Kim Nam Joon

269 33 6
                                    

Namjoon selalu membenci saat ia sendirian bersama dengan lirik lagunya di tengah malam. Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini, walaupun selalu berakhir merindukan kasurnya, Namjoon tidak pernah keberatan memiliki waktu berdua dengan lirik dan nada. Namun, setelah kepergiannya Namjoon selalu terbayang kenangan akan mereka saat sendirian. Dan Namjoon sangat membencinya.

Ia memandangi kertas bertuliskan lirik yang beberapa waktu lalu diperdebatkan oleh Yoongi-hyung dan Hoseok. Beberapa waktu yang lalu ia masih asyik tenggelam bersama dengan lagu yang akan mereka buat bersama, lalu bagaimana bisa hanya dalam waktu lima menit pikirannya kembali ke saat ia masih bisa tersenyum hanya dengan memikirkan tawa seseorang?

[Name]. Gadis yang tiada hentinya menghantui pikiran Namjoon saat tidak ada siapapun selain dirinya dan pikirannya.

Masih terpatri jelas di pikiran Namjoon bagaimana cara [Name] memeluknya saat ia bersikeras tinggal di studio lebih lama. Omelan panjang berulang dengan kalimat sama yang sukses menarik kedua sudut bibirnya saat teringat. Hangatnya pelukan [Name] saat ia butuh sandaran.

“Masih belum ingin memejamkan matamu, Joonie?” suara [Name] mampu mengalihkan perhatian Namjoon sejenak.

Ia menggeleng pelan seraya tersenyum ketika mendapati [Name] tengah melipat kedua tangannya di depan dada dengan ekspresi cemberut yang selalu Namjoon anggap menggemaskan.

“Huh, ketika gadis lain mengeluh dan khawatir kalau kekasihnya akan selingkuh dengan gadis lain, sepertinya aku harus khawatir kalau kekasihku akan berselingkuh dengan laptopnya,” [Name] menghampiri Namjoon lalu duduk di pangkuan kekasihnya tanpa bertanya. Gadis itu langsung menyamankan diri kemudian memejamkan mata.

Namjoon terkekeh pelan. Lengannya mencari pinggul [Name], ibu jarinya mengusap pinggang gadisnya dan bibirnya meraih dahi dan puncak kepala [Name]. Gadis itu melingkarkan lengannya di leher Namjoon lalu mengubur wajahnya di lekukan leher kekasihnya, memberi kesan posesif dan manja dalam waktu yang bersamaan.

“Setidaknya kau tidak harus khawatir karena kalah. Laptopku tidak akan bisa memelukku seperti dirimu,” bisik Namjoon.

[Name] mendongak, mengadukan tatapan mata mereka. “Kalau begitu keluar dari studio dan temani aku. Kau tahu aku tidak bisa tidur kalau tidak ada dirimu.”

“Aku masih harus menyelesaikan lagunya, Jagi,” tolak Namjoon halus.

Ia ingin sekali menerima tawaran [Name] untuk memejamkan mata walau hanya beberapa jam sebelum dirinya kembali sibuk dengan jadwal, tapi batas akhir yang semakin mendekat di tambah lagi dengan persiapan comeback mereka, Namjoon tidak ingin mengecewakan siapapun.

Dahi [Name] mengernyit. Sorot matanya menampakkan ia tidak suka dengan jawaban yang Namjoon berikan. Gadis itu melepaskan pelukannya, namun masih belum beranjak dari pangkuan Namjoon.

“Terus saja. Terus saja seperti ini. Pedulikan saja lirik dan nadamu itu. Jangan pikirkan kesehatanmu atau perasaan orang lain yang menyayangimu. Dasar egois. Hanya mementingkan diri sendiri. Kau juga harus adil pada tubuhmu, Joonie. Tubuhmu berhak mendapatkan waktu istirahat yang cukup setelah berjam-jam sibuk dengan latihan dan bernyanyi,” omel [Name]. Gadis itu bersiap bangkit dari posisi nyamannya. “Terserahlah. Aku mau bicara apapun juga tidak akan didengar. Tapi jangan datang padaku kalau tubuhmu memberontak sakit. Aku tidak mau men-”

Namjoon membekap mulut [Name] dengan tangan kanan lalu mencium punggung tangannya sendiri. Sebelah alis [Name] terangkat saat Namjoon masih belum mengangkat tangannya dari bibir bahkan setelah [Name] tidak bicara lagi.

“Baiklah, baiklah. Aku akan menemanimu sekarang, tapi kau tidak bisa menggangguku siang nanti, oke?”

