"Ga usah sedih gitu." ucap Stiz disela-sela menyetirnya.
"Engga kok." elakku yang kini melihat kedepan. Tidak memandang kebelakang memperhatikan Zarbika lagi melalui kaca spion. Sesudah meninggalkan Zarbika di halte seorang diri aku merasa tidak bisa merelakannya. Ia terlihat kecewa saat aku menolakkan ajakkannya tadi. Aku bukan menolaknya tanpa sebab. Tapi aku sudah terlanjur menghubungi Stiz tadi.
"Ga usah galau." Stiz mulai berbicara lagi di tengah rambu yang menunjukkan lampu merah.
"Apa si lu. Jadi supir tuh ga usah banyak ngomong. Pandangin aja tuh aspal."
"Mati together dong nanti kita." Stiz mulai melaju mobil. Ia berbicara dengan pandangan yang tetap menatap jalan raya. "Lu mau kita selamanya gentanyangan dijalanan gitu. Jadi arwah penasaran." lanjutnya tetap diposisi yang sama.
"Ogah. Lu aja. Masa depan gua masih panjang."
Stiz langsung menengok kearah aku sekilas dengan tatapan terkejut lalu beralih kembali pada jalan raya. "Lu kira masa depan gua tinggal besok gitu?"
"Yup." jawabku sambil memainkan game diponsel sambil mengangguk-angguk. "Mungkin bisa diperpanjang sampai masa hukuman lu habis. Sampai bulan depan, setelah itu. Say good bye." aku tertawa diakhir kalimat hingga mempraktikan salam perpisahan padanya. Melambaikan tangan.
"Whatever." katanya mengakhiri percakapan kami.
Disepanjang perjalan aku hanya memainkan ponsel melihat-lihat sosial media yang ada, sebenarnya membosankan saat melihatnya. Tapi itu lebih baik daripada melihat Stiz yang sibuk menyetir.
"Dah sana. Cuci muka gosok gigi tidur." Stiz mengusirku dari mobilnya tepat di depan rumah ku. "Woles. Gua juga ga mau abadi di mobil lu kali." aku langsung melangkah keluar dari mobilnya. Kututup pintu mobil secara kasar.
"Wo-" ia teriak didalam mobil yang kedap suara. Samar-samar aku mendengar dia mengumpat. Perlahan kaca mobilnya turun. "Mau apa lagi lu?" tanyaku yang penasaran, kenapa ia tidak pergi dari hadapanku. Seharusnya ia telah lenyap sekarang.
"Hmm..." lamat ia berfikir. "Ditanya malah ga jawab, yaudah gua tinggal." ucapku yang sudah berpaling. Tinggal melangkah memasuki pekarangan rumah.
"Gua numpang di rumah lu ya." aku langsung berbalik menatapnya.
"Hah! Kenapa? Lu udah bangkrut? Rumah lu kelelep? Atau rumah lu berhantu?" tanyaku beruntun. Dari pertanyaan yang aku ajukan jawabannya pasti tidak ada. Dia bangkrut? Ayolah, dia kaya tujuh turunan. Tidak mungkin jatuh miskin secepat ini. Rumah kelelep? Hm. Sepertinya tidak juga. Rumah berhantu? Rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal mambayangkam Stiz takut dengan hantu. Berdiri seorang diri di tengah makam keramat tepat ditengah malam saja ia berani hingga fajar menyingsing. Mana mungkin ia akan gemetar ketakutan jika benar ada hantu di rumanhnya. Itu tidak mungkin.
"Rumah gua sepi kayak hati." ucapnya dengan meremas kemejanya disebelah kiri, dimana jantung berdetak.
"Hah? Sejak kapan lu nelangsa kayak gini?" aku setengah mati menahan tawa. Demi apapun aku ingin tertawa sekarang.
"Sejak aku merindu padamu kasih." ia mulai berlaga sebagai penyair.
"Oh.. Kasih, kau begitu membuakku muak." aku akhirnya tertawa diakhir kalimat.
"Aish. Dia malah ketawa."
Aku mencoba berhenti untuk tertawa. Menutup mulut dengan rapat-rapat agar dapat menghentikan tawaku kini. "Untuk apa lu numpang di rumah gua?" tanyaku yang sudah dalam keadaan normal.
"Rumah gua sepi, udah kayak kuburan tau."
"Om Wasy sama tante Ciza emang ga di rumah?"
"Engga. Gua 'kan disini sendirian, mereka masih di Inggris."
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.