Tak ada yang spesial hari ini, semua berjalan seperti biasanya. Mencari ilmu dan belajar untuk masa depan yang yang lebih baik. Melakukan aktivitas layaknya seorang pelajar pada umumnya.
"Baiklah anak-anak,hari ini ibu akan mengadakan ulangan matematika. Dan sekarang semua siswa diharapkan untuk mempersiapkan alat tulisnya masing-masing." Ujar bu Wati yang memberikan deklarasinya yang membuat semua siswa dikelas ku terpengah dengan perkataanya.
"Duh gimana nih?" Panik Syifa sambil membolak balikkan catatannya. Karna ia belum mengerti materi yang telah diberikan dua minggu yang lalu.
"Sabar ya." Celetuk ku santai padanya, dengan posisi tangan kanan menopang kepala mengarahkan pandangan pandanya.
"Santi banget lu! Lu emang udah ngerti semua apa?" Tanyanya sinis, masih dalam posisi membuka buku catatannya.
"Hm. Engga juga sih, tapi gua udah optimis."
Pandangannya langsung terahlikan padaku. "Gils gils hebat lu yeee, amal dikitlah ama gua." Ucapnya seperti kucing yang meminta makanan pada tuannnya.
"Gampang itu mah." Kataku sambil mengacungkan jempol.
"Baiklah anak-anak sekarang kalian, kumpulkan semua buku kalian didepan kelas sekarang." Ucap bu Wati. Tanpa aba-aba semua siswa berdiri dan mengumpulkan buku mereka secara tertib.
***
···jam istirahat···
Kududuk kursi kantin yang paling ujung, karna disini tak terlalu ramai dilalui siswa-siswi. Aku hanya memperhatikan siswa-siswi yang sedang melakukan aktivitas. Seperti bergurau, memesan makanan, mencari tempat duduk dan masih banyak lagi aktivitas yang lainnya.
Dorrr...
Syifa menepuk punggungku dengan sekuat tenanga, sepertinya dia memiliki dendam pribadi padaku. Ini bukan seperti tepukan tapi lebih seperti pemukulan KDRT."Lu!" Hardikku padanya, sambil bersiap untuk membalasnya.
"Wets..." ucapnya sambil menjauh dariku. "Sorry sorry, maafkan hamba yang mulia." Ucapnya bagai hamba yang meminta ampunan pada seorang maharaja.
"Takkan ku maafkan kau," kataku berakting bagai seorang kaisar. "Tapi ada syarat yang harus kau penuhi jika ingin ku ampuni wahai hambaku."
"Hamba siap yang mulia, menerima persyaratan yang mulia berikan." Ucapnya dengan sikap seperti hamba.
"Oke sekarang lu harus traktir gua sekarang!"
"Hah!?"
"Udeh cepet, beliin gua makanan sana! Gua udah laper nih." Kataku sambil mendorongnya untuk membeli makanan.
"Iye iye." Ucapnya. "Oke beb, gua tunggu disini ya."
"Lah!? Temenin gua lah!" Sambil menarikku untuk berdiri. "Ihhh... maga ah gua." Kataku enggan untuk berdiri dari kursi.
"Maga? Apaan tuh?"
"Malas gerak, hahaha." Tawaku lepas karna ia langsung melepaskan tanganku dari tarikannya. "Bodo amat bodo!!!" Ucapnya sambil meninggalkan ku untuk mencari makanan untuk kami.
Kuperhatikan Syifa dari kejauhan, dia tampak kesal saat melihat balik kearahku. Aku tersenyum simpul, karna berhasil membuatnya kesal.
"Ehm." Seseorang berdeham belakangku, wait! Bukan dibelakang lebih tepatnya sudah duduk bersebelahan disampingku?
Kuputar badan 180 derajat, kulihat seorang siswa dengan santainya dan tanpa permisi ia makan dimeja yang telah kutempati terlebih dahulu.
"Ngapain lu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.