DUA PULUH ENAM

279 24 0
                                    

DONGAN
(Teman)


"Lo ...," 

Ucapan Abi tergantung di udara. 

Beberapa detik yang lalu ia masih riang, tersenyum kecil keluar dari ruangan Duma. Namun setelah menutup pintu dan membalikkan badan, ia menemukan sosok Debb yang berdiri kikuk di lorong rumah sakit.

Abi menangkap mata Debb yang sayu dan ingin mengucapkan sesuatu. Tapi sepertinya ia tidak bisa membuka mulutnya.

Mereka kini berjarak tidak lebih dari dua meter. Mengingat pertengkaran mereka beberapa hari yang lalu, Abi juga tidak tahu harus melakukan apa. Dia tentu tidak siap melihat Debb yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Ingin berbalik ke kamar Duma, tidak enak juga. Memang susah, ya, kalau tiba-tiba saling diam dengan orang yang tadinya selalu dekat.

Bagaimana ini?

"Hhhh!" Sebuah desahan kecil berhasil lolos dari antara bibir Abi, disertai bahunya yang merosot. Tidak bisa begini terus, mereka harus bicara.

"Debb, aku mi--,"

"Stop, Abi, please!" Sepertinya Debb tiba-tiba menemukan kembali suaranya. Ia mengangkat telapak tangan kanan, memberi kode agar Abi tidak melanjutkan ucapannya.

Abi mengatupkan mulut sambil mengangkat kedua alis, menimbulkan tiga baris lipatan di dahinya. 

Debb mendekat, dengan tatapan mata mengarah ke ujung sepatu Abi. Tidak biasanya ia begitu. Debb adalah wanita kuat, tak pernah terintimidasi oleh apa pun. Tapi hari ini ia berbeda. 

"Abi ...," kata Debb dengan suara pelan, "selama ini lo selalu menjadi orang yang minta maaf duluan. Gue selalu ngerasa paling benar, paling disakiti. Meskipun bukan salah lo, lo selalu mau mengalah. Gue baru sadar, gue udah egois banget jadi manusia."

Debb memilin ujung kaus bertuliskan "Lake Toba" yang ia kenakan. Abi ingat, setelah turun dari Pusuk Buhit, mereka sempat singgah di Tomok dan membeli kaus itu. Abi juga punya, warna biru navy, sementara Debb memilih warna hitam.

"Gue ... gue selalu ngedapetin apa yang gue ingin. Bahkan kata 'maaf' sekalipun," lanjut Debb dengan nada sendu. "Gue selalu mendapat, mendapat, mendapat, tanpa gue sadar bahwa apa yang gue dapat ternyata adalah hak orang lain. Harusnya gue lebih rendah hati. Gue udah jahat banget jadi manusia."

"Debo, lo ngomongin apa sih?" Abi tahu, Debb tidak sedang membicarakan tentang mereka saja.

"..."

"Lo siapa? Lo kemanain Debo?" ucap Abi seolah Debb sedang kerasukan. Tapi candaannya itu sepertinya tidak berlaku saat ini.

"Intinya, gue minta maaf sama lo, Abi. Izinin gue kali ini untuk menjadi orang yang lebih dulu minta maaf. Maafin gue Abi!" Debb menjangkau kedua tangan Abi, meremasnya, untuk kemudian memeluk Abi. Tangisnya tiba-tiba pecah. "Maafin gue, Abi ..., maafin gue!"

"S--sshhh! Shhh!" Abi kelabakan dan bingung. Ia hanya bisa membalas pelukan Debb dan mengelus lembut rambut Debb. "Iya, gue maafin. Gue juga min--"

"Please, Abi," potong Debb di leher Abi, "please biarin kali ini gue yang minta maaf. Lo nggak salah, gue yang udah keterlaluan." Gadis itu masih sesenggukan.

"Iya, ya udah. Gue maafin. Udah lo berenti dong nangisnya. Kita duduk dulu, yuk, dan lo bisa cerita tentang perjalanan lo ke Silalahi." Abi menuntun Debb ke sebuah bangku taman yang hanya beberapa langkah dari tempat mereka berdiri. Pasti semua ini ada hubungannya dengan perjalanan Debb ke Silalahi.

***

"Jadi sekarang rencana lo apa?"

Abi menyentuh punggung tangan Debb yang kuyu. Gadis itu benar-benar terpukul dengan segala fakta yang ia temukan di Silalahi. Ya, Debb menceritakan segalanya pada Abi, dan Abi tidak bisa menemukan kalimat yang cocok untuk mendukung siapa pun. Dia ada di pihak siapa, ia tidak tahu. Apakah ia harus menyalahkan ayah Debb dan membela Namboru? Atau sebaliknya? Tanggapan seperti apa yang bisa menenangkan Debb? Jujur, Abi tidak tahu. Ia juga sama terkejutnya dengan Debb.

"Gue gak tahu, Bi. Hanya saja, gue ngerasa iblis banget menikmati semua fasilitas dari Bapak, sementara Henokh menjalani hidupnya seperti itu."

Abi sudah akan mengatakan sesuatu, tapi Debb dengan cepat menambahkan, "Gue tahu, Bi, gue tahu ini bukan salah gue. Tapi tetep aja gue ngerasa bahwa gue udah jadi bagian dari kejahatan Bapak gue. Lo harusnya ikut ke Silalahi, lihat gimana keadaan rumah mereka, lihat bagaimana ringkihnya tubuh Namboru, lihat matanya yang sayu. Gue gak nyangka aja Bapak setega itu. Gue ngerasa dibohongi, Abi.

"Gue jadi ngerasa bertanggung jawab atas kehidupan Henokh dan Namboru setelah ini. Gue ngerasa perlu ngelakuin sesuatu. Kalau benar Bapak sudah kemaruk, merampas kebahagiaan ito-nya, maka gue harus bisa balikin keadaan, memastikan kehidupan mereka berubah. Namboru dan Henokh harusnya gak perlu ngalamin semua hal ini, Abi. Bahkan untuk makan sehari-hari pun, Namboru harus banting tulang."

Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benak Debb. Apakah menikah dengan Henokh bisa--

"Iya, gue ngerti. Tapi gimana pun, lo perlu denger penjelasan dari bokap lo. Jangan membuat karangan sendiri."

Ucapan Abi memutus pikiran Debb. Tidak, Henokh sudah punya Duma, batin Debb memberi jawaban atas pertanyaannya yang belum rampung.

"Dan itulah yang bakal gue lakuin, Bi. Gue mau pulang buru-buru ke Jakarta, gue mau denger penjelasan lengkap dari bokap. Sebenarnya gue juga gak siap dengan jawaban yang akan gue terima."

"Iya, apa pun ..., gue pasti dukung lo. Nanti biar gue yang ngurusin PKL kita, palingan minggu ini juga udah kelar. Tinggal nunggu surat-surat."

"Iban!"

Debb dan Abi terkesiap melihat siapa yang tiba-tiba berdiri menjulang di depan mereka.

"Loh, katanya Iban ke Silalahi? Kok udah di sini? Iban nangis?" Henokh melemparkan tiga pertanyaan sekaligus.

"He-he, biasalah Abang Iban. Curhatan cewek-cewek. Gak ada sesuatu yang serius, kok." Abi sebisa mungkin bersikap santai, berusaha menyelamatkan Debb yang tentu terkejut dengan kemunculan Henokh yang tiba-tiba. Ia mengucapkan kata 'mampus' tanpa suara ketika Henokh sedang menatap Debb.

"Eh, iya, Iban. Biasalah, curhat-curhatan." Debb mengusap matanya yang memerah sambil menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. "Temani lihat Duma yuk, Iban," lanjut Debb sembari berdiri. Ia tidak membutuhkan lebih banyak pertanyaan dari pria ini.

"Kalian berdua aja ya, gue mau cari makanan dulu. Dari tadi belom makan," ucap Abi ikut berdiri. Ia bermaksud memberi kesempatan untuk Debb berbicara dengan Henokh.

"Oh ya udah. Yok, Iban, aku antar."

***

☼☼☼

-- langsung lanjut bab DUA PULUH TUJUH yooookkkk ... >>>>

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang