Zarbika pov
"Iya. Engga. Iya. Engga ... " aku mencabut satu persatu kelopak bunga mawar merah yang tadi kubeli diperjalanan. Dijual oleh anak yang lebih muda dariku, menjualnya dengan menghampiri satu persatu pengendara yang berhenti di lampu merah.
"Iya. Engga. Iya. Engga ... " aku menghentikan jemari, sebelum mencabut satu kelopak bunga berduri lagi yang tertinggal ditangkai hijau tua itu.
"Iya." kelopak terakhir menjawab pertanyaanku yang mengambang. "Huft. Gua pasti bisa."
Langkah kaki semakin yakin. Mempertegas jalan yang aku ambil. Melakukannya dengan penuh keyakinan.
"Rani," aku mengetuk pintu kayu berwarna putih nun tinggi. Mengetuknya beberapa kali. Berharap yang empunya rumah mendengar dan membukakan pintu.
"Siapa," terdengar suara bass yang menyahut dari dalam sana.
"Saya Zarbika om,"
Terbukalah pintu kayu nun putih itu, menampakkan pria yang memimpin keluarga kecil ini. "Cari Rani ya," godanya dengan senyumnya yang hangat.
Aku hanya tersipu malu dengan perkataan yang menggoda itu, "iya om," tuturku pelan seperti anak gadis yang sedang kasmaran.
"Ayo masuk, jangan sungkan ya," ia merangkul pundakku bak anak lelakinya sendiri dan sebagai kawan, ada kehangatan yang terasa atas perilaku yang ia tunjukkan padaku. Tidak ada ke pura-puraan disana. Tidak ada senyuman yang palsu.
"Kamu duduk aja disana, om panggil Rani dulu," ucapnya setelah menepuk pundakku dan berlalu meninggalkanku di ruang tamu.
"Ayo Zarbika. Kamu pasti bisa!"
"Minta penjelasan. Sejelas-sejelasnya. You can do it. You can. Can. Can. Can."Aku duduk disofa, melihat bulu karpet marron yang lembut lalu memejamkan mata, memikirkan kata yang tepat untuk dikeluarkan. Merangkainya menjadi kalimat yang pas untuk memperbaiki hubungan ini, berharap semua kembali seperti sebelumnya.
"Mau apa lu?"
Mata yang terpejam seketika membelalak. Padangan yang rendah kini terahlikan dimana sumber suara itu berasal.
"Lu tunarungu ya? Atau tunawicara? Jawab." kini ia berdiri disana, dengan sikap yang sering dilakukannya ketika sedang tidak suka akan sesuatu. Menjaga jarak.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Melangkah mendekatinya.
"Jangan mendekat!" teriaknya.
Aku tidak mengubris larangannya. Terus melangkah, mendekat padanya yang berjarak empat meter dari posisi ku tadi.
"Gua bilang jangan mendekat!" ucapnya lebih lantang. Memundurkan langkahnya secara perlahan.
Aku tetap melangkah mendekati.
"Gua muak!" teriaknya lalu memutar arah tubuhnya. Namun langkah jenjang ku lebih cepat darinya. Dengan sedikit tenaga yang tersalurkan pada langkah, aku telah berada dihadapannya.
"Jangan pergi." pintaku lirih.
Dia terdiam sejenak. "Jangan lupain gua lagi," lanjutku.
"Jangan hilang dari gua lagi. Jangan. Please, jangan Rani jangan," dengan keberanian yang ada kumemeluknya perlahan. Menuangkan rasa rindu yang telah lama singgah terlalu lama.
"Tetaplah disini, disamping gua, menemani gua dalam keseharian ini. Tolong," aku mengelus pucuk kepalanya dengan lembut.
Dia hanya diam membisu, tidak membalas pelukkan ataupun berbicara.
Aku melepaskannya dalam pelukkan. Menatapnya yang sedang menunduk, itu lebih baik daripada ia berpaling ke arah lain. "Kalau gua salah, tolong jelasin tindakkan apa yang buat gua nyakitin lu, jangan gini Ran, gua ga ngerti apa yang salah, gua-" aku berhenti sejenak.
"Apa?" akhirnya ia berbicara.
"Gua ga bisa jauh dari lu, gua harap lu ngerti maksud gua," lanjutku membuatnya untuk berfikir.
"Terus kenapa lu yang buat gua ngejauh dari lu?"
BOM! Aku terjebak pertanyaan ku sendiri, ia memberi teka-teki yang tidak ku ketahui jawabannya. "Gua ga buat lu ngejauh dari gua, bukannya lu sendiri yang tiba-tiba ngejauh dari gua?" aku mengulang pertanyaannya tuk mendapatkan jawabannya.
"Lu mau tau alasannya?" tanyanya. Perlahan ia mengangkat kepalanya lalu menatap mataku.
Aku mengangguk. "Iya."
"Gua kecewa." ucapnya yakin tanpa keraguan ataupun kebohongan.
"Kenapa kecewa?"
"Lu penghianat dalam hubungan ini."
"Gua?" Aku menunjuk diriku sendiri, tidak tau apa maksud dari pernyataannya. "Apa maksud lu gua dicap sebagai pengkhianat?"
"Gua udah terlajur kecewa. Kecewa Zar, gua udah ga bisa sama lu. Ga bisa. Udah terlalu dalam lu nyakitin gua." tuturnya dengan mata yang mulai berlinang namun tertahan didalamnya.
"Tolong Ran, jelasin ke gua, kesalahan apa yang gua buat? Apa? Gua ga tau apa-apa."
"Kita ga cocok. Mungkin lu bisa jadi kakak gua tapi bukan jadi kekasih gua."
"Jangan ngelak dari pertanyan Ran,"
"Lu udah gua anggap seperti kakak gua sendiri Zar, jadi gua mohon lu bisa terima keputusan ini."
"Hah? Apa yang buat lu gini? Tolong jelasin. Jangan bikin masalah ini tambah berliku."
"Thank you my brother." Rani melangkah meninggalkan ku. Ia menjauh dan aku hanya diam mematung.
***
Menjauh darinya adalah tindakan yang tepat untuk saat ini. Aku tidak tahan saat berada didekatnya, bukan rasa tak nyaman saat didekatnya, namun rasa rindu ku sama dengannya.
Saat ia memelukku dan berkata. "Tetaplah disini, disamping gua, menemani gua dalam keseharian ini. Tolong," ucapannya begitu pilu, begitu menyayat hatiku saat ia membisikkannya. Aku ingin berkata "jangan meminta. Karna itu adalah kewajibanku." namun lidah terasa keluh saat ingin mengatakannya. Tangan terasa mati saat ingin memeluknya. Aku hanya diam saat itu. Tapi hati menangis dalam ke kosongan.
Zarbika bisakah kita bersama sampai raga ini berakhir? Atau kau memang bukan ditakdirkan untukku? Dan aku bukan ditakdirkan untukmu? Tuhan tolonglah kami, hanya engkau yang mampu membolak balikkan hati. Memperteguh hati yang nun labil ini. Tolonglah kami.
.
.
.
Thank you for attention ^^
Ikuti terus cerita Avontur Rasa
Jangan lupa vote and comment :)
•Love Hikari
KAMU SEDANG MEMBACA
Avontur Rasa
Teen FictionMengerahkan seluruh usaha guna dipandang takdir. Bukan hal pasti nan mudah dalam melakukannya. Aku kerap ragu akan perasaanku. Gelisah terus membebani pikiranku. Haruskah bertindak atau diam. Zarbika Ibra, bagaimana aku bisa menghadapinya.