"Syif," panggilku pada Syifa yang tengah memakan makan siangnya hari ini. Ia memakan roti lapis dengan jus alpukat yang menemani.
"Hm." sahutnya saat mengunyah roti lapisnya.
"Kelas duabelas kok ga keliatan ya? Gua dari kemarin ga liat satu pun dari kakak kelas kita." aku menyeruput jus jeruk kembali sambil memperhatikan kantin yang hampir sepi.
"Ya mereka udah libur lah. Merekakan udah selesai Ujian Nasional. Ngapain juga mereka ke sekolah lagi, ga ada urusan lagi selain cap tiga jari nanti." jelas Syifa.
Aku hanya diam mengerti mendengar penjelasan Syifa yang sangat masuk akal.
"Emang kenapa lu nanya itu? Lu lagi ada masalah sama kak Zarbika?" aku langsung tersedak minumanku setelah mendengar pertanyaan Syifa yang bisa menebak isi kepalaku.
"Ada masalah apa lu?" tanya Syifa tenang tidak menghiraukanku yang masih terbatuk-batuk.
"Cuman masalah sepele." jawabku setelah berhenti batuk.
Syifa hanya mengagguk mengerti. Syifa tidak tau bahwa aku dan Zarbika sudah dua minggu tidak menjalin komunikasi lamanya. Aku benar tidak menghubungi Zarbika setelah makan siang bersama Stiz waktu itu. Aku masih kesal denganya yang memutuskan sambungan sepihak. Dan Zarbika tidak menghubungiku sama sekali. Ini sangat menyebalkan. Ia tidak merasa bersalah sama sekali menghiraukanku begitu saja.
"Lama banget lu keluar." kesal Stiz saat aku baru saja duduk disebelahnya.
"Jadi supir ga boleh ngeluh ke majikan. Nanti gua pecat lu." ujarku.
Stiz hanya mendengus kesal mendengar ucapanku. Ia mulai melaju mobilnya meninggalkan sekolah. Sepanjang jalan aku hanya membuka tutup ponsel. Berharap ada satu pesan dari Zarbika. Namun, hingga sampai di rumah hasilnya nihil. Tidak ada satupun pesan darinya. Aku merasa disia-siakan olehnya.
Hingga sore menjelang aku masih harap-harap cemas menanti pesan darinya. Aku membuka tutup kontaknya. Melihat foto profilnya yang masih tetap sama. Dimana aku dan dia bersama disatu bingkai. Perasaanku campur aduk mengharapkan pesan darinya. Hinggap pada akhirnya aku jenuh menunggunya memulai percakapan. Aku mulai mengetik di kontaknya.
Hukum Netton
"I miss you."Sudah setengah jam aku menunggu balasan darinya tapi tak kunjung jua ia membalas. Mungkin sibuk pikirku. Aku mulai mengalihkan pikiranku dengan mendengarkan musik yang ku setel di ponsel. Memilih playlist lagu yang ada. Aku akhirnya memilih lagu yang baru saja ku download yaitu 'Rayu' irama sangat menyejukan hati. Aku mulai menikmati tiap irama yang mengalir dengan lembut dan cepat. Hingga bunyi bel membuyarkan kesenanganku. Argh. Kenapa harus sekarang.
Dengan langkah kedebak kedebuk aku menuju pintu. Aku melihat dimonitor siapa yang datang. Hanya seorang kurir.
Aku membuka pintu lalu berjalan menuju pagar menghampiri kurir itu.
"Permisi ka, apa ini rumah Rani March?" tanya kurir itu dengan sopan.
"Iya, saya sendiri." jawabku. Aku melihat heran ke arah kurir itu. Kenapa yang ia cari aku?
"Ini ada paket untuk kakak," ia menyodorkan satu kotak berukuran sedang padaku. Aku menerima kotak coklat itu dengan tatapan menerka-nerka apa isi kotak ini. "Tolong tanda tangan disini ka." aku menerima pena dan selembar kertas yang ia sodorkan lalu mulai tanda tangan dibagian penerima.
"Terimaka kasih." ucapnya. Aku hanya mengangguk memberi jawaban.
Rasa penasaranku semakin jadi setelah sampai di kamar. Aku mengambil ponsel yang berada di atas nakas masih berharap balasan pesan dari Zarbika. Tapi yang kudapatkan hanya pesan dari Stiz yang begitu banyak. Aku melempar asal ponsel di atas kasur setelah melihat nama Stiz yang tertera disana. Biarkan saja. Batinku mengabaikan pesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.