[Name] mengangguk.
Satu lengan Namjoon memeluk tubuh [Name] sedangkan tangannya yang lain sibuk menyimpan seluruh data yang baru saja ia kerjakan. Setelah yakin datanya tersimpan dan ia sudah memiliki cadangan jika sewaktu-waktu datanya hilang, Namjoon mengangkat tubuh [Name], memaksa gadis itu untuk kembali melingkarkan lengannya di leher Namjoon.

“Apa aku harus mengomel setiap kali kau memutuskan untuk kerja sampai lewat tengah malam?” bisik [Name]. Bibirnya mencium leher Namjoon ringan.

“Tidak. Kau cukup mengatakan apa yang kau inginkan. Kau tahu aku tidak akan pernah bisa menolak permintaanmu.”

Ya, Namjoon tidak akan pernah bisa menolak permintaan gadis yang paling ia sayangi. Semua keinginan [Name] selalu ia penuhi jika permintaan [Name] masih dalam kuasanya. Tidak pernah sekalipun Namjoon membiarkan kesedihan terlihat di wajah [Name]. Salah satu misi hidupnya ketika bertemu dengan [Name] adalah membahagiakan gadis itu untuk sisa hidupnya.

Namun keinginan hanya tinggal kenangan.

Namjoon tidak tahu di mana letak kesalahannya, ia tidak yakin apa kekurangannya di mata [Name] walaupun ia tahu tidak ada manusia yang sempurna. Lagipula menurut banyak orang mereka terlihat sempurna bersama. Setidaknya itu pikiran Namjoon tentang hubungan mereka, tapi sepertinya pikiran itu hanya sepihak karena [Name] tidak sependapat dengannya.

“Kita akhiri saja hubungan ini, Namjoon,” suara [Name] terdengar begitu dingin, sirat hangat yang selalu hadir saat berbicara dengannya sudah tidak ada.

“Kenapa? Apa yang salah dengan hubungan ini, [Name]? Bukankah kau bahagia?” Namjoon berusaha meraih kedua tangan yang sudah menopang hidupnya selama lebih dari satu tahun, namun [Name] menepis lembut tangannya, tidak ingin bersentuhan dengan Namjoon.

“Kau berpikir aku bahagia padahal tidak. Kau berpikir hubungan kita baik-baik saja padahal tidak. Kau berpikir bahwa kita terlihat sempurna padahal tidak,” setiap kata yang keluar dari bibir [Name] menghujam hati Namjoon bagai ribuan jarum tak terlihat. “Aku sudah lelah berpura-pura, aku tidak ingin lagi meneruskan hubungan ini, aku ingin mencari kebahagiaanku sendiri.”

“T-tunggu [Name]!”

“Kau tidak perlu memaafkanku. Tindakanku dan apa yang sudah kulakukan padamu memang tidak pantas mendapatkan maaf. Lupakan saja aku, Namjoon. Bencilah aku hingga kau mampu mencari kebahagiaanmu sendiri,” ucap [Name]. Gadis itu berbalik dan meninggalkan Namjoon sendirian dengan pikirannya.

Terlambat. Namjoon tahu hatinya terasa sakit, tapi tidak bisa dipungkiri ia tahu dan pasti akan memaafkan gadisnya. Namjoon tahu sesakit apapun hatinya, seperih apapun perasaannya ia tidak akan bisa melupakan [Name] dan kenangannya.

Ia tidak menyangka [Name] mampu melemparkan tatapan yang begitu dingin, suara yang tajam dan sorot mata penuh kebencian saat menatapnya. Ia memang kehilangan sosok [Name] yang ia cintai, kehilangan masa depan dengan gadis yang ia sayangi, tapi ia tidak akan pernah kehilangan cintanya untuk [Name]. Tidak akan.
Tangan Namjoon mengepal kuat. Kenapa bayangan [Name] selalu muncul dalam benaknya? Kenapa ia tidak bisa mengikuti permintaan [Name] untuk melupakan sosoknya? Kenapa sepertinya hanya ia yang menderita dengan keputusan sepihak ini? kenapa?

Studio yang beberapa saat lalu sunyi kini dipenuhi dengan isakan. Namjoon berusaha menahan tangisnya, tapi setiap kali mengingat [Name] dan kebodohan dirinya, Namjoon tidak bisa membendung perasaan kecewa, sedih dan terkhianati.

“Aku membencimu [Name]. Sangat membencimu. Aku membencimu karena tidak bisa melupakan dirimu, aku membencimu karena tidak sanggup melepaskan kenangan kita. Aku membencimu karena terlalu mencintaimu.”

Seven WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang