Park Ji Min

426 49 1
                                    

Senyum terulas di bibir [Name] saat melihat panggilan dari kekasihnya yang tengah berada di negara yang tidak ia ketahui. Tanpa menunggu waktu lama, [Name] menggeser tombol hijau dan dalam sekejap wajah Jimin sudah terlihat di layar ponselnya.

“Maafkan aku karena tidak mengabarimu lebih awal, Jagi,” itulah hal pertama yang Jimin ucapkan begitu mereka beradu tatap lewat ponsel. “Aku tidak sempat memegang ponsel dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk menelponmu. Aku minta maaf.”

[Name] tertawa mendengar permintaan maaf Jimin, juga dengan pakaian hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajahnya. Gadis itu menggelengkan kepala maklum dengan jadwal tiba-tiba yang diberikan pada kekasihnya.

“Tidak perlu minta maaf. Melihatmu baik-baik saja sudah membuatku lebih senang,” kata [Name] seraya mengukir senyum menenangkan. “Ceritakan padaku, bagaimana perjalananmu yang mendadak ini?”

Jimin bercerita mereka hanya diberi waktu lima puluh menit untuk mengepak barang, sedihnya Taehyung karena terpaksa menyusul besok karena jadwal syuting, terhambatnya mereka karena tidak bisa check in sendiri. Sampai di Norwegia tasnya yang sempat hilang di bus dan member yang dengan tega menyuruhnya untuk mengambil tas itu sendirian. Belum lagi, Jungkook yang kadang-kadang suka menghilang karena mengambil foto tanpa memberitahu member lainnya.

“Lalu bagaimana tasmu sekarang?” tanya [Name].

“Beruntung, bisnya datang dan tasku bisa kembali lagi. Aku berharap kami tidak kehilangan apapun lagi,” ucap Jimin seraya menyisir rambutnya dengan jari seperti yang biasa ia lakukan.

[Name] menggelengkan kepala. “Kau harus lebih hati-hati, Jimin-ah. Staff tidak akan membantu kalian di sana, kan?”

Jimin menggangguk. “Mudah-mudahan saja Namjoon-hyung tidak kehilangan sesuatu.”

“Lalu apa yang akan kalian lakukan besok?” tanya [Name]. Ia mulai menyamankan diri di kasurnya mengingat ia tidak tidur semalaman hanya untuk menunggu kabar dari Jimin.

Siapa yang tidak panik saat mendapat kabar kekasihnya akan pergi ke Eropa Utara selama beberapa hari secara tiba-tiba. Ditambah lagi Jimin memberitahunya lewat pesan singkat dan melarangnya untuk menelpon karena saat itu mereka akan lepas landas. Jelas saja [Name] lebih memilih begadang untuk menunggu kabar.

“Aku dan Namjoon-hyung berencana mendaki untuk melihat kota dengan lebih baik. Aku berjanji akan mengirimkan fotonya padamu kalau aku sudah sampai di atas nanti,” Jimin menggerakkan ponselnya agar bisa melihat wajah [Name] dengan lebih jelas.

Dahi [Name] mengernyit ketika mendapati sosok yang dikenalnya berada di belakang Jimin tengah tidur sambil bersedekap tanpa memakai bantal atau selimut. Matanya menyipit, berusaha untuk melihat sosok itu dengan lebih baik.

“Itu Jungkook, kan? Kenapa tidur di luar?” tanya [Name] geli melihat ekspresi maknae.

Jimin menoleh ke arah Jungkook lalu kembali pada [Name]. “Sebentar ya.”

[Name] mengangguk. Jimin meletakkan ponselnya dengan posisi berdiri agar [Name] bisa melihat dengan jelas apa yang ia lakukan.

Kekasihnya sempat menghilang beberapa saat kemudian kembali dengan membawa selimut dan bantal di masing-masing tangannya. Ia menyingkirkan selimut yang menyangga kepala Jungkook, lalu menaruh bantal yang ia bawa di kepalanya. Ia juga menyampirkan selimut yang langsung menutupi seluruh tubuh maknae. Jimin kembali menghilang dan kembali dengan bantal untuk dirinya sendiri.

Menyadari masih ada yang kurang, Jimin kembali membenahi letak posisi selimut Jungkook agar benar-benar menghangatkan tubuh si maknae lalu kembali meraih ponselnya. [Name] mengukir senyum lembut saat Jimin melihatnya lagi.

“Kau terlalu baik hati, kau tahu itu?” tanya [Name] masih dengan senyumnya. “Terlalu baik hati sampai terkadang melupakan kebutuhanmu untuk kepentingan orang lain.”

“Maksudmu?” Jimin mengernyit tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh gadisnya.

“Aku sudah sering melihatmu peduli dengan orang-orang yang kau sayangi. Bukannya aku berkata mereka tidak peduli padamu, tidak. Tapi aku ingin kau lebih memperhatikan dirimu sendiri, oke?” ucap [Name] dengan nada penuh pengertian. Ibu jarinya menyentuh layar ponsel, ingin sekali menangkup wajah kekasihnya saat ini.

Jimin memejamkan mata, membayangkan jika tidak ada layar yang menghalangi mereka, sudah pasti ia akan memeluk kekasihnya saat ini juga. “Aku merasa mereka sudah menjagaku dengan baik. Aku hanya ingin membalas kebaikan mereka dengan hal yang sama.”

“Aku tahu, Jimin-ah. Aku tahu,” [Name] menghela nafas. “Tapi akan lebih baik lagi kalau kau juga memperhatikan kebutuhanmu sendiri. Kalau kau tetap bersikeras seperti ini, aku yang akan khawatir dengan keadaanmu. Kau tidak ingin aku mengkhawatirkanmu terus-menerus, kan?”

Jimin terkekeh pelan. “Baiklah, baiklah. Apapun untukmu, Jagi. Sekarang tidurlah, aku tahu kau sengaja tidak tidur karena tidak ingin melewatkan telepon dariku, kan?”

“Baiklah,” [Name] tersenyum kecil lalu meraih bantalnya. “Kau juga langsung tidur setelah ini, ya. Kalau besok harus mendaki, kau memerlukan energi yang banyak. Jangan sampai terjaga terlalu lama.”

“Ya, Jagiku,” kekeh Jimin. “Kurasa tidak masalah kalau aku tidak memperhatikan diriku karena kau selalu mengkhawatirkanku, toh kau juga akan terjebak bersamaku selamanya.”

Seven WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang