SEMBILAN BELAS

546 36 10
                                    

TARSILANDIT DI SINABUNG
(TERGELINCIR DI SINABUNG)


Tidak ada yang bisa Henokh lakukan untuk menolak permintaan Duma. Seperti biasa, gadis itu selalu memiliki argumen cerdas. Lagi pula, bisa apa dia kalau gadis tersayangnya itu sudah memasang mata sendu seperti binatang-binatang lucu di film Tinker Bell? Bahkan hati preman Simpang Kuala pun akan luluh.

Henokh akhirnya setuju membawa serta Duma dalam pendakian kelompok Mapala kali ini. Anggota yang lain juga setuju-setuju saja. "Supaya Reni jugak ada kawan. Kan cumak dia cewek di sini. Kalok dia mau kencing, biar gak asik aku aja yang diajak untuk ngawanin dia," begitu kata Bongot--salah satu anggota Mapala. Reni memang satu-satunya cewek dalam kelompok ini. Dia sangat senang ketika mengetahui bahwa Duma akan ikut.

Mereka tiba di Danau Lau Kawar pukul 05.00 setelah menempuh 90 menit perjalanan dari Kota Berastagi. Danau ini berada persis di kaki Gunung Sinabung, dan akan menjadi titik awal pendakian mereka. Tumpal, sang ketua, memutuskan bahwa mereka akan melakukan pendakian di pagi hari agar tidak terkena terik matahari. 

Ada sepuluh orang yang akan mendaki hari ini. Henokh, Duma, Tumpal, Reni, Bongot, Dingot, Agus, Rahmat, Sahat, dan Ahmad. Sebenarnya ada 25 orang anggota aktif di Mapala kampus mereka, namun beberapa anggota lain memiliki kegiatan yang lebih penting sehingga tidak bisa bergabung dalam pendakian kali ini.

"Kamu yakin mau ikut naik, Hass?" Henokh menggenggam tangan Duma yang sudah dibalut sarung tangan. Gadis itu juga mengenakan syal dan jaket tebal sehingga terlihat sangat menggemaskan. Ia masih berharap bahwa Duma akan berubah pikiran--tak apa jika ia pun harus gagal ikut mendaki. Entah mengapa, hatinya tidak tenang.

"Ih, Henokh ini sibuk kali. Udah nyampek di sini pun. Sante aja lah kooo!!! Jangan bikin takut anak orang lah!" Reni menepuk bahu Henokh dengan gemas. Ia gamang dengan pria parnoan itu. [p.s. ko = kau/kamu.]

Semua orang dalam kelompok ini memang memiliki gaya bahasa yang kental--khas orang Medan. Bahkan Ahmad yang orang Jawa, memiliki gaya bahasa yang sama. Tidak ada bedanya dengan Batak-Batak ini.

"Tah nih, si Henokh!" Bongot menimpali.

"Ih, kimbek lah kelen. Jadi pengen cakap kotor awak," balas Henokh. "Awak kan cumak mau mastikan dia kuat apa enggak!" [p.s. awak = aku]

"Tenang aja, Hass. Aku yakin, kok! Demi kamu dan si buah hati!" Duma mengerling jenaka.

"Ish, jangan bikin baper lah, Edakk!!! Entah apa hubungannya antara mendaki Sinabung dengan Pance Pondaag!" Kali ini punggung Duma yang kena tepukan Reni. ("Edak" adalah panggilan ke sesama perempuan dalam budaya Batak, jika bukan kakak-beradik.)

"Ah, bising kali pun kelen. Udah pada siap, gak? Keburu matahari nanti nampak, kepanasan kita di jalan," Tumpal yang baru saja membayar restribusi dan lapor ke Tim BASARNAS, datang dan segera memerintahkan pembagian bekal. Itu lebih baik daripada mendengar ocehan tidak penting para anggotanya. "Cewek-cewek bawak tas kecil aja, atau gak usah bawak apa-apa sekalian. Cowok-cowok aja yang bawak semua," lanjutnya.

"Ih, maccam gak pernah aja awak mendaki ko bikin! Awak bawa tas sendiri lah. Biar Duma aja yang gak bawa apa-apa." Reni tentu saja merasa harus protes.

"Iya, iya. Nggosah naik sasak kau!" Dingot yang sejak tadi Diam, menimpali protes Reni sambil memindahkan ransel ke punggungnya.

Semua barang bawaan akhirnya sudah terbagi secara merata. Duma sebenarnya ingin membawa sesuatu, tapi dia biarkan saja. Takut mendapat protes dari Henokh. Bagaimanapun, ini adalah pengalaman pertamanya mendaki. Ia juga tidak mau mengambil risiko. Ia ingin agar perjalanan kali ini bisa berjalan mulus. Ia tidak mau merepotkan.

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang