Aku terbangun dari tidurku yang pulas, dikarenakan suara ricuh ditambah guncangan yang dibuat oleh Zarbika.
"Oiii... Gorila bangun, jangan tidur mulu kek kebo." Zarbika membangunkan Rani dengan cara mengguncang bahu Rani ditambah suara dengan volume yang kencang.
Aku membuka mata kaget dan langsung bangun dengan posisi duduk diatas kasur.
"Nah gitu, bangun pagi. Jangan molor mulu lu, nanti gak bangun-bangun baru tau rasa." ledek Zarbika tanpa ada rasa bersalah setelah membangunkan orang yang sedang sakit dengan cara seperti orang yang dikejar kantip.
Aku memberikam tatapam tajam padanya. "Eh lu itu bego, baka, atau idiot si?! Bisa gak lu bangun gua dengan cara yang etis."
"Hm... Keknya gua gak ada dikriteria itu semua," sambil mengangkat bahunya. "Dan mungkin itu kriteria lu," lanjutnya sambil menunjuk Ke arah Rani.
"Arghhh... Jengah gua sama lu," ucapku sambil menarik selimut sampai menutupi ujung ubun-ubun.
"Eh. Eh. Eh lu mau ngapain," cegah Zarbika menarik selimut Rani. "Udah susah-susah gua bangunin malah mau tidur lagi."
"Ihhh rese lu! Gua masih ngantuk." bela Rani sambil menarik selimutnya kembali.
"Innalillahi," ucap Zarbika sambil mengangkat tangan, seperti orang yang sedang berdoa.
Aku menurunkan selimut, ingin melihat apa yang sedang dilakukan Zarbika. Hah ia sedang menutup mata dan mengangkat kedua tangannya bak orang yang sedang berdoa.
Aku langsung kembali duduk. "Eh jangkung! Ngapain lu kek gitu? Gua belom koid ya." hardik ku padanya.
Ia membuka mata dan menurunkan tangannya. "Makanya bangun, jangan tidur mulu." aku mendengus kesal dan memberikan tatapan sinis padanya.
Ia menyodorkan semangkuk bubur ayam dan segelas air mineral di atas nampan. "Ni makan, habis itu minum obat."
Ku raih nampan yang ia berikan dengan tatapan yang masih sinis. Ia melihatnnya dengan tatapan datar seperti biasanya.
"Gua keluar bentar ya." katanya sambil melangkah.
"Mau kemana?" tanpa pikir panjang aku menanyakan hal yang termasuk bodoh. Is kenapa gua ngomong gitu si, kenapa gua malah gak rela kalo dia pergi? Gua kenapa? Gak mungkin gua punya perasaan sama manusia kek dia. Dalam hati ku mengrutuki diri ku sendiri.
"K-E-P-O." ucapnya dengan nada
mengejek sambil berlari meninggalkan ku keluar dari kamar. Aku hanya terpengah dengan jawabannya dan melanjutkan sesi makan ku yang tertunda.***
Zarbika Pov
Kini aku berjalan meninggalkannya, dan sejenak untuk tidak mengawasinya. Tapi tidak seratus persen karna aku telah meletakkan kamera pemantau dikamarnya untuk mengawasi kegiatannya.
"Bu saya Zarbika dari kelas dua belas mipa satu ingin menyampaikan amanat dari bapak Sakti yaitu orang tua dari Rani kelas sebelas mipa dua." jelas Zarbika yang kini berada di ruang guru, dan berdiri dihadapan wali kelas Rani.
"Oh iya, tadi pak Sakti sudah telfon, iyaya kamu bisa pulang sekarang. Jagain Rani ya nak Zarbika, ibu doakan semoga ia lekas sembuh dan bisa bersekolah kembali." tutur bu Ita wali kelas Rani, dan tersenyum pada Zarbika.
"Iya bu, aamiin. Kalau begitu saya permisi ya bu." pamit Zarbika lalu mencium punggung tangan bu Ita.
******
Author povRani sedang asik memainkan jemarinya pada layar ponselnya. Melihat-lihat kabar terbaru yang sedang terjadi di sosial medianya.
"Wah si Syifa lagi live di instagram? tumben. Biasanya juga engga dah." Rani yang penasaran apa yang sedang Syifa lakukan mengklik live dari Syifa.
Disana tak ada wajah Syifa, hanya ada lorong yang panjang dengan dibaluti warna tembok yang putih. Ini dimana ya? Batin Rani. Rani kembali melihat dengan seksama memerhatikan secara detail apa saja yang ada dilayar ponselnya. Ia melihat lagi bahwa Syifa seperti sedang mencari sebuah ruangan.
Rani masih fokus dengan ponselnya tak berkutik dari tempatnya berada. Syifa membuka satu ruangan disana ada seorang gadis yang tengah duduk diatas tempat tidurnya memakai pakaian khas rumah sakit. Rani mengerjapkan matanya beberapa kali melihat apa yang tengah ia saksikan sekarang. Itu? Bukannya gua ya? Apa cuman perasaan gua aja? Rani bicara dengan dirinya sendiri lagi.
Syifa semakin dekat dengan gadis itu perlahan, semakin dekat, semakin dekat. Rani dibuatnya semakin fokus, fokus kedalam video itu. Kini jarak Syifa dan gadis itu hanya beberapa langkah, Syifa berhenti sejenak memperhatikan gadis yang ia temui sekarang. Live Syifa diakhiri dengan rasa penasaran dan kecewa dari Rani.
"Ran!" bentak seseorang. Yang membuat Rani tersentak dan hampir mambuat ponselnya jatuh.
Rani melihat kearah orang yang membentak. Ia tak begitu terkejut dengan orang yang membentaknya, karna ia sudah tau kebiasaan dari sahabatnya itu.
Syifa melangkah dengan cepat kearah Rani, dan langsung menubruk tubuh Rani.
"Buset dah, truk tronton nabrak gua." Syifa memeluk Rani dengan sangat erat, sampai Rani tak bisa bernafas. Rani menepuk-nepuk punggung Syifa agar ia melepaskan pelukannya.
"Eh iya, sorry kelepasan gua Ran. He. He. He." ujarnya setelah melepaskan pelukannya.
"Iyeee..."
"Oiya btw lu sendiri disini?"
"Engga rame-rame gua disini." ujar Rani. Syifa melihat sekeliling dan ia tak melihat seorang pun selain Rani dan dirinya.
"Engga ada siapa-siapa Ran?" jawab Syifa dengan raut muka orang yang kehilangan jejak.
"Nah itu-" ucapan Rani terpotong karna Zarbika telah kembali dan membawa nampan yang berisi makanan dan obat-obatan.
Zarbika memperhatikan kedua gadis yang awalnya berbincang dan sekarang diam, tak ada yang bersuara sama sekali hanya melihat ke arah Zarbika.
Zarbika yang merasa diperhatikan tak memperdulikan, ia berjalan menuju Rani dan menyerahkan nampan itu. "Makan." ucap Zarbika dengan nada perintah.
Rani menuruti perintah Zarbika dan memulai memakan makanannya. Zarbika melihat ke arah Syifa yang masih berdiri di samping Rani. "Lu bisa nunggu di situ," sambil menunjuk sofa yang berada di belakang Syifa. "Jangan ganggu dia makan."
"I-iya kak." jawab Syifa kikuk sambil memutar badan dan duduk di sofa yang ditunjukkan Zarbika.
Zarbika meninggalkan mereka berdua, ia pergi ke dalam toilet yang berada di kamar rumah sakit Rani. Rani hanya melihat Zarbika yang menuju toilet lalu melirik Syifa yang menunduk melihat kedua sepatunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.