Sepuluh

961 63 19
                                    

NUNGA MALO SIAN NATUBU
[Pintar Bawaan Lahir]

Hari ini, suasana ruang ICU masih sama.

Dinding-dinding ruangan masih berwarna hijau lembut, suara dari monitor-monitor masih bersahutan, bermacam-macam bunyi dari berbagai alat di ruangan pun masih tak lelah menimbulkan keriuhan bernuansa kelam.

Duma pun masih terlena dalam tidur panjangnya, sambil sesekali mengeluarkan bunyi-bunyi berwarna pilu dari mulutnya yang tertutup.

Namun, jika beberapa minggu lalu Debb menemani Henokh menjenguk Duma, maka ini adalah hari ke lima sejak wanita itu tidak pernah lagi ikut ke rumah sakit. Tepatnya, setelah kemarahan Henokh tentang niat Debb untuk ke Pusuk Buhit.

"Dia marah, sepertinya. Dia tidak sekali pun menghubungiku akhir-akhir ini, hasian!" Curhat Henokh ke Duma yang sama sekali tidak menggubrisnya. Henokh sebenarnya ingin menelepon atau sms Debb, tapi ia tidak tahu harus memulai dari mana (atau dengan kata apa). Meminta maaf ternyata memang rumit.

"Kenapa kau tidak bangun saja? Mungkin kalian akan menjadi sahabat! Debb memiliki banyak kesamaan denganmu, hasian! Tak bisa berhenti bicara dengan energi yang tak pernah habis. Dia memang agak lebih modis, tapi tentu saja kau yang lebih cantik. Dia juga sebenarnya adalah teman berbicara yang baik. Oh ya! Kau juga perlu segera bangun karena harus bertemu Abi." Henokh tiba-tiba teringat dengan Abi yang katanya sudah kembali dari Jakarta sehari yang lalu.

Henokh menghabiskan dua jam berbicara dengan Abi di telepon tadi malam. Katanya Debb menyuruh dia untuk tidak menghubungi Henokh. Abi membenarkan tentang rencana mereka yang ingin mendaki ke Pusuk Buhit dan menceritakan tentang detail perjalanan mereka. Abi sedikit protes karena Debb menyampaikan rencana itu tanpa melibatkannya. Henokh juga bersikukuh bahwa akan lebih baik bagi semuanya jika mereka berdua tidak jadi pergi.

Mereka berbicara panjang lebar, - tentu saja - tanpa sepengetahuan Debb.

"Abi lucu!" Lanjut Henokh berbicara kepada Duma, meyakinkan diri sendiri bahwa jauh di bawah alam sadarnya, Duma akan mendengar setiap kata yang ia ucapkan. "Sebenarnya dia ingin berbincang denganmu. Tapi setiap kali ke rumah sakit, dia tidak pernah masuk ke ruangan ini kecuali di kunjungan pertamanya. Tidak nyaman, katanya!

"Aku bahagia bahwa mereka berada di sini. Tapi, akan jauh lebih bahagia jika kau bangun dan kita pergi makan Mie Aceh di Iskandar Muda. Aku masih belum suka Mie Aceh, tentu saja! Tapi, aku akan mengajakmu ke sana karena itu adalah salah satu makanan favoritmu. Untuk merayakan kesembuhan. Aku akan makan ... sedikit! Aku janji. Dan kita akan mengajak Debb dan Abi.

"Atau kalau kau ternyata tidak mau makan Mie Aceh lagi ... mungkin selama tidur panjangmu ini kau bertemu ibu peri yang berpesan bahwa makan Mie Aceh itu tidak terlalu menyehatkan ..., aku akan membawamu ke mana pun kau mau. Ke mana pun! Just ... wake up!"

Henokh merasa kedua bola matanya mulai memanas, berembun, lalu mengeluarkan beberapa bulir air mata. Seharusnya dia adalah pribadi yang kuat. Dia selalu kuat! Dia sudah kenyang dengan kepahitan hidup dan dia berhasil melewati segalanya.

Tapi, bagaimana dia bisa tetap kuat, sementara salah satu sumber kekuatannya sudah terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan ini? 

Seandainya dia bisa!

Tentu saja, dia tidak bisa.

"Bang Henokh!"

Henokh sedikit terhenyak mendengar suara seseorang di belakangnya. Ternyata suster Hannah, ditemani seorang suster lain yang belum Henokh kenal.

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang