EMPAT BELAS

643 55 22
                                    

BINTANG NA RUMIRIS - Part 2
[Bintang-Bintang Berjejer]

Dada Debb berdebar kencang hingga rasanya ia ingin menggunakan kedua tangannya untuk menekan agar jantungnya tetap berada pada tempatnya. Detik-detik berlalu begitu menyiksa, sementara Henokh belum melakukan apa-apa. Sepertinya kesulitan melakukan apa yang ingin ia lakukan atau mengatakan apa yang ingin ia katakan.

"Iban ..." Henokh berujar berat. Lalu memberi jeda untuk menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan gemetar.

Menghembuskan napas di wajah Debb. Menyapu hidung dan bibirnya. Ya Tuhan, Debb bisa gila.

Just fucking say something, teriak Debb dalam hati. Dia hanya bisa menunggu sambil mencari petunjuk di kedua bola mata Henokh tentang apa yang ingin pria itu katakan.

Debb tidak mendapat apapun. Ia hanya bisa menelan napas dengan gugup.

"Iban ..." Henokh memulai lagi dari awal. "Berjanjilah bahwa kita akan tiba di puncak dengan selamat dan pulang dengan selamat. Berjanjilah, kamu tidak akan lasak dan hati-hati. Kasih tau aku kalau kamu merasa lelah dan ingin istirahat. Berjanjilah bahwa kamu akan baik-baik saja, Iban." Suara Henokh bergetar. Ia mengakhiri setiap kalimat dengan menekankan kedua telapak tangannya di pipi Debb, seolah memastikan bahwa setiap kata diterima dengan baik oleh otak wanita itu.

Tadinya, Debb mengira bahwa Henokh akan menciumnya. Tapi, kenyataan bahwa Henokh membuat suasana seolah ia meminta Debb mengucapkan janji pernikahan membuat hatinya ingin meledak dalam damai.

Apa sebenarnya yang kamu takutkan?

Bahkan sederet kalimat yang Henokh ucapkan barusan terasa lebih nikmat dari ciuman apapun. Rasanya begitu berharga ketika ada seseorang yang mengkhawatirkanmu sebegitu hebatnya.

Kini, giliran Debb yang menangkupkan kedua tangannya di pipi Henokh. Membiarkan kehangatan pipi pria itu menembus sarung tangannya. Menyerap segala kekhawatiran Henokh, kalau bisa.

Dia terlalu mengkhawatirkan banyak hal, dan Debb ingin meyakinkannya bahwa semua akan baik baik saja.

"Iban, aku berjanji." Debb berujar lembut sambil menatap kedua bola mata Henokh. "Semua akan baik-baik saja, karena ada Iban di sampingku. Sekarang, sebaiknya kita segera menyusul mereka sebelum kita diteriakin karena melanggar aturan." Bahkan Debb sendiri merasa heran menyadari betapa lembut suaranya malam ini.

Henokh mengangguk.

Keduanya kemudian menarik tangan masing-masing dari pipi yang lain.

Henokh merangkul Debb dengan tangan kanannya dan sambil menuntun Debb melangkah, ia mencium puncak kepala wanita itu.

Hati Debb ingin meledak dalam damai sekali lagi.

***

Rombongan sudah melesak masuk ke punggung Pusuk Buhit, melangkah di antara semak belukar dan pohon-pohon pinus.

Benar kata Bang Tumpal. Berjalan di sini sangat memompa adrenalin. Selain karena suasana gelap, pijakan kaki juga terkesan menjebak. Seolah terlihat kokoh dalam cahaya senter, ternyata hanya tumpukan dedaunan kering dan membuat terpeleset saat menginjaknya. Di beberapa tempat malah tidak ada pijakan sama sekali, sehingga harus merangkak dan berpegangan pada semak belukar atau akar-akar pohon.

Meski begitu, Debb merasa bahwa petualangan ini sungguh menyenangkan. Henokh menggenggam tangannya dengan protektif, Abi dan Broddy tak berhenti bercanda di antara napas mereka yang ngos-ngosan, Eko sibuk bersenandung, dan yang lain juga sibuk berbagi cerita. Setiap orang berusaha membuat suasana santai, agar mereka bisa melupakan lelahnya pendakian ini.

Sesekali mereka berhenti, mengendorkan urat-urat paha yang sudah babak belur menyangga tubuh mereka atau sekedar melegakan tenggorokan dengan beberapa teguk air putih dari tumbler. Tidak perlu buru-buru. Mereka harus tiba dengan selamat, dan yang paling penting: menikmati pendakian.

Semakin larut, bintang-bintang yang bertaburan di atas sana terasa semakin dekat seiring semakin tingginya mereka mendaki. Capek, iya. Tapi, saat kau memandang ke langit dan menyaksikan betapa megahnya pesona bintang-bintang, rasanya segala lelah langsung menguap seketika.

Debb merasa tubuhnya sudah basah oleh keringat, namun udara dingin membuat ia tetap menggigil. Sebuah sensasi yang sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Mereka harus terus berjalan untuk mengalahkan suhu udara yang semakin menurun di atas sini.

Henokh juga terlihat semakin santai. Ia bercerita tentang kampungnya, Silalahi, yang memiliki pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan Samosir. Danaunya, perbukitannya, udaranya, serta hal-hal sederhana lainnya yang bisa ia ceritakan.

"Iban ..." Kata Debb di antara napasnya yang tersenggal. "Mungkin habis dari sini, kita bisa main ke Silalahi karena sebentar lagi gue udah harus balik ke Jakarta."

Mereka sedang ada di sisi yang lumayan terjal, yang membuat Debb harus melepaskan tangannya dari pegangan Henokh.

"Ide bagus, Iban. Hati-hati." Henokh kini ada persis di bawah Debb.

Ada pijakan di sebelah kiri yang terlihat seperti bebatuan. Sepertinya kokoh, namun mungkin Debb akan kesulitan untuk menjangkau dengan kakinya. Tapi, Debb tidak punya pilihan lain karena itu adalah satu-satunya pijakan yang terdekat. Namun sebelumnya, Debb harus memastikan bahwa pegangannya juga aman. Persis di atas kepalanya ada akar pohon pinus. Debb memutuskan untuk menjangkau akar itu lalu mulai merenggangkan kaki kirinya untuk menggapai pijakan yang tadi sudah ia tentukan.

Persis saat kakinya hendak menjangkau pijakannya, terdengar suara Abi kegirangan di bawah sana.

"Eh ... ada bintang jatuh. Ada bintang jatuh." Abi heboh.

Ada bintang jatuh? Tentu saja Debb harus melihat. Ia ingin mengucapkan sederet permohonan. Ini akan menjadi kesempatan sekali seumur hidup. Belum pernah ia melihat bintang jatuh. Sebenarnya, Debb bukan tipe orang yang percaya dengan mitos. Tapi, apa salahnya mencoba? Lagipula, demi Tuhan, ia ingin melihat keindahan bintang jatuh.

"Iban, hati-hati." Henokh mengingatkan.

Debb harus buru-buru melihat ke arah langit sebelum bintang jatuhnya menghilang. Ia sudah ada dalam posisi aman. Debb memutuskan bahwa ia sudah boleh mendongak ke atas sambil menekan kaki kiri ke pijakan yang menurut perhitungannya sudah dijangkau oleh kakinya.

Bintang jatuh.

Hatinya sudah akan mendaraskan sederet permohonan ketika Debb menyadari bahwa kaki kirinya menginjak udara kosong, padahal ia sudah terlanjur memindahkan bobot tubuhnya ke sebelah kiri.

Terlambat.

Grafitasi membantu berat tubuhnya untuk memaksa Debb melepaskan pegangan dari akar pohon yang ia genggam. Ia tak bisa bertahan selain berteriak panik, menyadari tubuhnya sudah meluncur di sisi tebing.

"Aaaaa ..."

"Ibaaannnn ...."

***
>>> to be continued >>>
***


Fiuh!

Rasanya ingin mencium diri sendiri karena bisa menyelesaikan dua bab. Hehe. Rencana awalnya sih, cuma satu part. Tapi, cerita bintang-bintang ini terkesan terlalu panjang untuk dipaksakan dalam satu part. Dibuat dua part deh, akhirnya.

Hope you guys like it, as I had a great time writing it.

Please, please, please Vote ... share ... dan kasih komentar kamu tentang Bab ini.


Kisses,
Fernando Simandalahi

P.s.
Temukan kata-kata keren sesuai mood kamu di instagram: [at]fernandosimandalahi.

HENOKH - My (Not So) Hot Pariban - ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang