Lebur 2

27 3 0
                                    

Terhempas

Kamu lah yang aku ingin
Kamu lah yang akan menemani ku
Kamu lah yang membawa perasaan ku terbang melayang
Dan pada akhirnya kamu juga lah yang menenggelam paksa perasaan itu.

~Rani.

***

Apa guna aku tetap memikirkannya, dia sudah tidak ada hubungannya denganku lagi. Mengapa aku peduli lagi dengan dia yang telah menusukku dari belakang dengan teramat dalam. Tidak berguna. Aku akan melupakan aaa... bukan tapi benar-benar akan melupakannya. Menghilangkannya dalam hidupku ini. Menghapus semua kisah kebersamaanku dengannya.

"Dor!" Syifa mengguncang tubuh Rani dari belakang sehingga membuyarkan semua pikirannya tentang Zarbika.

"Sialan lu Syif." Cibirku pada Syifa yang hanya merespon dengan cengiran tanpa berdosa dan telah duduk manis disampingku pada kursi di pinggir lapangan basket.

"Lagi linglung ya lu." Tanya Syifa yang kini menolehkan kepalanya menghadap pada Rani.

"Engga." Jawabku dengan tatapan memperhatikan ring basket yang berayun-ayun tertepa oleh hembusan angin. Dan tanpa kulihat ke arahnya nampak banyangnya yang kini sedang menatapku dengan intens.

"Terus?" Syifa kembali mempertanyakan yang sepenuhnya belum Rani jawab. Mungkin lebih tepatnya dia tidak puas dengan jawaban singkat dari Rani yang masih janggal.

"Apa?"

"Yehhh... ditanya malah nanya balik, gimana sih lu? Kayaknya lu benaran linglung deh Ran." Syifa jengkel sendiri dengan sifat bawaan dari Rani yang telah melekat sedari dulu yaitu 'pura-pura tidak tahu.'

"Hmm jawab apa? Emang lu nanya ya?"

"Ga. Gua ngedumel tadi. Ada orang pura-pura baik-baik aja padahal jiwanya lagi berkelana."

"Serem ya."

"Lu itu elu Rani March." Jelas Syifa yang semakin jengkel dengan sikap acuh dari Rani.

"Gua?" Aku menunjuk diriku sendiri lalu menoleh ke arah Syifa yang tengah menatap dengan tatapan siap melahap ku hidup-hidup.

Aku menelan ludah beberapa kali. Melihat tatapan Syifa yang tidak dari biasanya selalu membuat ku takut akan pada dirinya. "Bi-biasa aja dong li-liat-liatinnya." Ucapku gugup.

"Eh iya, sorry kebawa perasaan gua." Syifa mengedipkan matanya beberapa kali mengatur agar tidak menatap Rani dengan tatapan yang akan membuatnya takut.

"Udah?" Tanya Syifa kepada Rani yang sedari tadi memperhatikan.

"Udah. Ga bisa ngontrol apa lu. Tatapan kanibal lu itu? Takut gua tau."

Syifa cengengesan menanggapi ucapan Rani yang mengingatkan akan sikapnya itu. "Ya sorry, maklum kan dari dalam rahim nyokap gua kayak gini mau diapain." Syifa membela dirinya dengan diselingi cengengesan.

"Udah sampai mana tadi kita?"

"Pulo gebang."

"Tempat pembuangan sampah dong."

"Iya. Kan lu mau gua temuin dengan saudara lu yang telah lama ilang." Ledekku pada Syifa yang kini telah menekuk wajahnya.

"Jahat. Apa yang telah kamu lakukan ke aku itu jahat. Kamu jahat Rangga."

"Saya bukan Rangga." Tutur ku mengikuti alur ceritanya.

Aku menyodorkan tangan. Berniat bersalaman dengan Syifa seperti seseorang yang baru pertama kali bertemu. Syifa menggapi dengan menyodorkannya juga. "Nama saya Entis Sutisna. Dipanggil Bujang." Ucapku sambil mejabat tangannya lalu menaik turunkan alis secara bergantian.

Seketika tawa Syifa pecah, menutup mulutnya dengan kedua tangannya takut para rombongan serangga hinggap disana.

"Kenapa tante? Kok ketawa? Tante sehat?"

"Au ah. Bodo Ran. Gua ga peduli." Syifa masih tertawa terbahak-bahak.

Setidaknya aku masih memiliki satu makhluk begitu setia menemani ku disaat ini dan lalu ataupun nanti. Terimaksih telah menjadi teman yang selalu ada Syif untukku, selalu bisa membuat ku tertawa dengan lolucon bodohmu itu.

"Kenapa lu?" Syifa menjadi heran dengan tatapan Rani yang berubah, menatapnya dengan penuh arti didalamnya.

"Hm. Engga papa. Gua cuman baru sadar," aku menggantung kata-kata ku. Menunggu dia untuk bertanya.

"Apa?" tanya Syifa akhirnya.

Aku berdiri dari kursi lalu mendekatkan wajah ku pada telinganya. Dan berbisik. "Lu jelek." bisikku lalu menjauh beberapa meter darinya.

"APA!" teriak Syifa menggelegar kepenjuru lapangan. "Sini lu. Gua kasih pelajaran bermakna buat lu."

"Oh, no thanks madam. Jadwal saya padat, jadi saya izin pamit ya madam. See you madam." aku melangkah pergi meninggalkan Syifa yang masih berdiam diri disana.

"Eh tunggu," Syifa berlari kecil menyusul Rani yang pergi terlebih dahulu, mungkin lebih tepatnya meninggalkannya seorang disana seperti seorang jomblo yang meratapi nasibnya.

***

Zarbika POV

Aku memperhatikannya sedari tadi disana. Menatap tanpa berkedip. Tanpa berpaling seinci pun. Apa yang dia pikirkan disana?

Baru saja kaki ini akan menghampirinya, teman terbaiknya sudah muncul tiba-tiba disana. Aku urungkan niat untuk menghampirinya. Mungkin dia akan lebih nyaman berbagi cerita dengan Syifa.

Aku kembali memperhatikan dari jarak yang cukup jauh dari tempatnya ia duduk bersama Syifa. Apa aku harus menghampirinya?

Aku melangkah maju untuk menghampirinya. Namun detik berikutnya melangkah mundur. Maju. Mundur. Maju. Mundur.

"Arghhh. Jangan labil dong lu kaki. Maju. Maju. Mundur. Mundur. Emang lu pikir gua syarani apa!?" Aku memukul kakiku beberapa kali. Menyalahkannya atas tindakannya yang labil, tunggu sebentar, kan yang menghandle dan mengendalikan seluruh tubuhkan me? Kenapa malah nyalahin kaki sendiri? Apa aku sudah tidak waras lagi? Aaa... peduli apa dengan diri sendiri, sekarang yang harus diperhatiin itu Rani bukan Zarbika. Ya Rani bukan Zarbika.

"Came on Zarbika Ibra jangan jadi pengecut. Pecundang. Lu itu laki-laki. You can do it." Aku menarik nafas panjang lalu membuangnya secara perlahan. "Oke gua siap."

"Lah? Mana? Kok ilang?" Dikursi yang tadinya berisi dua anak remaja perempuan kini sudah tidak ada ditempatnya. Mereka telah pergi, disaat aku berdebat dengan diriku sendiri

"Shit." Aku menyesal melewatkan kesempatan bisa berbicara dengan Rani.

Penyesalan memang selalu datangnya diakhir. Bisakah penyesalan datang diawal? Jika bisa aku menginginkannya agar hidupku tidak penuh penyesalan yang mendalam.

Avontur RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang