DUA PULUH LIMA

365 35 15
                                    

NA MORA JONG
(Kaya Raya)


Ada satu pigura besar digantung di salah ruang tamu rumah Namboru yang mengganggu pikiran Debb sejak tiba di sini. Pigura itu berisi gambar kakek dan nenek Debb. Iya, Debb tahu karena sebuah pigura yang persis sama juga tergantung di rumah mereka di Jakarta. Kata Bapak, pigura itu harus tetap ada agar Debb bisa mengenal dan tidak melupakan oppung (kakek-nenek)-nya.

Pigura itu terlihat cocok digantung di rumah mewah mereka di Jakarta. Tapi di rumah Namboru? Rasanya sangat kontras. Pigura itu terlalu mewah untuk dinding rumah Namboru yang sudah menghitam oleh asap dari tungku kayu bakar. Apalagi dengan gambar kakek dan nenek yang terlihat sangat mewah. 

Dalam foto itu, Oppung Doli (Kakek) mengenakan jas berbahan tebal dengan celana panjang senada, lengkap dengan sepatu pantovel. Ada sebuah ulos berwarna putih yang tersampir di bahu kanannya, menjuntai hingga ke bawah lutut. Di sampingnya, Oppung Boru (Nenek) terlihat teramat anggun dalam balutan kebaya berwarna broken white. Sebuah tas bulat berhiaskan manik-manik putih dan merah berisi sirih tergantung manis di lengan kirinya. Kalung emas berukuran--menurut Debb--terlalu besar menghiasi leher Nenek yang keriput. Kedua tangannya juga tak luput dari lilitan gelang dan cincin berbahan emas.

Intinya, satu pigura ini cukup menceritakan bahwa Kakek dan Nenek Debb adalah orang terpandang dan kaya raya. Tak heran jika ayah Debb juga hidup berkecukupan. 

Tapi... kenapa hidup Henokh dan Namboru melarat?

"Bapakmu tidak pernah cerita?"

Debb memutuskan untuk bertanya langsung ke Namboru, tapi malah pertanyaan itu yang muncul.

"Enggak pernah, Bou."

"Jadi, kau juga tidak tahu kenapa bapakmu tidak pernah pulang ke sini atau memperkenalkanmu sama Namboru dan paribanmu? Namboru kira bapakmu sudah cerita, makanya kau disuruh ke sini."

"Enggak pernah, Bou." Debb bingung, tapi dia memang tidak tahu apa-apa. Bapak tidak pernah cerita.

"Bah, kalau gitu, kau tanyalah bapakmu. Namboru gak punya hak menceritakan ini. Nanti malah kau kira namboru mengarang cerita."

Tidak! Jika ada hal yang Bapak tutup-tutupi, maka sekaranglah waktunya untuk Debb mencari tahu. Namboru harus cerita.

"Tolonglah Bou, ceritalah samaku. Aku nggak akan kasih tahu Bapak," kata Debb dengan wajah memelas.

Namboru terdiam sejenak, memandangi pigura mewah itu seolah menimbang apakah ia harus menceritakan semuanya atau tidak.

***

"Okelah. Kalau bapakmu tidak pernah cerita, biar Bou yang cerita. Kalaupun kau mau kasih tahu bapakmu, tidak apa. Itu malah lebih bagus. Kau perlu tahu yang sebenarnya." Setelah lima menit menimbang, Namboru akhirnya memutuskan untuk buka suara. Debb hanya mengangguk menandakan persetujuannya.

"Oppung-mu memang orang kaya. Sangat kaya." Namboru memulai ceritanya. "Tanahnya tersebar di mana-mana, dari Silalahi ini sampai ke Paropo sana. Di Medan juga oppung-mu punya empat rumah. Semuanya besar-besar. Pokoknya, Oppung na mora jong (orang kaya raya).

"Mungkin kau tidak tahu, tapi dalam adat Batak, pewaris harta orang tua adalah anak laki-laki. Anak perempuan tidak punya hak, kecuali orang tua sudah berpikiran modern. Jadi, setelah oppung doli dan oppung boru-mu meninggal, semua hartanya diturunkan ke bapakmu. Sebenarnya, Ito bisa saja membagi warisan itu sama Bou. Tapi tidak, rupanya bapakmu berpikir bahwa semua harta peninggalan oppung tidak cukup untuk dibagi.

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang