DUA PULUH SATU

397 31 6
                                    

MARBADA
*Bertengkar*

"...Henokh, kamu phobia batu! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kamu bisa tetap sadar sementara kamu sudah panik karena Duma dan bergantung pada batu sebagai pegangan. Aku yakin kamu pasti gemetar dan kehabisan tenaga karena disesaki oleh kepanikan ditambah phobiamu. Jadi, bukan kamu yang melepaskan Duma--setidaknya, bukan karena keinginanmu. Kamu.kehilangan.kekuatan. Kamu gemetar dan panik, melemas, sehingga tak bisa menahan tangan Duma untuk tetap ada dalam genggamanmu. Itulah yang terjadi."

Henokh masih sibuk mencerna kalimat itu, menemukan kebenaran yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya, mengandung penawar untuk rasa bersalah yang selama ini menghantuinya.

Ia menatap Debb dengan nanar, menemukan kebenaran dalam kalimat itu. Henokh seolah mendapat kekuatan baru.

Henokh masih sibuk dengan pikirannya sendiri ketika ia merasakan sesuatu yang empuk dan hangat di bibir bawahnya. Lembut.

Debb menciumnya.

Henokh tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak siap, namun sesuatu dalam dirinya bergejolak, meminta lebih. Ketika ia hendak membalas ciuman Debb, sesuatu dalam saku celananya berbunyi nyaring.

SMS masuk.

Henokh limbung, dia segera menarik diri dari Debb.

Segala kejadian dalam satu menit terakhir ini berlangsung seperti kilat, menguras emosi, dan ia sama sekali tidak siap. Belum selesai ia menenangkan hatinya untuk kalimat Debb dan kecupannya, kini jantungnya hampir jatuh ke tanah membaca isi SMS di layar ponselnya.

Dari Kak Tiur.

Duma sudah siuman.

"Iban, Duma udah sadar." 

Henokh bahkan tidak tahu harus mengatakan apa. Dia kalap. Gadisnya sudah sadar. Sel-sel di otaknya memaksa saraf-saraf di kaki untuk beranjak dari tempat itu--terbang kalau bisa. Ia ingin segera melihat Duma.

Henokh meremas ponselnya, memandang Debb--ingin mengatakan sesuatu tapi tak tahu apa, lalu pasrah membiarkan dirinya diseret oleh kakinya sendiri. Berlari secepat yang ia bisa ke arah kemah

...

meninggalkan Debb yang tercekat.

___

Debb melihat punggung itu menjauh.

Hanya beberapa detik saja ia merasakan jatuh cinta, lalu perasaan itu seketika hancur hingga kepingannya pun tak bisa ia kenali sebagai apa. Rasanya ia ingin menangis, tapi air matanya sudah terlanjur habis menangisi derita Henokh bersama cerita sedihnya beberapa menit yang lalu. Ia ingin marah, tapi ia tahu bahwa ia tak berhak menuntut apa pun dari Henokh. Sejak awal ia tahu bahwa pria itu memiliki Duma.

Debb terdiam mematung.

Setelah ini, ia harus menguatkan diri untuk menceritakan kepada semua orang kenapa Henokh tiba-tiba menghilang. Debb yakin, pria itu sudah tidak kepikiran untuk pamit kepada teman-temannya. Hati Henokh sudah di Santa Elisabeth, dan ia pasti sedang mengusahakan cara terbaik agar tubuhnya juga segera berada di sana.

Debb meraba bibirnya sambil memandang hamparan Danau Toba di bawah sana. Itu adalah ciuman yang paling tidak ia rencanakan sepanjang hidupnya, dan meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Lalu sekarang, itu menjadi ciuman paling menyakitkan yang mungkin akan menyiksa batinnya entah sampai kapan.

Debb tersenyum getir. Rasanya baru kemarin dia tiba di Bandara Kualanamu, melemparkan tatapan sinis pada pariban-nya yang berpenampilan tak karuan, menatap aneh pada Abi yang--katanya--jatuh cinta pada pria lusuh itu... lalu sekarang dia malah menemukan dirinya yang benar-benar jatuh cinta pada pria itu. Debb bahkan seolah lupa bahwa ia masih memiliki Novan.

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang