Awan menarik ulur surya, mamancing binar cerah guna bangkit menyinari bumi. Pagi berjalan lambat, masih teramat gelap sekarang. Matahari enggan singgah menapak langit. Pagi ini Rani akan memenuhi kewajiban utama. Kewajiban Layak seorang murid, menuntut ilmu di sekolah. Kendaraan umum adalah alternatif untuk hari ini.
***
Kalah telak dengan laju gerbang utama sekolah yang mulai tertutup. Menantang waktu adalah kesalahan. Inisiatif terpuruknya, mendebat penjaga sekolah dan imbasnya diusir. Tetap saja tidak boleh masuk. Hanya berjongkok di depan gerbang yang terealisasi dari datang ke sekolah.
Berbagi pandang dengan kakak kelas bukanlah hal baru. Namun, kali ini sedikit berbeda. Biasanya, setiap tatapan yang Rani tujukan tak akan ada yang menyadari. Lalu kenapa orang itu bisa.
Tak berkutik, menyampahkan muka Rani laksanakan. Pemuda itu berlalu, berbicara dengan penjaga sekolah.
Rani menghampiri, berpikir bisa masuk bersamanya. Harapan itu tandas tak membekas. Mereka digiring ke ruang BK karena berulah.
"Ini salahmu," kata si pemuda.
"Hei, apa yang kau pikirkan hingga menyalahkanku?!" balas Rani.
"Berkat kau sekarang kita di sini. Entah hukuman apa yang menantiku." Pemuda bermahkota legam melirik, diselubung aura gelap menyeramkan.
"Ini bukan salahku sepenuhnya, kau juga!"
"Jangan berteriak di telingaku gadis gila. Aku sedang bernegosiasi dengan penjaga, lalu kau datang menyambar dengan kalimat bodohmu itu. Dan sekarang kau balas memakiku. Di mana rasa hormatmu pada kakak kelas?"
Rani tercenung. "Ka-kak kelas?"
"Menurutmu apa."
***
Kesialan berpihak pada Rani. Menurut ramalan OhaAsa hari ini, keberuntungan Rani nomor empat setelah zodiak Leo.
"Kenapa aku dapat bagian kloset. Sedangkan dia di bagian wastafel."
"Kau tidak pernah belajar." Pemuda itu menggosok tepi wastafel.
"Jangan sok tahu. Kita bahkan tak saling mengenal sebelum hari ini." Ketus Rani.
"Siapa bilang aku kenal kau. Mana ada orang yang mau berteman dengan gadis gila sepertimu." Si pemuda menyindir tajam.
"Kau terlalu angkuh tuan sok pintar. Tundukan kepalamu. Orang sepertimu tak layak berada di sini! Hanya gadis bodoh yang menyukaimu!" kemarahan Rani bangkit, sikat wc melambung ke arah pemuda itu.
Melayang tapi berhasil ditaklukan dengan menyingkir. Ulah Rani kali ini tak termaafkan. Sanksi apa pun nampak tak berpengaruh pada Rani.
"Rani! Ikut bapak ke ruang BK sekarang!"
Bak kelinci tersambar kilat petir, Rani sangat gegabah. Kenapa ia bisa terpengaruh ucapan tuan sok pintar itu?
Ia berpapasan dengan pemuda itu. "Gadis ceroboh, terpancing dengan kalimatku."
Rani berniat menggilas mulut si pemuda setelah ini.
***
Sekembalinya Rani ke toilet. Pemuda surai gelap membersihkan semuanya. Semua titik, sudut, dan tiap bagian toilet.
"Kau. Kau yang membersihkan semua ini?" Rani hanya ternganga, menatap detil bagian-bagian toilet.
"Bagaimana sidangmu?"
"Cukup rumit. Aku harus membersihkat toilet selama satu minggu." Rani menunduk. Menghembus napas panjang.
"Aku selesai," pemuda lebih tua setahun dari Rani beralih. "Selamat atas hadiahmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.