Sepuluh tahun kemudian...
"Lihat Abi sudah bisa berjalan Stiz." seruku menuntun Abimayu berjalan mengarah pada Stiz yang tengah duduk bersantai memperhatikanku sedari tadi.
Stiz berdiri dari posisi duduknya dan mulai berjongkok meretangkan tangan siap menangkap Abimayu yang mulai sampai.
"Come on beby come on," Stiz memberi semangat pada Abimayu. Aku hanya tertawa memperhatikannya yang begitu atraktif menyabut Abimayu.
Hup. Abimayu datang kepelukan ayahnya. Stiz mengangkatnya tinggi-tinggi. "Jagoan ayah memang hebat," Stiz tersenyum lebar memperhatikan Abimayu yang tertawa di atas sana.
"Jangan tinggi-tinggi, nanti dia jatuh Stiz." tutur ku takut terjadi apa-apa dengan Abimayu.
Stiz mulai menurunkannya dan menggendong Abimayu di bahu. "Baiklah baik."
"Semoga dia selalu sehat." aku memperhatikan Abimayu yang tertawa ria di atas sana.
"Dia selalu sehat karna auty nya yang selalu ada di dekatnya." ucap Stiz dengan nada kesedihan.
"Ayolah Stiz, jangan begitu. Clara sudah tenang disana, lihat lah Abi yang semakin besar. Dia adalah masa depanmu Stiz." aku berusaha menyemangatinya. Kehilangan orang yang dicintai memang menyakitkan. Namun, hidup harus tetap berjalan tanpanya bukan?
"Ya lu benar Ran, thanks." tutur Stiz diselingi dengan senyuman.
"Yourwelcome." balasku memamerkan deretan gigi. Menyengir bodoh untuk menghiburnya.
"Wajah bodoh itu lagi." cemoohnya dengan tawa.
"Yup bodoh." aku hanya tertawa mendengar cemoohnya. Biarkan saja ia menganggapku apa. Hal bodoh yang aku lakukan hanya untuk membuatnya terhibur. Menghilangkan rasa sedihnya.
"Gua ke ke kamar dulu ya," pamitku pada Stiz yang masih bermain dengan Abimayu. Stiz hanya memberi acungan jempol menadakan ia mendengar apa yang aku bicarakan. Aku berjalan menuju kamar yang berada di lantai dua.
Kulihat benda persegi transparan yang diberikan Stiz minggu lalu. Awalnya aku tidak mengerti akan penjelasannya. Cerita yang tidak pernahku dengarkan.
"ZR." gumamku membaca tulisan tangan yang tertulis di dalamnya. Kurasakan perlahan air jatuh membasuh pipi. Aku kira atap kamarku yang menjatuhkan. Namun sayangnya itu adalah perbuatanku sendiri. Aku menangis.
Sudah berkali-kali aku melihat video yang ada disana selama seminggu ini. Dan rasa sakit kepala selalu menghujat tajam, apa aku tidak boleh mengingatnya? Atau memang Tuhan tidak menyetujui aku mengingatnya yang tulus mencintaiku.
Setiap rasa sakit itu datang aku selalu dilarikan ke rumah sakit oleh Stiz. Tapi Stiz sepertinya mengerti mengapa aku berbuat hal yang sama seminggu ini. Ia tidak melarang atau mencegahku.
Lakuin apa yang menurut lu benar, gua akan selalu ada disaat lu butuh bantuan gua. Jangan ada rahasia diantara kita, oke. Ada rasa aman disaat Stiz berkata seperti itu.
Stiz adalah pengganti kedua orang tuaku disini. Hanya dia yang kumiliki. Aku ingat disaat dia memelukku sangat erat di pemakaman papa mama. Menangis tanpa henti dipelukannya.
"Ra," panggil suara barito di balik punggungku dengan sigap aku menghapus air mata yang tersisa dan buru-buru menutup DVD yang sedari tadi kulihat
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.