Authour POV
Kini malam semakin larut. Namun Rani enggan untuk berpindah dari pijakkannya sekarang. Mematung ditepi balkon pada kamarnya menikmati semilir angin yang menerpanya.
Malam ini Rani ditemani chandra yang bercahaya disana. Memperhatikannya sedari tadi, memandangnya tanpa bosan dan kejenuhan.
"Andai waktu bisa diputar." Rani mengangkat tangan kanannya dibuka lah lebar-lebar jemarinya yang lentik, mengarahkan pada sang rembulan sehingga seluruh cahayanya hilang dari padangannya.
"Putarkan lah waktu untuk ku, dimana aku tidak pernah mengenal dirinya. Dan tidak pernah berjumpa dengannya-." Ditengah permohonannya terlintas potongan kejadian dimana kebersamaan ia dan Zarbika yang saling memarahi kemudian berganti menjadi tawa bahagia. Tanpa sadar ia menyunggingkan senyum.
Namun, semua barubah 180° menjadi senyum mencemooh ketika ia teringat kajadian di taman belakang sekolah.
Dalam sekejap jemarinya mengepal dengan sangat erat. Tidak ada rongga sedikit pun diantara jemarinya, membuat jari-jarinya kemerahan. Menahan emosi yang tidak bisa ia lampiaskan.
"Arghhh..." Rani menahan teriakannya. Menahannya diujung kerongkongan. Ingin rasanya ia berteriak sekuat mungkin. Sekencang mungkin. Berteriak bahwa ia membenci Zarbika. Namun ia enggan melakukannya. Perlahan air yang terbendung kini kian jatuh kembali, berawal dari setetes lalu berubah menjadi isak tangis yang pedih.
Rani kini sadar bahwa ia telah jatuh. Jatuh yang selalu ia elak 'kan selama ini. Jatuh yang selalu ia hindari. Jatuh yang akan membuat seseorang melupakan seribu orang dan berfokus pada sang pujaan. Jatuh hati.
***
Menghadap ke kiri menghadap ke kanan, membolak-balikkan badan sedari tadi menyamankan posisi untuk pergi ke dunia mimpi.
"Ah." Pekik Zarbika karna kini ia tak kunjung bisa terlelap.
"Shit." Umpat Zarbika yang akhirnya beranjak dari kasurnya dengan mengacak-acak rambutnya yang hitam legam melangkahkan kakinya menuju dapur dibawah untuk mengambil minuman dingin.
Zarbika membuka kulkas. Mencari minuman dingin yang selalu ia sediakan didalam kulkas untuk keadaan seperti sekarang.
Banana milk. Minuman yang selalu ia stok di rumah. Tiada hari tanpa minuman favoritnya. Ia mengambil satu botol banana milk.
Zarbika melangkahkan kaki menuju ruang tengah dimana ia akan menonton tv sambil menikmati minumannya.
Zarbika duduk di sofa tepat didepan televisi lalu diraih lah remote tv yang berada di meja tepat didepan dimana ia duduk sekarang.
"Bukan. Bukan. Bukan." Zarbika menekan-nekan tombol remote. Mengganti-ganti saluran televisi yang membosankan.
"Ga ada yang seru." Ucapnya setelah menekan tombol off .
"Gua minum aja abis itu tidur dah." Zarbika membuka banana milk lalu mulai meminumnya secara perlahan.
"Selalu enak seperti biasanya." Ucapnya setelah bersendawa.
"Dan sekarang gua mau tidur." Ucapnya kepada dirinya sendiri lalu beranjak pergi kembali pada kamarnya yang berada dilantai dua.
"Shut up. Kita putus!"
Zarbika mematung diantara tangga. "Rani." Bisiknya dalam heningnya malam.
"Menjauh dari gua."
Zarbika sontak melihat ke sekeliling. Melihat ke bekalang, ke kanan, ke kiri dengan secepat kilat. "Rani." Ucap Zarbika kembali.
"Gua benci lu."
"Shut up! Kita putus."
"Menjauh dari gua."
"Raib."Suaranya terngiang-ngiang dikepala Zarbika. Bak kaset yang diulang-ulang suara Rani memenuhi isi kepala Zarbika.
"Gua kenapa?" Ucap Zarbika keluh setelah suara yang ada menghilang secara perlahan, menaiki satu demi satu tangga menuju kamarnya untuk beristirahat. Mengakhiri malam nun panjang ini dengan memejamkan mata, tuk melihat hari esok yang menantinya.
***
Kemarin malam adalah malam yang sangat sendu. Malam yang sangat panjang yang telah ku dilewati seorang diri tanpa siapa pun yang mengetahuinya. Aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan menyapa, berbicara, bertatap muka, atau pun melihat seorang Zarbik Ibra dihadapan ku.
"Menghilanglah. Menghilang. Jangan pernah. Jangan. Pernah.Berada dihadapan ku atau pun didekat ku." Aku melihat diriku yang lain dibalik pantulan cermin setelah menyegarkan tubuh ini di pagi yang baru. Pagi yang menghapus satu nama dalam hidup ku. Membuangnya sejauh mungkin. Sejauh sampai tidak mengingatnya sama sekali.
"Rani! Ayo turun! Sarapan!" Teriak Putri di bawah tangga memanggi Rani.
"Iya ma!" Sahut ku menyamai volume suara agar terdengar oleh mama yang berada di bawah.
"Oke Rani March! Sekarang kamu harus semangat. Semangat. Jangan hiraukan masalah nun sepele. Sekecil biji wijen." Aku menyemangati diriku sendiri pada pantulan cermin. "Kamu pasti bisa!"
.
.
.
.Thank you for attention ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.