Stiz Pov
Senyum mengembang selalu ku tampil setiap melihat dirinya yang telah terbangun dari tidur panjang. Secercah cahaya telah kembali hinggap dikeseharianku. Walaupun aku akan selalu kalah lagi pasti saat berdebat dengannya, tapi tak apa. Aku akan menikmati.
"Lu sekarang jadi pengangguran Stiz?" aku yang awalnya tersenyum memperhatikan Rani seketika menautkan alis. Bingung dengan pertanyaannya. Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pengangguran? Aku pemiliknya. Bukan pekerja. Apa gunanya memiliki banyak pekerja jika aku selalu turun tangan atas semua permasalah disana?
"Bangkrut." jawabku asal. Biarkan saja ia berfikir, aku akan sedikit melatih otaknya untuk berkerja.
"Bangkrut!" teriaknya tiba-tiba yang langsung menyingkirkan makan malamnya dan beralih menatapku.
"Kenapa bisa bangkrut? Lu ketipu? Bodoh." ucapnya mencemooh tanpa berfikir. Sepertinya otak yang ada di dalam sana kekurangan pelumas untuk menjalan roda perputaran. Dasar otak udang.
"Tidak." jawabku dengan kesal.
"Terus?"
"Mau aja lu gua kibulin. Gua bangkrut? Sepertinya tidak akan pernah terjadi, karna gua lebih pintar dari lu." tunjukku padanya.
"Gua?" tanya dengan menunjuk dirinya sendiri.
"Ya lu." aku menyentil keningnya. Tenang, sentilan yang ku lakukan tidak akan menambah lukanya. Itu hanya akan membuat tanda kemerahan seperti orang India di tengah dahi. Aca aca nehi nehi.
"Au." gaduhnya yang langsung menekan dahi dengan kedua tangannya.
"Sakit payah!" makinya. Aku hanya tertawa menanggapi apa yang ia lontar kepadaku. Itu cukup menghibur untuk malam yang hanya ada kami berdua.
Rani melengos ke arah lain dan memulai makan malamnya kembali tanpa melihat ke arahku lagi. Baiklah. Ia sedang merajuk sekarang. Ini akan membutuhkan waktu untuk membujuknya kembali.
"Ran," panggilku ragu-ragu. Ia menjawab dengan dehaman tanpa berpaling ke arahku.
"Hm..." aku berfikir apa yang bisa ku lakukan untuk menarik perhatiannya lagi.
"Mau makan apa lagi?" aku mencoba menawarkan apa yang ia inginkan. Mungkin akan berhasil menarik perhatiannya kembali.
"Nothing." jawabnya singkat. Bagus, ini akan berlangsung sangat lama. Aku mulai frustasi dalam aura yang diam diam ini. Ayolah. Ia sudah bangun tapi yang aku dapatkan hanya keheningan. Argh. Tidak ada gunanya.
"Stiz," aku yang menunduk lesuh menatap lantai rumah sakit perlahan mengangkat pandangan ke arah Rani. Ia sudah selesai dengan makan malamnya dan sekarang sedang sibuk dengan ponsel yang ada digenggaman tangannya.
"Gua mau Cornetto Silver Queen." lanjutnya tanpa berpaling ke arahku.
Semangat yang awalnya patah kini kembali utuh. Tanpa sepatah kata aku langsung melesat ke toko serba untuk membeli pesanannya. Daripada ia Berubah pikiran, lebih baik aku melaksanakan permintaannya.
***
Aku masih tidak mengerti dengan Syifa, kenapa ia bercerita tentang Zarbika? Sedangkan ia tau jika aku tidak mengenalnya. Aku tidak mengenalnya dan bagaimana mungkin aku bersedih seperti yang ia katakan tadi. Ini sungguh aneh.
Aku membuka semua akun sosial media. Ntah kenapa semua terasa baru, dan ponsel yang ku gunakan sepertinya keluaran terbaru. Aku menjelajahi semua fitur yang ada. Ku lihat isi dari galeri. Kosong. Tidak ada satupun gambar disana. Sepertinya aku harus bertanya pada Stiz, ia pasti tau kenapa dan bagaimana ini terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.