang Henokh--, apakah Bang Henokh sudah membayangkan ini akan terjadi sehingga ia bersikeras bahwa kami tidak boleh mendaki? Apakah kami terlalu tegar tengkuk, memaksakan pendakian ini? Apakah Bang Henokh sebenarnya tidak suka mendaki?
Atau apakah Duma mengalami hal serupa? Oh, ya Allah. Apakah Duma mengalami kejadian serupa?
Tiba-tiba saja, aku ingin menyuruh Bang Henokh berhenti sebentar saja, menurunkan Debb, agar aku bisa memeluknya untuk memberikan ... aku tidak tahu apa yang bisa kuberikan. Aku hanya ingin memeluknya, mengatakan bahwa segala hal yang terjadi--apa pun itu--, bukanlah kesalahannya. Aku tidak ingin tahu apa yang terjadi dengan Duma, sungguh, biarlah itu menjadi konsumsi pribadi jika Bang Henokh tidak cukup kuat untuk menceritakannya. Aku hanya ingin memeluknya. Bang Henokh adalah manusia paling tulus yang pernah kutemui sepanjang hidup. Entah kenapa, aku hanya tidak ingin melihatnya menderita.
Bang Henokh menarik napas lega ketika kami akhirnya sampai di sebuah tanah landai yang lebih luas lima belas menit kemudian.
Bang Henokh menurunkan Debb dan langsung kusambut dalam dekapanku. Debb mengigil. Aku memutuskan duduk dan membiarkan Debb meringkuk di pangkuanku, sementara cowok-cowok mulai mendirikan tenda. Tiga cewek yang lain merapikan barang-barang kami, memisahkan peralatan-peralatan masak dari barang-barang yang lainnya.
Bang Henokh membantu mendirikan tenda dengan sesekali melihat ke arah kami. Mungkin memastikan Debb masih bernapas. Raut wajahnya kini terlihat lebih santai, meski masih menyisakan kekhawatiran.
Suasana yang tadi sempat menegang, sekarang sudah berangsur normal. Setiap orang sudah mulai berceloteh sambil sibuk melakukan ini itu. Lima belas menit kemudian, dua tenda sudah berdiri kokoh, api unggun dinyalakan.
Tidak ada yang masuk ke dalam tenda. Semua orang memutuskan untuk menghangatkan diri, mengelilingi api unggun sambil melanjutkan percakapan. Udara memang semakin dingin. Cewek-cewek duduk berdempetan dengan meletakkan ransel-ransel di belakang mereka untuk menghalau angin. Cowok-cowok terlihat lebih santai, menyalakan rokok, sambil sesekali berkeliling untuk mencari ranting-ranting kecil untuk dibakar.
Karena sedikit kram, aku akhirnya meminta Bang Henokh untuk gantian memangku kepala Debb yang kini sudah terlelap. Kini kami juga duduk berdempetan.
"Abi juga tidur saja," kata Bang Henokh.
Aku merebahkan kepala di bahunya.
-000-
=============================SELAMAT TAHUN BARU!
Part ini terlalu singkat ya? Gak perlu ngambek, karena aku update dua part sekaligus.
Silahkan langsung meluncur ke bab berikutnya.Bantu vote dan share ya.
Komentar kamu juga ditunggu, agar cerita ini bisa lebih baik.
Yours,
Fernando Simandalahi
KAMU SEDANG MEMBACA
HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOING
Romance[[ATTENTION: Bacalah setidaknya dua bab, dijamin kamu bakal KETAGIHAN!!! And also, siapin jiwa dan raga untuk baper!!!]] Blurb: Saat pertama kali bertemu, Deborah Elena Hutagalung sama sekali tidak menyukai pariban yang sedang dijodohkan Bapak denga...