MABIAR
[Takut]Pukul dua belas.
Matahari sudah berada tepat di atas kepala, namun udara tetap saja serasa membekukan tulang. Selain karena sudah memasuki daerah pegunungan, rindangnya pepohonan hutan tropis yang menumpuk di sisi kiri dan kanan jalan membuat segalanya menjadi terlalu sejuk.
"Ambilin jaket dong, Abi!" Pinta Henokh ke Abi yang masih terlihat khawatir.
Beberapa menit yang lalu, mobil berhenti sejenak untuk membersihkan segala kekacauan yang tertumpah dari perut Debb. Mobil sudah bersih, namun noda yang tertinggal di jeans Henokh tentu saja tidak bisa hilang begitu saja.
"Diganti aja, Iban!" Kata Debb lemas, memaksudkan jeans Henokh.
"Gak usah, nanti juga bisa hilang sendiri. Nih, pakai jaket dulu supaya hangat!" Henokh membantu Debb memakai jaket yang tadi sudah diambilkan oleh Abi. Henokh kemudian merengkuh Debb ke bahu kanannya dan membimbing wanita itu masuk kembali ke dalam mobil.
"Masuk, Abi! Biar kita lanjut jalan."
"Iya abang Iban." Kata Abi seraya masuk kembali ke dalam mobil. "Maaf ya abang Iban, kita jadi merepotkan. Biasanya kita selalu ingat untuk makan obat dulu, karena Debb memang selalu muntah di awal-awal perjalanan jauh. Tadi memang gak kepikiran sama sekali." Suara Abi masih terlihat khawatir.
Sepanjang persahabatan mereka, memang Abi-lah yang sepertinya menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mengingatkan Debb tentang obat anti-mabuk setiap kali mereka akan bepergian. Kejadian seperti ini pernah terjadi saat kampus mengadakan camping trip ke puncak beberapa tahun yang lalu. Debb tiba-tiba saja muntah di tengah perjalanan, yang menimbulkan reaksi beragam dari makhluk seisi bus. Ada yang prihatin, namun tentu saja tak sedikit yang merasa terganggu karena 'bau' yang ditimbulkan. Abi menjadi sahabat yang benar-benar membantu Debb memperbaiki segala kekacauan yang ia lakukan.
Debb kemudian bercerita kepada Abi, mengatakan bahwa ia memang selalu mabuk di jam-jam awal perjalanan jauh namun tidak akan mabuk lagi setelah itu. Parahnya, entah mengapa, ia selalu lupa memakan obat anti-mabuk kalau tidak ada yang mengingatkan.
Itulah sebabnya, Abi – sejak saat itu – dengan murah hati menobatkan dirinya sebagai orang yang akan bertanggung jawab untuk mengigatkan Debb untuk makan obat anti-mabuk sebelum melakukan perjalanan jauh.
Lalu hari ini, dengan bodohnya, ia lupa. Mau tak mau, ia harus menyalahkan diri sendiri atas kejadian ini.
"Gak apa-apa. Gak usah merasa bersalah gitu, dong. Debb nih yang salah. Nanti sampek di Samosir, dia harus traktir kita karena sudah merepotkan." Henokh memaksakan sebuah senyum, namun kekhawatiran juga masih tergambar jelas di wajahnya. "Ayok Tulang, kita berangkat!" lanjutnya ke Tulang supir.
"Ada bawa minyak angin gak?" pertanyaan ini untuk Debb dan Abi.
"Ada nih." Abi yang menjawab seraya menyodorkan ke Henokh.
Mobil Tulang Hombing sudah mulai berjalan, membelah gulungan kabut yang sepertinya tak akan pernah hilang tak peduli seberapa terik matahari. Jalanan yang berkelok-kelok terasa begitu hening, karena hanya satu dua kendaraan yang lalu lalang. Ada sekumpulan monyet yang nongkrong di pinggir jalan, menunggu para pengendara yang lewat melemparkan buah atau sisa-sisa makanan mereka.
Henokh menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Debb, lalu mengambil sebuah bantal dari jok belakang dan meletakkan di pangkuannya.
"Sini iban!" Henokh menepuk bantal di pangkuannya dengan maksud meminta Debb untuk merebahkan kepalanya di situ.
Debb terlihat berpikir sejenak di antara wajahnya yang memucat, namun perlahan memilih untuk menyetujui saran Henokh. Debb mengangkat kedua kakinya ke atas jok dan membaringkan kepala di pangkuan pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOING
Romance[[ATTENTION: Bacalah setidaknya dua bab, dijamin kamu bakal KETAGIHAN!!! And also, siapin jiwa dan raga untuk baper!!!]] Blurb: Saat pertama kali bertemu, Deborah Elena Hutagalung sama sekali tidak menyukai pariban yang sedang dijodohkan Bapak denga...